Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

DOA ORANG LAPAR


kelaparan adalah burung gagak
yang licik dan hitam
jutaan burung-burung gagak
bagai awan yang hitam
o Allah !
burung gagak menakutkan
dan kelaparan adalah burung gagak
selalu menakutkan
kelaparan adalah pemberontakan
adalah penggerak gaib
dari pisau-pisau pembunuhan
yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin
kelaparan adalah batu-batu karang
di bawah wajah laut yang tidur
adalah mata air penipuan
adalah pengkhianatan kehormatan
seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu
melihat bagaimana tangannya sendiri
meletakkan kehormatannya di tanah
karena kelaparan
kelaparan adalah iblis
kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran
o Allah !
kelaparan adalah tangan-tangan hitam
yang memasukkan segenggam tawas
ke dalam perut para miskin
o Allah !
kami berlutut
mata kami adalah mata Mu
ini juga mulut Mu
ini juga hati Mu
dan ini juga perut Mu
perut Mu lapar, ya Allah
perut Mu menggenggam tawas
dan pecahan-pecahan gelas kaca
o Allah !
betapa indahnya sepiring nasi panas
semangkuk sop dan segelas kopi hitam
o Allah !
kelaparan adalah burung gagak
jutaan burung gagak
bagai awan yang hitam
menghalang pandangku
ke sorga Mu

RENDRA

DARI KUMPULAN PUISI "SAJAK - SAJAK SEPATU TUA"
( PUSTAKA JAYA - 1995 )

MAKAM YESUS SUDAH DITEMUKAN?

Beril Huliselan
(Jakarta 2007)

Pada tanggal 5 April 2007, Harian Kompas memuat tulisan dengan judul "Kontroversi Temuan Makam Keluarga Yesus". Tulisan ini memuat isu penemuan makam Yesus. Dalam Tulisan tersebut, kayakinan bahwa makam Yesus sudah ditemukan disandarkan pada kajian statistik yang dilakukan oleh DR. Andrey Feuerverger. Memang ada argumentasi
lain dalam tulisan tersebut, namun kajian statistik (uji statistik) tersebut berfungsi sebagai pilar utama yang menopang klaim bahwa makam Yesus sudah ditemukan

DR. Andrey Feuerverger adalah ahli statistik dari Kanada, dia diperhadapkan dengan informasi mengenai mengenai dua osuarium (peti jenasah yang berisi tulang-belulang) yang beri
nskripsi nama dua orang wanita (Maria dan Mariamene e Mara), serta empat osuarium yang berinskripsi nama laki-laki, dua diantaranya ditulis dalam bentuk “anak....” (Yesus anak Yusuf dan Yudas anak Yesus). Feuerverger kemudian membuat frequency distribution dari nama-nama dalam periode di mana penguburan osuarium tersebut berlangsung, di sini beliau menggunakan dua sumber, yakni Catalogue of Jewish Ossuaries dan Lexicon of Jewish Names in Late Antiquity. Distribusi nama-nama itu sendiri bermanfaat untuk melihat frequency of occurrence dari nama-nama tersebut; dalam kasus ini, terkait dengan kemunculan (frequency of occurrence) kumpulan osuarium dengan empat nama yang berhubungan dengan Yesus sekaligus (Yesus anak Yusuf, Mariamene e Mara, Yose dan Maria). Dari kajian statistik tersebut, probabilitas yang diperoleh Feuerverger adalah 600:1, jadi dari 600 kasus hanya ada satu kasus ditemukannya kumpulan osuarium dengan empat nama yang berhubungan sekaligus dengan Yesus. Hasil uji statistik inilah yang kemudian dipakai oleh beberapa orang biblika sebagai pilar utama untuk membuktikan bahwa makam Yesus sudah ditemukan.

Namun penting dicatat di sini bahwa menurut Feuerverger, penggunaan statistik sam
a sekali bukan untuk membuktikan apakah makam tersebut (dengan osuariumnya) merupakan makam dari keluarga yang ada dalam perjanjian Baru (New Testament family). Bagi Feuerverger, itu merupakan wilayah biblical historical scholars dan bukan wilayah dia; ingat bahwa Feuerverger adalah seorang pakar statistik dan bukan biblical historical scholar. Feuerverger sendiri justru memberikan kesimpulan seperti ini: “The interpretation of the computation should be that it is estimating the probability of there having been another family at the time, living in Jerusalem, whose tomb would be at least as `surprising', under certain specified assumptions.”

Jadi Feuerverger hanya sampai pada estimasi bahwa makam tersebut merupakan makam keluarga Yahudi yang hidup di Yerusalem, tentunya dengan bertolak dari asumsi tertentu dalam melakukan uji statistik. Soal apakah makam keluarga itu merupakan makam keluarga Yesus, ya.....bukan urusan dia sebagai seorang pakar statistik. Selain itu, Feuerverger juga mengakui bahwa ada beberapa masalah dalam uji statistik yang ia lakukan. Persoalan tersebut berkaitan dengan asumsi-asumsi yang ia pakai; asumsi menentukan data apa saja yang akan diinput dalam perhitungan statistik. Jadi, seluruh hasil perhitungan sangat tergantung pada asumsi-asumsi tersebut. Ini tampak dari pengakuan Feuerverger, yakni: "The results of any computations are highly dependet on assumtions.... Should even one of these assumtions not be satisfied then the results will not be statistically meaningful".

Dengan demikian, apabila asumsi yang dipakai tidak reliable maka seluruh hasil perhitungan menjadi tidak memiliki arti apa-apa. Terdapat beberapa asumsi dalam perhitungan tersebut, di sini Feuerverger menggunakan kurang lebih sekitar 8 asumsi. Beberapa diantaranya memuat persoalan yang langsung berhubungan/mempengaruhi perhitungan secara mendasar, yakni:
  1. Perhitungan statistik yang ia lakukan sama sekali tidak memasukan keluarga-keluarga Yahudi yang tidak bisa melakukan penguburan dengan menggunakan osuarium atau keluarga-keluarga Yahudi yang tidak cukup melek huruf (did not have sufficient literacy) untuk membuat inskripsi di atas osuarium. Menurut saya ini penting diperhatikan mengingat pada masa penjajahan Roma, masyarakat Yahudi menjelma menjadi lautan kemiskinan dan tidak cukup melek huruf (did not have sufficient literacy). Jadi bisa diasumsikan bahwa mayoritas masyarakat Yahudi tidak memiliki kekuatan finansial untuk melakukan penguburan dengan osuarium dan mendapat pendidikan yang tinggi. Dengan demikian probabilitasnya lebih besar ke arah penguburan biasa, tanpa dimasukan ke dalam osuarium (mungkin Yesus juga begitu).
  2. Perhitungan statistik tersebut juga tidak memasukan keluarga-keluarga Yahudi yang tinggal di luar Yerusalem. Saya ambil contoh begini, misalnya ada keluarga asal Nias yang tinggal di Jakarta. Nah...pada saat salah satu anggota keluarga tersebut meninggal, maka jenazahnya kemudian dibawa dan dikuburkan di Nias dan bukan di Jakarta, kenapa? Karena ada keterikatan emosional dengan tempat asal. Ini juga bisa berlaku di Yerusalem, apalagi Yesusalem itu memiliki tempat yang sangat sentral dalam keyakinan orang Yahudi. Kita lihat saja orang Islam, banyak yang justru senang/ingin meninggal di Mekah, kenapa? Karena ada hubungan dengan keyakinan mereka akan Mekah sebagai tempat yang sakral. Nah.... Feuerverger tidak memasukan hal seperti ini dalam perhitungan statistiknya.
  3. Feuerverger mengatakan bahwa nama seperti Mariamene e Mara diasumsikan sebagai Maria Magdalena, dengan catatan bahwa asumsi akan nama tersebut masih dipersoalkan (contentious). Point ini sangat menarik, karena apabila Mariamene e Mara kita keluarkan dari perhitungan statistik (dengan alasan nama tersebut masih diperdebatkan), maka probabilitasnya menjadi 4:1 (jadi bukan 600:1). Dengan demikian, apabila Mariamene e Mara dikeluarkan dari perhitungan, maka penemuan makam tersebut merupakan hal yang umum terjadi. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Feuerverger: "Note that this assumption is contentious and furthermore that this assumption drives the outcome of the computations substantially".
  4. Bagi Feuerverger, diperkirakan terdapat sekitar 4400 osuarium yang berinskripsi nama laki-laki, sedangkang yang berinskripsi nama perempuan jumlahnya dibawah setengah jumlah osuarium laki-laki. Nah....yang sudah dikaji kurang lebih sekitar 1100 osuarium. Kalau dihitung (perkiraan), mungkin sudah ditemukan sekitar 6000 osuarium yang berinskripsi (jumlah ini tentunya terkait dengan osuarium dengan lokasi di Yerusalem, dan hanya yang berinskripsi; berarti ada juga yang tidak berinskripsi atau inskripsinya sudah hancur dimakan waktu). Jumlah 6000 ini rasanya masih terlalu kecil apabila dibandingkan dengan total masyarakat Yahudi yang hidup di Yerusalem dan di luar Yerusalem (ingat bahwa penduduk di luar Yerusalem juga mengubur anggota keluarga mereka di Yerusalem).
Di sini saya pikir Feuerverger sangat jujur terhadap uji statistik yang dilakukannya, jadi hasilnya bisa dikatakan masih tentatif. Hal ini mengingat banyak data yang tidak dimasukan dalam perhitungan statistik tersebut, dan Feuerverger mengakui hal tersebut. Kenapa hal ini bisa terjadi? karena bagi Feuerverger dia bekerja dengan asumsi-asumsi tertentu, sehingga kalau asumsi yang dipakai bermasalah maka seluruh perhitungan yang dibuatnya menjadi tidak memiliki arti apa-apa.

Di luar ini ada informasi lain yang diutarakan oleh Charles Quarles yang mengatakan demikian: “between 56 and 105 males in Jerusalem during Jesus' time would have had a father named Joseph and close relatives named Mary and Jose".

MENEMBUS BATAS, MENGGAPAI KASIH

Refleksi Bina Kader Angkatan VII – Tahap I
Gereja Kristen Indonesia
Beril Huliselan
(Jakarta, 2005)
Lord, make me an instrument of Thy peace;
where there is hatred, let me sow love;
where there is injury, pardon;
where there is doubt, faith;
where there is despair, hope;
where there is darkness, light;
and where there is sadness, joy.

Potongan doa di atas tentunya akan langsung mengingatkan kita pada seorang pria dari Asisi, sebuah kota di provinsi Perugia – Italia, yang dalam pengembaraan spiritualnya memutuskan keluar dari kemapanan hidup dan menjalani relung-relung kemiskinan. Giovanni Bernardone, yang lebih dikenal dengan nama Fransiskus dari Asisi, kemudian menjadi seorang tokoh yang dilukiskan F.D. Wellem sebagai sosok yang melekat dengan perjuangan kasih persaudaraan dan perdamaian.[1]

Fransiskus seolah-olah melakukan paradigm switch yang radikal dalam memahami kasih Kristu
s, penebusan dan perdamaian dengan menempatkannya dalam penderitaan, sebagaimana diungkapkan Thomas E. Helm: “Francis resolved .... to manifest a Christlike love, especially for the sick, the leper, and the outcast....”[2]

GLOBALISASI, REALITAS MATERIAL DAN AGAMA

Beril Huliselan
(Jakarta 2004)


Kapitalisme dan Kesatuan Ruang Dunia
Runtuhnya negara-negara komunis menjadi babak baru dalam pergerakan kesatuan ruang dunia. Sistim komunis yang di masa lalu seolah-olah menjadi mimpi buruk yang panjang akhirnya runtuh dilindas semangat liberalisme, sebuah semangat yang bisa dikatakan menjadi roh masyarakat modern. Dalam roh liberalisme inilah, tuntutan akan perkembangan, kesetaraan sosial dan kebebasan individu dari segala pembatasan mendapat pijakannya. Absolutisme dalam ruang kehidupan harus dihapuskan, mengingat kemajuan hanya dimungkinkan oleh kebebasan. Dalam tataran praksis ekonomi, kompetisi dan penguasaan pribadi atas kekuatan produksi serta proses produksi harus mendapat perlindungan.[1] Dalam kerangka seperti ini, kapitalisme modern dengan ekspansi modalnya memiliki kekuatan ideologis dalam membentuk kesatuan ruang dunia. Globalisasi akhirnya menjadi sebuah proses dan sistim yang tidak bisa dibendung lagi. Pada titik ini, rasanya kita masih dapat melontarkan pertanyaan yang sama, apakah mimpi buruk tersebut telah lenyap dari ruang kehidupan manusia?

Apabila kita merujuk pada pernyataan dari pihak WEF (World Economi Forum) baru-baru ini di Korea Selatan (tahun 2004), jawaban atas pertanyaan tersebut sudah pasti adalah “YA”.[2] Sebuah jawaban yang memperlihatkan karakter ideologis – Liberalisme – yang berorientasi untuk memproduksi akumulasi modal dunia.

Ruang dan waktu adalah hambatan, oleh karena itu harus diatasi agar dapat terjadi akumulasi modal. Hal ini mengingat akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting dalam sistim kapitalis. Oleh karena itu, rasanya tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa pergulatan kapitalisme − sejak awal berkembangnya − senantiasa berkaitan dengan upaya mengatasi ruang dan waktu. Apabila ini tidak bisa dicapai, maka sangatlah sulit mewujudkan semangat dasar kapitlalisme − sebagaimana yang diyakini oleh Immanuel Wallerstein − yakni produksi dalam sistim pasar yang bertujuan memproduksi surplus yang maksimum.[3] Surplus maksimum hanya dapat dicapai dalam pola “produksi untuk dijual”, dan bukan dalam “produksi untuk dikonsumsi”.

Upaya mengatasi ruang dan waktu memiliki kontribusi penting dalam penyatuan ruang dunia (globalisasi). Persoalannya kemudian, dari titik mana upaya mengatasi ruang dan waktu tersebut harus diamati? Pertanyaan ini menurut hemat penulis sangat penting, karena dari sini kita bisa memahami karakter dari kesatuan ruang dunia tersebut. Di sini penulis lebih memilih mengambil titik berangkat dari orientasi surplus yang maksimum, sebagaimana disinggung oleh Wallerstein. Hal yang sama pun dapat ditemukan dalam pemikiran Karl Marx − tentunya tanpa mengesampingkan perbedaan yang ada antara Marx dengan Wallerstein − dimana Marx menekankan “produksi untuk dijual” dalam menghasilkan akumulasi modal sebagai karakter yang kental di dalam kapitalisme.[4]

Orientasi surplus yang maksimum dengan sendirinya menuntut upaya mengatasi hambatan ruang dan waktu, sebuah kenyataan yang pada akhirnya menghantarkan para pedagang urban dengan kongsi niaganya sebagai pihak yang mendominasi ekspansi ekonomi (abad ke-16). Ekspansi kongsi-kongsi dagang tersebut praktis menempatkan berbagai wilayah dibawah kekuasaannya. Hal ini semakin menguat dengan berkembangnya markantilisme pada abad ke-17 dimana kongsi-kongsi dagang mendapat suntikan tenaga dari pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh jalur perdagangan dan mengendalikan produksi di negara-negara jajahan. Dengan demikian, pemerintah kolonial dan kongsi-kongsi dagang mendapat surplus yang maksimum. Mekanisasi dalam proses produksi yang muncul pada revolusi industri (abad ke-18) mengakibatkan eksplorasi besar-besaran atas bahan baku di negara-negara jajahan dan re-organisasi pekerja dalam sistim pabrik. Di sinilah nilai lebih − sebagaimana ada dalam pemikiran Marx − mulai diproduksi. Kesatuan ruang dunia semakin mengental dalam bingkai produksi masal.[5] Apabila kita menggunakan konsep “sistim dunia” yang diajukan Wallerstein, maka kesatuan ruang dunia tersebut dapat digambarkan sebagai pada “tabel 1”.

Dalam skema seperti ini, surplus maksimum menggumpal pada negara-negara pusat. Sementara pada negara-negara pinggiran, yang terbesar adalah eksploitasi dan penghisapan untuk mendukung proses produksi masal negara pusat. Negara-negara pinggiran berada diantara keduanya, dibawah kontrol negara pusat, namun memiliki akses dalammengontrol negara-negara pinggiran.[6]

Karakter seperti ini kemudian mengalami perkembangan dimana kapitalisme monopoli muncul sebagai penyempurnaan dari model kesatuan ruang dunia yang ditemukan di abad ke-18. kesatuan ruang dunia ini sangat menonjolkan investasi asing − dalam bingkai Konsentrasi dan sentralisasi modal − untuk mendorong penetrasi pasar yang lebih stabil. kecenderungan ini muncul untuk mengurangi kompetisi yang sempat mengaibatkan kemerosotan level provit para kapitalis secara permanen dan tajam, kenyataan yang berlangsung pada tahu 1873 s/d 1896. Konsentrasi dan sentralisasi modal berkembang dan mengakibatkan penguasaan pasar dan harga-harga komoditas stabil di pasar. Di sini proses produksi masih bertumpu pada negara pusat dan semi pinggiran. Sementara negara-negara pinggiran tetap mengalami penetrasi dalam rangka memproduksi bahan-bahan mentah untuk menopang produksi dan penguasaan pasar. Hasilnya, akumulasi modal semakin terpusat di tangan kongsi-kongsi kapitalis tersebut.[7]

Pada pertengahan abad ke-20, lahirlah perusahaan-perusahaan multinasional sebagai unit produksi dasar dalam kapitalisme oligarkis tersebut. Sejak itu, berkembang produksi internasional dimana proses produksi dikembangkan diberbagai negara (semipinggiran dan pinggiran) sebagai bagian dari optimalisasi proses produksi. Sebuah perusahaan multinasional akan memiliki cabang-cabang produksi di berbagai negar di dunia. Skema multinasional ini sangat ditopang oleh sistim keuangan internasional, sistim komunikasi global dan jaringan perdagangan global.[8] Dalam konteks seperti ini, hambatan ruang dan waktu seolah-olah lenyap – kalau tidak mau dikatakan hilang. Hal ini mengakibatkan otimalisasi proses produksi dan akumlasi modal yang luar biasa besar. Produk-produk yang dengan nilai jual tinggi diproduksi dengan dukungan sistim keuangan internasional, menggunakan tenaga-tenaga pekerja yang sangat murah dari daerah pinggiran, dan langsung terkoneksi dengan pasar global melalui kemajuan teknologi informasi. Secara umum kesatuan ruang dunia ini dapat digambarkan pada “tabel 2”.
Dalam bingkai kesatuan dunia seperti ini, tidaklah mengherankan apabila kita menemukan bahwa separuh dari dana yang berputar di dunia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional. PDB Indonesia misalnya hanya sepersepuluh dari aset Citigroup atau General Electric, dan setengah omzet Wal-Mart. Setiap negara berkembang di dunia yang membutuhkan arus investasi untuk mengembangkan perekonomian negaranya – mau tidak mau – harus terkoneksi dengan sistim multinasional tersebut. Hanya dengan demikian, negara-negara berkembang dapat menerima kucuran FDI atau dana investasi langsung (FDI, foreign direct investmen)[9] untuk menggerakan proses produksi di negaranya.

Terkoneksinya suatu negara dengan kesatuan dunia ini akan menyeret terkneksinya sub-sub sektor usaha kecil dalam kesatuan dunia tersebut. oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila kontrasi yang dialami perusahaan-perusahaan multinasional bahkan dapat mengakibatkan terkoreksinya harga tahu dan tempe di pasar tradisional. Tahu dan tempe yang dulu merupakan makanan rakyat, tiba-tiba menjadi makanan mewah dan tidak terjangkau. Itulah salah satu potret kecil yang terjadi di Indonesia.

Dunia yang Tidak Simetris: Realitas Material dan Guncangan Nilai-Nilai
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, akumulasi modal yang besar (super profit) yang dicapai dengan semakin teratasinya kendala ruang dan waktu telah menjadi karakteristik dari kapitalisme modern dewasa ini. Di sini rasanya penting untuk mengajukan kembali pertanyaan yang telah diajukan di atas, apakah mimpi buruk benar-benar telah lenyap dari kehidupan manusia? "TIDAK". Mimpi itu bahkan semakin buruk lagi. Indonesia misalnya, setelah menjalin hubungan dengan kesatuan dunia yang dikendalikan yang dikendalikan secara multinasional, pada akhirnya mengakibatkan hancurnya sistim ekonomi dan bahaya kelaparan merajarela.

Pada akhir 1980-an dan 1990-an, pemerintah Indoneisa mengurangi ketergantungan dari minyak dan mencari penggantinya pada proses produksi non-migas melalui investasi swasta. Proses produksi non-migas bergerak dengan cepat dan berhasil menopang goncangnya perekonomian. Perekonomian Indonesia pada tahun 1998 bahkan, sebelum krisis terjadi, diprediksi oleh lembaga-lebaga internasional dapat bergerak sampai sekitar 7%. Namun, bergeraknya sektor non-migas praktis berjalan beriringan dengan eksploitasi buruh yang sangat memprihatinkan. Tenaga kerja buruh dijadikan komoditas yang sangat murah, bahkan tidak diberikan tunjangan kesehatan dan jaminan keselamatan kerja. Akumulasi modal − yang dicapai dengan cara eksploitasi buruh − sebagian kecil dinikmati oleh elit-elit ekonomi-politik lokal, sedangkan sebagian besar dikuasai oleh jaringan multinasional.

Kenyataan seperti ini masih diperparah dengan meningkatnya jumlah pinjaman pemerintah. Pada tahun 1982-1990, rata-rata pinjaman setiap tahun sekitar US$ 5 miliar. Tahun 1981 total utang pemerintah berjumlah US$ 15,9 miliar, namun pada tahun 1991 utang tersebut sudah membengkak menjadi US$ 48 miliar. Angka ini apabila dijumlahkan dengan utang swasta maka jumlahnya menjadi US$ 78 miliar pada tahun 1991.[10]

Jumlah yang besar ini ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Besarnya jumlah utang yang terus meningkat setiap tahun mengakibatkan pada awal tahun 1998 total utang pemerintah (US$ 67,773 miliar) dan swasta (US$ 68,315 miliar) telah mencapai US$ 138,088 miliar, sebuah jumlah yang akan terus meningkat. Dalam kerangka APBN, utang yang semakin besar ini mengakibatkan sebagian besar APBN tersedot untuk membayar cicilan bunga utang dan utang pokok. Hal ini mengakibatkan dana bagi pembangunan pun semakin kecil, bahkan minus. Sejak akhir tahun 1980-an dan tahun 1990-an, sebagian besar APBN tersedot untuk membayar bunga utang dan utang pokok. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila sejak akhir 1980-an, dana pembangunan praktis bersumber dari utang luar negeri. Gawatnya, ketergantungan akan utang jangka pendek memperlihatkan peningkatan. Ketergantungan ini dapat dilihat dari besarnya utang jangka pendek pada tahun 1997 yang mencapai 59% dari keseluruhan utang.[11]

Reformasi perbankan yang diupayakan pemerintah pada pertengahan 1980-an mengakibatkan keleluasaan bagi Bank-Bank dalam negeri untuk memobilisasi dana mereka sendiri yang berakibat naiknya bungan pinjaman dan pinjaman luar negeri dari Bank-Bank tersebut. Dana yang terkumpul kemudia digunakan untuk investasi jangka menengah dan panjang sehingga menimbulkan kesulitan likuiditas. Sektor-sektor produksi swasta (non-Bank) pun diberikan kelonggaran untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar bagi utang luar negeri swasta.[12] Jaringan keuangan internasional terus-menerus mengucurkan dana bantuan sekalipun mereka mengetahui bahwa perekonomian Indonesia sangat rapuh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila saat ini indonesia praktis berada dalam kendali kuat jaringan multinasional. Salah satu contoh adalah berbagai macam aset di negeri ini praktis berada di tangan jaringan multinasional.

Lalu apa hasil akhir dari semua ini? Hasil akhirnya adalah Indonesia menggantungkan ekonominya dari sektor konsumsi. Pada tahun 2003, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,1% dan sebagian besar ditopang oleh sektor konsumsi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan naik pada 4,7% - 4,8% pada kuartal I 2004, namun tetap bergantung pada sektor konsumsi. Padahal pertumbuhan yang tergantung pada sektor konsumsi tidak akan bertahan (sustainable),[13] lebih parah lagi Indonesia hanya akan menjadi tempat pelemparan berbagai komoditas produksi masal yang dimotori jaringan multinasional.

Di tempat lain, India misalnya mengalami pertumbuhan sebanyak 8% pada tahun 2003, dan kini bergerak menjadi 10%, investasi asing mengucur, eksport meningkat sampai pada munculnya perkantoran serta kawasan mewah. Namun di sisi lain, hampir 40% rakyat India hidup dalam kondisi buta huruf, kurangnya akses pada air bersih dan hidup dalam kemiskinan.[14] Persentuhan dengan jaringan multinasioanal yang sangat mobile justru menghasilkan kemelaratan bagi sebagian besar penduduk asia seperti Indonesia dan India. Hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang menikmati kesejahteraan, yakni segelintir elit-elit politik-ekonomi lokal. Ketimpangan tersebut − dalam kaitan dengan jaringan multinasional − mungkin dapat digambarkan pada “tabel 3”.
Proses produksi sangat membutuhkan investasi internasional untuk menghasilkan berbagai komoditas barang dan jasa (termasuk jasa kemanusiaan). Dalam proses tersebut, jaringan multinasional di barat menguasai produksi di berbagai negara. Hal ini dikarenakan penguasaan proses produksi multinasional sangat tergantung pada penguasaan sistim keuangan internasional, sistim komunikasi global dan perdagangan global. Ketiga hal ini umumnya dikuasai oleh jaringan multinasional di barat. Alhasil, proses ekonomi yang menghasilkan akumulasi modal yang sangat besar (super profit) berada dalam kontrol mereka. Dengan demikian, mereka akan menikmati akumulasi modal yang sangat besar. Sementara itu, sebagian kecilnya dikuasai oleh elit-elit politik-ekonomi lokal. Hal ini menghasilkan distribusi yang timpang, di mana sebagian besar rakyat tidak mendapat akses kepada keuntungan yang diperoleh dari proses produksi tersebut. Berbagai sarana publik bisa saja dibangun dengan segala kemewahan oleh pemerintah lokal, namun sarana tersebut sebagian besarnya pasti terkait dengan upaya untuk semakin memperkecil ruang dan waktu dalam proses produksi multinasional. Dengan kata lain, sarana-sarana tersebut harus mendukung efektivitas dan mobilisasi dari proses produksi multinasional. Kenapa? Karena akumulasi modal yang sangat besar (super profit) hanya dapat dicapai apabila batasan ruang dan waktu dapat ditekan. Dan itu berarti, akan memberikan kontribusi profit kepada sejumlah elit politik-ekonomi lokal. Sementara di pihak negara-negara maju, hal tersebut akan mendongkrak PDB negara maju.

Kondisi ini mengakibatkan disorientasi sosial di tengah-tengah masyarakat berkembang menjadi sangat tinggi. sistim nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat mengalami goncangan yang luar biasa. Apabila kita meminjam pemikiran Durkheim − tanpa harus sepakat dengan pendekatan konsensusnya − di mana agama dipandang sebagai sistim nilai yang merupakan indikator non-material dari masyarakat (cara masyarakat mengekspresikan diri mereka dalam fakta sosial non-material),[15] maka kita dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya guncangan sistim nilai tersebut dalam masyarakat yang hidup dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional ini. Namun, memang harus disadari bahwa pemikiran Durkheim kurang memadai untuk menganalisa agama dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional. Hal ini mengingat pemikiran Durkheim cenderung bercorak status quo, sebagai akibat penekanan yang sangat kuat terhadap karekter fungsional dalam masyarakat. Masyarakat cenderung dipahami sebagai kekuatan moral (moral power) di mana individu terikat di dalamnya dan menemukan segala yang baik berkaitan dengan dirinya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Durkheim mengatakan mengenai agama − sebagaimana dikutip oleh Alex Callinicos − bahwa “The system of ideas with which individuals represent to themselves the society of which they are members, and the obscure but intimate relations which they have with it”.[16] Pendekatan seperti ini tentunya akan melegitimasi dominasi ideologis atas masyarakat lokal oleh jaringan multinasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Giovanni E. Reyes, salah satu aspek yang juga penting dalam globalisasi adalah transfer aspek kultural melalui sistim komunikasi ke seluruh masyarakat.[17] Dengan demikian, mendukung kesatuan proses produksi multinasional tersebut.

Penempatan agama sebagai fakta sosial non-material di sini tidak dimaksudkan menempatkan agama dalam skema Durkheim. Sebaliknya, penempatan ini hanya sekedar untuk menunjukan bahwa agama dan masyarakat adalah dua hal yang saling terkait. Dalam membaca kedua hal ini, penulis lebih berorientasi untuk menempatkan agama dalam basis material. Dengan demikian gagasan agama yang dominan akan sangat terlihat berdiri tegak lurus proses ekonomi yang tidak simetris.

Dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional, di mana ketimpangan begitu mencolok, agama sebagai sistim nilai mengalami guncangan yang luar biasa. Di Indonesia misalnya, agama telah menjadi jerami yang kering dan senantiasa siap untuk dibakar. Oleh karena itu, disorientasi sosial terlihat begitu kental, tampak pada konflik horisontal di mana agama begitu kental bermain di dalamnya. Otoritas moral kalangan rohaniwan semakin luntur di mata rakyat kebanyakan yang mengalami distribusi yang tidak simetris dalam proses ekonomi.

Lebih dari itu, pemikiran-pemikiran keagamaan dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional merupakan produksi industri kebudayaan − meminjam Adorno − yang mengendalikan kesadaran masa dalam menopang proses produksi multinasional yang hanya menguntungka jarinngan multinasional dan para elit politik-ekonomi lokal. Salah satu contoh mengenai hal ini dapat dilihat dalam kiprah gereja-gereja melalui DGI/PGI di Indonesia. Pada era tahun 1980-an, gereja-gereja melalui DGI/PGI sangat genjar melakukan adalah penafsiran atas Injil dengan menyetarakannya dengan ideologi Pancasila yang saat itu menjadi ideologi penguasa. Injil kemudian sejajar dengan Pancasila dan keduanya teraktualisasi dalam proses pembangunan nasional. Penguasa ORBA saat itu membutuhkan dukungan investasi untuk mendorong sektor non-migas. Proses investasi itu sendiri − sebagaimana kita ketahui bersama − menghasilkan proses dehumanisasi yang luar biasa. Sebuah proses yang rasanya menarik untuk dirumuskan dengan meminjam apa yang diuangkapkan Marx tentang bagaimana tenaga kerja manusia dihargai dalam kapitalisme: “The Cost of production of workman is restricted, almost entirely, to the means of subsistence that requires for his maintenance, and for the propagation of his race”.[18]

Dengan demikian, Injil di sini berfungsi seperti rumusan yang dibuat Dominic Strinati pada saat menjelaskan mengenai Adorno: “It shapes the tastes and preferences of the masses, thereby moulding their consciousness by instilling the desire for false needs. It therefore works to exclude real or true needs, alternative and radical concepts or theories, and genuinely threatening political opposition.” [19]

Kemana Kita Harus Melangkah: Masa Depan Agama?
Sulit rasanya membayangkan masa depan agama di negara pinggiran seperti Indonesia. Bisa saja kita mengatakan bahwa pemberdayaan komunitas-komunitas lokal sebagai hal yang penting, dimana agama dapat memainkan peran yang efektif di dalamnya. Namun dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional, rasanya tidak ada yang untouchable. Lalu apa yang harus dilakukan? Di sini pendapat Elizabeth Schmidt − pada saat beliau menggambarkan teologi pembebasan di Amerika latin − menarik untuk disimak, yakni: “Because dominant powers employ distorted religious symbolism on their own behalf, liberation movements seek not only the transformation of structure and institutions, but a spiritual revolution, a new vision in light of which to encounter and redeem reality.” [20]

---------------------------------------------------------
[1] Fransisco Budi Hardiman, “ Ideologi Sebagai Pemikiran Politik,” DISKURSUS, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol.2,No.1 (2003), 24-25; “Liberalism”, The Columbia Encyclopedia, sixth edition 2001, http://www.bartleby.com/65/li/liberali.html.

[2] Pada kesempatan tersebut, pihak WEF – berkaitan dengan demonstrasi anti globalisasi di Korea Selatan – menyatakan bahwa forum tersebut bertujuan menciptakan stabilitas, perdamaian dan kemakmuran dunia melalui kerjasama internasional (“Aksi Antiglobalisasi atas WEF di Seoul”, Kompas, 14 Juni 2004, 3) .

[3] Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Relaitas social, Terj. Farid Wajidi, edisi ke-2 (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 170.

[4] Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Frederick Ungar Publishing Co., 1969), 49-50.

[5] Sanderson, Op.Cit., 171-174, 195-196; Karl Marx, “Economic and Philosophical Manuscripts”, dalam: Erich Fromm, ibid, 110; Roger S. Gottlieb, Marxism: Origins, Betrayal & Rebirth (New York-London: Routledge, Chapman & Hall Inc., 1992), 23-24.

[6] Sanderson, Ibid, 174-177.

[7] Sanderson, Ibid, 202; Gottlieb, Op.Cit., 152-153.

[8] Sanderson, Ibid, 202-205; Giovanni E. Reyes, “Theory of Globalization: Fundamental Basis”, An E-Journal Studies Department, http://sincronia.cucsh.udg.mx/globaliz.htm.

[9] Lht. Beni Sindhunata, “Meningkatkan Daya Guna”, Warta Ekonomi, Th. XVI, 24 April 2004, 33

[10] Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, dalam Pembangunan di Indonesia, memandang dari sisi lain, ed. INFID (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 5.

[11] Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1998), 98-99, 102-105; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, Ibid, 8-11; bdk. Kwik Kian Gie, “Utang, Utang dan Kemplang”, dalam Ekonomi Indonesia, ed. Priyo Utomo Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 199),76-77.

[12] Tambunan, Perekonomian Indonesia, Ibid, 39-40; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, Ibid, 11-12.

[13] Hizbullah Arief, “Ingat dan Waspada”, BusinessWeek, edisi Indonesia, No.52/II/9/Juni 2004, 16.

[14] Hizbullah Arief, “Ingat dan Waspada”, Ibid, 24 & 26.

[15] George Ritzer, Modern Sociological Theory, fourth edition (New York: Mc graw-Hill Companies, Inc., 1996), 20.

[16] Alex Callinicos, Social Theory, A Historical Introduction (New York: New York University Press, 1999), 141.

[17] Reyes, “Theory of Globalization: Fundamental Basis”, Op.Cit.

[18] Karl Marx, The Communist Manifesto, (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1988), 61.

[19] Bdk. Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, second edition (New York: Routledge, 2004), 55.

[20] Elizabeth Schmidt, “In Candid Conversation: Theology and Sociology of Knowledge”, dalam Religion and the Sociology of Knowledgeed, Modernization and Pluralism in Christian Thought and Structure, ed. Barbara Hargrove (New York and Toronto: The Edwin Mellen Press, 1984), 22.

Pergulatan Pembaruan Islam di Indonesia

Book review
Beril Huliselan
(Jurnal Penuntun, Vol. 5, No. 19, 2003)
Judul : Gagasan Islam Liberal di Indonesia
Pengarang : Greg Barton, Ph.D

Penerbit : Paramadina & Pustaka Antara

Format : 14.4 x 20.8 cm; xxiv + 607 hlm.
(termasuk daftar pustaka & lamp; indeks)

Pembaruan Pemikiran Islam: sebuah sketsa 
Pembaruan pemikiran Islam tampaknya lahir dari sebuah kegelisahan dan perenungan yang berangsur-angsur menjelma menjadi kekuatan sosio-kultural yang berusaha memecahkan kebuntuan internal di dalam Islam maupun menjawab tantangan modernisasi dan globalisasi dari barat. Kegelisahan ini melahirkan suatu gerakan intelektual yang dipandang Greg Barton bercorak moderat, liberal dan progresif. Sebuah gerakan yang sangat menekankan arti penting Islam yang kontekstual dan substansial, serta tidak menceburkan diri dalam politik kepartaian, sebagaimana dikatakan oleh Barton: ”neo-Modemisme .... berpaham pemisahan antara antara gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan langsung kelompok-kelompok agama ke dalam partai politik .... menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan aliran-aliran keagamaan.” Bagi kalangan neo-Modernis, salah satu kegagalan Modemisme awal adalah terlalu terobsesinya mereka dengan Negara Islam. Oleh karena itu, hal ini cenderung dijauhkan oleh gerakan neo-Modemis.

Barton menggunakan istilah neo-Modemisme untuk membahasakan gerakan tersebut. Sebuah istilah yang diyakininya lebih memadai, baik untuk untuk membedakan gerakan baru ini dengan gerakan Modernisme dan Tradisionalisme yang telah muncul sebelumnya di Indonesia, maupun untuk menggambarkan sebuah sintesis baru antara pemikiran Islam dengan pemikiran dunia modem (Barat). Sebuah sintesis yang menunjukan vitalisasi di dalam Islam yang berperan dalam menjembatani pergesekan antara kalangan Modemis dan Tradisionalis, serta menunjukan sebuah perkembangan yang bergerak melampaui semangat Modernisme yang ditawarkan oleh organisasi seperti Muhammadiyah atau Masyumi. Barton meyakini bahwa gerakan ini memiliki masa depan yang lebih menjanjikan, mengingat kontekstualisasi dan pluralisme mendapat ruang yang besar di dalamnya. Dan tentunya, vitalisasi ini bergerak keluar dari pertarungan kepentingan di dalam politik kepartaian yang seringkali mewarnai kebangkitan di dunia Islam.

Neo-Modemisme berawal dari sebuah gerakan intelektual, mulai periode tahun 1970-an, yang menyerukan arti penting 'Pembaruan Pemikiran Islam'. Gerakan intelektual ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki latar belakang Tradisonalis, namun menaruh perhatian pada gagasan-gagasan Modernisme yang berasal dari Muhammad Abduh dan para pengikunya. Oleh karena itu, neo-Modemisme dapat dipandang sebagai perkembangan kemudian dari Modernisme Islam yang bergerak lebih jauh dengan mengawinkan semangat Modernisme awal, kesarjanaan tradisional dan klasik serta metode-metode analitik Modern (Barat). Istilah neo-Modernis pun mulai merebak sebagai hasil refleksi untuk mendudukan gerakan pembaruan ini ke dalam bingkai yang leblh global.

Neo-Modemisme mulai dihembuskan sekitar akhir 1960-an/awal 1970-an oleh tokoh-tokoh yang secara geografis agak berjauhan. Di Jakarta, Nurcholish Madjid tampil dengan serum pembaruan Islam sebagai sebuah agenda yang mendesak. Sebuah gebrakan yang pada akhirnya membuat Madjid dipandang sebagai tokoh yang berbahaya oleh para pemimpin eks-Masyumi. Sementara di Yogyakarta, Djohan Effendi dan Ahmad Wahid berusaha membongkar wacana Islam dengan mengupayakan sebuah pencarian rasional yang kontinu serta tidak terikat pada batasan-batasan tabu dm kebiasaan dogmatik. Di luar ketiga tokoh ini, terdapat Abdurrahan Wahid yang pada akhir 1960-can justru sedang berada di luar negeri. Namun, pada akhir 1970-an mulai menjadi pilar penting dari lingkaran 'Pembaruan Pemikiran Islam' di Jakarta.

Pergesekan yang yang berlangsung lama antara kalangan Tradisionalis dan Modernis, baik dalam tataran teologi maupun praksis politik, telah menjadi salah satu social setting dari munculnya sebuah kesadaran baru yang menggulirkan ‘Pembaruan Pemikiran Islam’. Pergesekan tersebut sebenarnya sempat mereda pada masa penjajahan Jepang. Namun setelah kemerdekaan, pertarungan di antara kedua kelompok ini kembali terjadi dan mengakibatkan keluarnya kalangan Tradisionalis dari Masyumi. Kalangan Tradisionalis, yang diwakili oleh wadah NU, pada akhirnya lebih memiliki daya survive yang lebih baik dibandingkan kalangan Modernis. Hal ini terkait dengan corak pragmatis dan sikap hati-hati yang dijalankan oleh kalangan Tradisionalis dalam membaca wacana dan praksis politik di tanah air. Barton melukiskan orientasi tersebut sebagai berikut:"NU tidak memaksakan diri untuk ‘bersiteguh pada prinsip’. NU lebih memilih menata tanpa .... mengorbankan integritas mereka maupun identitas Muslim dalam mendukung kebijakan pemerintah.”

Selain NU, bagi Barton kemampuan survive seperti itu juga di miliki oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di mana corak pragmatis ikut mewarnai kiprah gerakan mahasiswa ini. Corak pragmatis, pluralistik dan penempatan Islam sebagai yang lebih utama dari pada politik kepartaian, mengakibatkan HMI ― semenjak kelahirannya (tahun 1947) ― selalu mengalami ketegangan dengan Masyumi. Hal ini misalnya tampak pada dukungan HMl pada tahun 1953 terhadap negara sekuler dari pada negara Islam. Barton melukiskan kesetaraan daya survive antara NU dengan HMI sebagai berikut: “....para pemimpin HMI adalah orang-orang yang mempunyai sudut pandang sama dengan para pemimpin NU di sepanjang periode ini, karena kedua kelompok tersebut memperhatikan tanggungjawab mereka yang terbesar untuk .... pendidikan dan stabilitas umat Islam.” Hal ini membawa Barton untuk menempatkan HMI sebagai salah satu tanda-tanda awal berkembangnya sebuah bentuk baru dari Modemsime Islam di Indonesia.
Apabila NU dan HMI memiliki daya survive, di pihak lain kalangan Modemis seperti Masyumi pada akhirnya kehilangan posisi tawar dalam konstalasi politik di tanah air. Hal ini diakibatkan oleh kekakuan mereka, baik di dalam teologi maupun praksis politik. Meredupnya daya jelajah kaum Modernis ini berjalan seiring dengan munculnya sebuah bentuk Modemisme baru yang kemudian dikenal dengan nama neo-Modemisme. Oleh karena itu, neo-Modernisme juga dipandang Barton sebagai hasil sebuah proses evolusi dari Modemisme Islam awal yang mulai meredup di tanah air. Di sini Barton memfokuskan kajiannya pada empat tokoh besar yang berperan dalam mendorong 'Pembaruan Pemikiran Islam', yakni: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid.

Pergulatan Dalam Gagasan
Hal menarik dari buku yang ditulis oleh Greg Barton adalah besarnya porsi yang diberikan untuk nlenggambarkan dan menganalisa gagasan-gagasan pembaruan yang terkait dengan empat tokoh di atas. Hal ini tentunya menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi yang menarik bagi mereka yang ingm mendalami lebih jauh gagasan-gagasan pembaruan dari keempat tokoh tersebut. Gagasan-gagasan pembaruan ini sebenamya sudah mulai bergulir dalanl Limited Group yang terbentuk pada tahun 1967. Kelompok diskusi ini dimotori oleh Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan M. Dawam Raharjo yang bertujuan untuk menggulirkan proses pencarian rasionalitas secara terus-menerus dalam rangka mengupayakan pembaruan Islam. Sementara kelompok di Yogyakarta ini bergulat di dalam Limited Group mereka, di Jakarta terjadi sebuah gelolak besar sebagai akibat makalah yang dibawakan Nurcholish Madjid pada tanggal 3 Januari 1970 yang berjudul ‘Keharusan Pembaruan Pemiluran Islam dan Masalah Integrasi Umat’. Sebuah makalah yang kemudian menimbulkan kemarahan besar dari kalangan Modemis.

Dalam makalah tersebut, Madjid mencoba melakukan evaluasi kritis terhadap posisi intelektual kalangan Modernis yang cenderung bersifat reaksioner-dogmatis dan sinis terhadap pembaruan umat. Bagi Madjid, dinamika sangat diperlukan apabila kita ingin melihat pembaruan umat. Hal ini menuntut di dalamnya keharusan gerakan pembaruan pemikiran Islam yang radikal. Sebuah gerakan yang menggusur segala bentuk kegemaaran atau tradisi yang cenderung bersikukuh pada dirinya sendiri. Di sinilah Madjid memunculkan istllah ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisasi’ yang kemudian menjadi sebuah perdebatan panjang. Bagi Madjid, ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisasi’ adalah sebuah keharusan bagi pembaruan Islam di mana rasionalitas akan mendapat perhatian penting.

Ini semua dilakukan Madjid bukan untuk meniadakan dimensi transeden. Sebaliknya, justru untuk meletakan ‘yang sakral’ dan ‘yang tidak sakral’ pada tempat semestinya. Dengan demikian, segala bentuk pemberhalaan terhadap ortodoksi-dogmatis dapat dihindarkan dan ruang Bag rasionalitas semakin terbuka. Terbukanya ruang yang lebar bagi rasionalitas menuntut di dalamnya kebebasan berpikir. Kemandekan Islam dalam mata Madjid cenderung diakibatkan oleh hilangnya ruang kebebasan tersebut. Ini bisa dilihat dari pemyataan Madjid, sebagaimana dikutip oleh Barton: “....umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh oleh orang lain, sehingga posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada dalam tangan mereka .... Dalam hal inilah kita melihat kelemahan umat Islam .... akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai yang ukhrawi dan yang duniawi, sistim berpikir yang masih terlalu peka diliputi oleh tabu serta a priori, dan seterusnya.”

Bagi Barton, pemikiran Madjid di dalam ‘Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat’ tidak berarti bahwa Madjid telah berputar haluan sebagaima dilontarkan oleh kalangan Modemis. Apabila dibandingkan dengan makalah yang dibawakannya pada tahun 1968 dengan judul ‘Modemisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westenisasi’, memang agak terasa nuansa yang bersifat apolegetik. Oleh karena itu, melalui makalah ini Madjid justru banyak mendapat pujian dari kalangan modemis. Namun bagi Barton, salah satu tema sentral yang diangkat pada tahun 1968 adalah mengenai Modeenisasi Oleh karena itu, makalah yang dibawakan pada tahun 1968 sudah memperlihatakan secara samar arah orientasi pemikiran Madjid. Kesalahan kalangan Modemis bagi Barton juga terletak pada ketidakmampuan mereka membaca arah orientasi intelektual Madjid yang sudah bisa ditelusuri sejak makalah tahun 1968.

Dalam makalah tahun 1968 tersebut, Madjid menekankan pentingnya konsepsi Ketuhanan sebagai kekuatan moral yang berperan menjadi pilar utama sebuah peradaban. Madjid di sini menggunakan logika kalangan Modernis-konservatif, dalam melakukan penolakan terhadap sekularisme, yang dipandangnya berkaitan dengan kemunculan sistim yang tirani dan otoriter. Berkaitan dengan makalah ini, menarik memperhatikan analisa Barton terhadap tulisan Madjid yang tampak bernuansa apolegetik tersebut: “....apolegetik Nurcholish Madjid .... tidak pernah semata-mata membela posisl Islam dengan bermain di luar lapangan, melainkan membela Islam sambil melempar gagasan-gagasan baru .... Muatan-muatan seperti itulah yang dikandung dalam makalah ‘Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westenisasi’....”

Modernisasi, rasionalisasi dan kebebasan berpikir menjadi sesuatu yang menonjol dalam arah intelektualitas Madjid. Pada arah inilah dia sentiasa berusaha masuk dalan kajian-kajian yang membahas Islam dalam kaitan dengan perkembangan yang sedang berlangsung baik di tingkat lokal maupun global. Oleh karena ini, tema-tema seperti ‘rasionalitas dan iman’ atau ‘Islam dan masyarakat modern’ senantiasa bergulir dari gagasan-gagasannya. Tema-tema ini dielaborasi oleh Madjid dan dikombinasikan dengan ijtihad yang menempatkan Al-Qur’an sebagai kebenaran yang kekal. Oleh karena itu, menurut Barton, di sini sebenarnya kita tidak menemukan orientasi liberal seperti yang ditemukan di dunia Barat. Namun dibandingkan dengan kalangan Modernis awal, gagasan Madjid menurut Barton jauh lebih berani dan bebas.

Apabila Madjid bergulat dengan tema-tema besar seperti Modernisasi, Sekularissasi dan keharusan rasionalisasi dalam Islam, Djohan Effendi lebih memfokuskan diri pada problematika kemanusiaan. Pendekatan yang dikembangkan, dalam batasan tertentu, dipandang bercorak humanistik dengan menempatkan rasio pada posisi yang tinggi di dalam Islam. Namun, corak humanistk ini tidak berarti bahwa pemikiran Effendi bersifat anti-teistik. Sebaliknya, otoritas transedental tetap memiliki tempat yang utama di dalam gagsan-gagasan yang digulirkannya.

Penempatan arti penting manusia oleh Effendi terlihat sekali ketika ia berusaha melawan kecenderungan fatalistik yang terkadang menghiasi wajah Islam. Gagasan Effendi mengenai takdir justru dikaitkannya dengan apa yang disebut kehendak bebas. Di sini Effendi berusaha untuk tidak mereduksi otoritas transedental berkaitan dengan kehidupan manusia. Namun baginya, otoritas transedental tersebut diletakkan dalam keterikatan yang kuat dengan tanggungjawab manusia sebagai individu. Dalam kebebasan (kehendak bebas) dan kesadarannya (rasio), manusia memilih untuk tunduk pada otoritas Tuhan. Tunduk pada otoritas Tuhan dirumuskan Effendi sebagai sesuatu yang aktif, di mana manusia menempakan rasionalitasnya untuk mengubah dunia sesuai dengan sifat Tuhan. Di sinilah anugerah Tuhan dipergunakan oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Hal ini tampak pada uraian Barton mengenai posisi aktif manusia yang ada dalam gagasan Effendi: “Dan kita tidak hanya memohon keadilan tetapi lebih berusaha untuk menggapainya. Kita tidak hanya memuji kerahiman dan kemurahan hati Tuhan, tetapi juga lebih berbuat selaras dengan kerahimian serta kemurahan Tuhm tersebut.”

Dalam pemikiran Effendi, antara rahmat dan kemanusiaan manusia ditempatkan sebagai dua hal yang saling kait mengkait. Rahmat Tuhan dikaitkan Effendi dengan kemanusiaan manusia yang bergerak dalam kebebasan. Di pihak lain, di dalam kemanusiaannya manusia menjadi agen-agen bebas yang berperan sebagai rahmat Tuhan bagi dunia. Dalam konteks kehidupan bangsa, kerangka seperti ini menggiring Effendi pada penekanan akan arti penting teologi kerukunan. Sebuah penekanan yang memberikan ruang yang besar bagi realitas plural bangsa Indonesia. Di sini Effendi menolak segala absolutisasi agama yang dipandangnya bertentangan dengan kenyataan dasar manusia sendiri. Di dalam kemanusiaannya, setiap individu pada dasarnya memiliki keterbatasan untuk menjangkau kebenaran secara keseluruhan. Oleh karena ini, penghargaan terhadap realitas plural bangsa ini terkait dengan kesadaran manusia akan keterbatasannya menggapai kebenaran serta keterbukaan terhadap pandangan keagamaan yang moderat dan liberal. Di sini dialog menjadi hal yang sangat penting, sebuah sarana yang bagi Effedi menjembatani kompleksitas bangsa dengan berbagai beban sejarah yang ada di belakangnya serta realitas plural yang mengintarinya.

Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Komitmen Effendi terhadap pluralisme ini terartilkulasi dengan dukungannya terhadap Pancasila. Sebuah dukungan yang dalam penelusuran Barton sudah muncul semenjak akhir 1960-an. Dukungan ini didasarkan atas kenyataan plural bangsa ini, di mana Pancasila dapat berfungsi sebagai kerangka konseptual yang berperan dalam membingkai kemajemukan serta memberikan jati diri non-sektarian bagi bangsa ini. Tampaknya, Apa yang dipertaruhkan Effendi di sini tidak lain dari ruang yang besar bagi kebebasan dan kerukunan beragama.

Sebagai rekan Effendi dalam kelompok diskusi Limited Group, Ahmad Wahid juga memperlihatkan suatu orientasi yang menempatkan rasio sebagai hal yang utama dalam Islam. Hal ini berarti bahwa kebebasan berpikir merupakan hal yang mendasar dalam Islam. Rasio dan kebebasan berpikir dirumuskan Wahid dengan menempatkannya dalam keterkaitan dengan eksistensi Tuhan. Tuhan dalam pandangan Wahid adalah sepenuhnya rasional, dan dalam rasionalitas-Nya tersebut Ia menjadikan manusia. Karena itu, Tuhan pada dasarnya mencintai rasio dan kebebasan. Di sini menarik memperhatikan apa yang dikatakan oleh Wahid, sebagaimana kutip oleh Barton: “Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan ‘adanya’. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik, sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tetapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan.”

Atas dasar rasio dan kebebasan berrpikir, Wahid mempersoalkan kalangan Modernis yang dipandangnya cenderung subyektif dan menyerang gagasan-gagasan pembaruan yang bermunculan sekitar tahun 1970-an. Hal ini berarti bertentangan dengan rasio dan kebebasan berpikir. Dan tentunya, bertentangan dengan Islam sendiri yang diyakininya memiliki spirit pembaruan. Spirit pembaruan ini dikaitkan dengan misi dan kiprah Nabi Muhammad sebagai seorang inovator dan reformer. Esensi dari pesan Nabi Muhammad, bagi Wahid, terletak pada upaya pembaruan dan modernisai dunia sosial dan intelektual pada masanya. Pembaruan yang dilakukan Nabi Muhammad adalah pembaruan yang kontekstual, sesuai dengan pergulatan zamannya. Atas dasar inilah Wahid menekankan pentingnya ijtihad yang kontekstual sebagai sebuah keharusan dalam mewujudkan pembaruan Islam. Dalam kerangka ijtihad yang kontekstual ini, sejarah kehidupan Nabi Muhammad mendapat tempat yang penting dalam pemikiran Wahid. Al-Qur'an dan Hadits sendiri bagi Wahid harus dipahami dengan menempatkannya dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad. kehidupan Nabi Muhammad tampaknya, dalam pandangan Wahid, menjadi sumber utama dari ajaran Islam. Inilah yang harusnya menjadi terang bagi misi umat Islam di dunia modern. Hal ini bisa dillhat langsung pada uraian Wahid yang diangkat oleh Barton: “....meletakan Sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber ajaran Islam maka .... manusia Muslim terlibat dalam tugas historical direction untuk menghisap dari sejarah Muhammad itu sebagai sumber terang bagi masa kini.”

Di sinilah titik sentral dari gagasan pembaruan yang ditiupkan oleh Wahid, di mana kolaborasi antara rasio, kebebasan dan ijtihad yang kontektual melebur dalam gagasan pembaruannya. Salah satu hal yang menarik dari tokoh sekelas Wahid, dia memiliki keberanian dan kebebasan dalam melakukan eksplorasi terhadap Islam. Ini bisa dilhat dari upayanya untuk menjalankan kejujuran intelektual: “kalau suatu golongan atau umumya umat Islam lemah .... dengan cepat orang-orang berkata bahwa yang salah adalah orang Islam, bukan Islamnya .... Orang takut untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya kritik terhadap Islam .... Apakah tidak mungkin Islam itu sendiri mengandung kelemahan? Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya....” Sebuah artikulasi kejujuran yang benar-benar bebas dan tampaknya menjadi ciri khas kiprah intelektual Wahid.

Spirit kebebasan seperti ini, juga terpancar dari tokoh seperti Abdurrahman Wahid. Seorang tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungm Islam Tradisional, namun memilih gagasan yang melampau kalangan Tradisional dan Modernis. Arti penting pembaruan di dalam Islam digulirkan Abdurrahman dengan kosep ‘dinamisasi’. Bagi Abdurrahman, ‘dinamisasi’ adalah syarat mutlak supaya Islam tidak terjerumus menjadi kering dan legalisme. Melalui konsep 'dinamisasi', Abdurrahman mencoba merefleksikan dan menggulirkan wajah adaptif dan fleksibel dari Islam Tradisional. Bersamaan dengan itu, berusaha melakukan perlawanan terhadap anggapan bahwa agama merupakan salah satu element sosial yang sulit berubah.

Perlawanan Wahid dikembangkan dengan tokoh-tokoh seperti Weber, Gandhi dan Geertz untuk menunjukkan daya transformatif agama. Daya transformatif ini dikaitkan dengan salah satu corak dari Tradisionalis untuk senantiasa melihat ke arah ‘semangat hukum’ dari pada ‘tulisan hukum’. Orientasi pada ‘Semangat hukum’ membuat kalangan Tradisional memiliki sifat yang adaptif dan fleksibel, dibandingkan kalangan Modernis yang cenderungkaku (legal-formalistik). Namun ini tidak berarti bahwa kalangan Tradisional tidak memiliki cacat sama sekali. Bagi Abdurrahman, baik Tradisionalis maupun Modernis sama-sama tidak bebas dari penyakit. Oleh karena itu, ‘dinamisasi’ bagi Wahid justru hadir pada kelompok yang ketiga, yakni gerakan pembaruan Islam yang saat itu mulai bergulir. Pertimbangan beliau adalah: “....gerakan ini .... mengembalikan persoalan pada titik pusatnya, yaitu merumuskan tempat manusia dalam kehidupan dan menarik garis pemikiran keagamaan dari pusat tersebut. Ia bukan pengkotak-katikkan .... melainkan penataan kembali semua dasar yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.”

Apa yang disinggung Abdurrahman di atas adalah soal ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisas’ Nurcholish Madjid yang dipandangnya memberikan pengaruh terhadap dinamisasi pemikiran keagamaan Islam. Dinamisasi ini pada gilirannya akan memberikan ruang kebebasan untuk merumuskan ulang hubungan manusia dan Allah, sesuatu yang bagi Abdurrahman merupakan persoakan fundamental. Sebuah persoalan yang sebelumnya telah mengalami tumpang-tindih dan membeku ke dalam orientasi legal-formalistik. Dalam kasus Nurcholish Madjid, ruang duniawi dan ukhrawi (transedental) direnungkan kembali dan diletakan pada kedudukan masing-masing sebagaimana mestinya. Hal ini juga yang turut menghiasi gagasan-gagasan dari tokoh-tokoh awal pendorong pembaruan pemikiran Islam. Dinamisasi seperti ini, dalam keyakinan Abdurrahman, akan membuka ruang yang besar bagi pluralisme dan modernitas.

Penutup
Neo-Moernisme tampil dengan menonjolkan pentingnya ijtihad yang kontemporer di mana akselerasi dengan perkembangan zaman menjadi sesuatu yang tidak bisa dittawar-tawar. Sebuah ijtihad yang membuka ruang bag rasionalitas, kebebasan dan kontekstualiasasi. Pluralisme dan demokrasi berangsur-angsur mulai membentuk walah Islam seiring berkembangnya gerakan Pembaruan Pemikiran Islam. Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan kalau Barton dan tokoh seperti Wahid meyakini bahwa gerakan ini memiliki prospek masa depan yang baik. Ini belum lagi ditambah daya lentur neo-Modemisme yang membuatnya sanggup berakselerasi dengan pergeseran-pergeseran sosio-kultural. Namun daya gedor neo-Modernisme tidak sampai menyentuh apa yang disebut Madjid sebagai wilayah ukhrawi (transendental). Oleh karena itu, corak neo-Modernisme praktis berbeda dari radikalisasi kalangan kalangan Liberal (Barat) yang bergerak sampai menggugat otoritas transendental dengan berbagai kritik mereka.

Buku ini sangat menarik untuk dikonsumsi. Namun, kajian yang dilakukan oleh Barton ini tampaknya akan jauh lebih interpretatif apabila dia memasukan juga penelusuran terhadap apa yang dalam sosiologi interpretatif di sebut The shared world of meaning. Hal ini mengingat The shared world of meaning dapat dikatakan merupakan basis dari apa yang disebut community, argument dan discourse. Kajian Barton praktis tidak memberikan ruang yang besar untuk menelusuri hal tersebut, kalau pun ada cenderung sangat terbatas. Oleh karena itu, karya Barton ini di satu sisi sangat bermanfaat pada tingkat payajian gagasan-gagasan neo-Modernisme. Namun si sisi lain, agak kurang pada tingkat interpretatif, khususnya berkaitan dengan eksplorasi dan analisa atas The shared world of meaning.

PENGHARAPAN

Beril Huliselan
(Jakarta, 2003)

Pengharapan rasanya merupakan sesuatu yang sulit dipahami saat ini. Betapa tidak, sajauh mata memandang kita seperti diperhadapkan dengan proses reduksi yang luar biasa atas apa yang disebut pengharapan. Pengharapan seperti menjadi sebuah istilah yang sangat dekat dengan orang-orang yang terhisap dengan semangat Leviathan jaman ini. Merekalah komplotan yang dengan tidak tahu malunya terus menerus melantunkan lagu-lagu pengharapan; lagu-lagu yang menceritakan tentang masa depan yang penuh dengan keadilan yang bergulung-gulung bagaikan pesan seorang nabi. Di sini pengharapan menjelma bagaikan ‘The second reality’ yang berusaha menguasai dan mengaburkan ‘The true reality’ yang penuh dengan ritme Leviathan. Di bawah payung ‘The second reality’ inilah, pengetahuan-pengetahuan teknis yang mendikte ruang gerak manusia mendapat pijakannya. Ruang diskursus tidak diperlukan di dalam ‘The second reality’, mengingat apa yang dibutuhkan hanyalah will to power.

SOSIOLOGI KOMUNITAS KRISTEN MULA-MULA

Analisa Gerd Theissen

Disadur oleh: Beril Huliselan

(Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No.3/Th.2/Februari 2003)

[Sumber: Gerd Theissen, “The Wandering Radicals: Light Shild by Sociology of Literature on The Early Transmission of Jesus Sayings,” dalam Sosial-scientific Approaches to New Testament Interpretation, ed. David G. Horrell (Scotland: T&T Clark LTD, 1999), 93-121]


Gerd Theissen memulai tulisan ini dengan menyoroti aspek lain yang lepas dari pengamatan pendekatan kritik-bentuk (form criticism) dalam studi Perjanjian Baru. Aspek tersebut adalah outside circumstances yang dipandangnya berperan dalam mempengaruhi dan mengkondisikan prilaku orang-orang yang menggunakan dan meneruskan teks-teks yang ada. Menggunakan dan meneruskan, bagi Theissen, berarti ambil bagian dalam membentuk teks-teks tersebut. Theissen di sini mengangkat apa yang disebutnya sociology of literature. Sebuah model pendekatan yang menelusuri nisbah antara teks (written texts) dan prilaku manusia (human behavior), di mana aspek intentions dan aspek conditions mendapat tempat di dalamnya. Aspek intentions, aspek yang sangat mendapat tempat di dalam pendekatan kritik-bentuk, cenderug menempatkan teks-teks tersebut dalam konteks faith of the congregational life. Sementara bagi Theissen, realitas kekristenan mula-mula juga terkait dengan non-religious aspects. Ketimpangan seperti inilah yang coba dijawab oleh pendekatan sociology of literature, di mana pemahaman terhadap teks-teks ditempatkan dalam penelusuran terhadap prilaku orang-orang yang menghasilkan dan meneruskan teks-teks tersebut. Theissen di sini tampaknya mengamini pandangan Max Scheler yang memandang bahwa faktor-faktor historis dan sosial memiliki pengaruh dalam penyebaran dan penerimaan gagasan-gagasan spiritual. Oleh karena itu, fokus utama dalam tulisan ini tidaklah terletak pada the birth of spiritual tradition, melainkan lebih pada penyebaran, penerusan dan pemeliharaan tradisi-tradisi tersebut. Dalam ha1 ini, berkaitan dengan penerusan ucapan-ucapan Yesus oleh komunitas kekristenan mula-mula.

Sebagaimana kita ketahui, tradisi ucapan-ucapan Yesus tidak hadir dalam bentuk tertulis (written form). Sebaliknya, ucapan-ucapan tersebut diteruskan dalam bentuk tradisi oral. Di sinilah, ucapan-ucapan Yesus pada akhirya menjadi sebuah persoalan sosiologis. Hal ini mengingat keberadaan ucapan-ucapan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang meneruskannya dan kepada siapa ucapan-ucapan itu ditujukan. Alhasil, dalam pengertian tertentu, ucapan-ucapan tersebut menyatu dengan orang-orang yang meneruskannya. Oleh karena itu, tempat social circumstances dari orang-orang yang meneruskan tradisi tersebut menjadi penting untuk ditelusuri. Apalagi, bagi Theissen, ucapan-ucapan Yesus cenderung bersifat radikal sehingga menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (impracticable). Apabila ucapan-ucapan Yesus merupakan sesuatu yang impracticable, lalu bagaimana proses menjadi practicable? Siapakah orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan tersebut? Kemudian, siapa juga orang-orang yang menerima ucapan-ucapan tersebut secara serius? Di sini, upaya untuk menangkap social condition dan social behavior dari orang-orang tersebut menjadi penting.

Hal seperti ini membawa kerumitan tersendiri, apalagi yang ada di depan mata kita hanyalah teks. Kita tidak memiliki pengetahuan langsung mengenai social behavior yang berada di balik teks-teks tersebut. Theissen berusaha memecahkan persoalan ini dengan, pertama berusaha menangkap bagaimana orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus tersebut memahami diri mereka. Ini dilakukan dengan menelusuri bentuk (form) dan isi (content) dari ucapan-ucapan Yesus. Tujuan utamanya adalah menemukan social behavior yang ada di balik teks. Setelah itu, baru menguji temuan-temuan tersebut. Theissen melakukan ha1 ini dengan meminjam model-model deduksi yang berasal dari kritik-bentuk, yaitu:

  • Deduksi analitis terhadap bentuk (form) dan isi (content) sebuah tradisi menuju sitz im leben (the real-life situation) dari tradisi tersebut;
  • Deduksi konstruktif dari pernyataan-pernyataan langsung mengenai situasi melekat pada tradisi tersebut;
  • Deduksi berdasarkan analogi dari kesejajaran yang ada pada isi (content).
Kedua, mencari kondisi-kondisi yang berperan dalam menentukan atau membentuk social behavior yang ada di balik teks tersebut. Dengan kata lain, melalui ini semua, Theissen mencoba menangkap seperti apa orang-orang yang mula-mula meneruskan ucapan-ucapan Yesus tersebut, serta bagaimana pergeseran yang terjadi sehinggga ucapan-ucapan tersehut menjadi practicable.

Pemahaman Diri dan Prilaku Para Penerus Ucapan-Ucapan Yesus
Berhadapan dengan ucapan-ucapan Yesus, bagi Theissen, berarti kita berhadapan dengan radikalisme etis (ethical radicalism) yang menjadi corak dari ucapan-ucapan tersebut. Corak seperti ini sangat impracticable dengan praksis kehidupan sehari-hari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ucapan-ucapan tersebut tetap hidup dan diteruskan. Ini berarti, sekalipun impracricable, ucapan-ucapan tersebut diterima dan diadopsi oleh komunitas tertentu yang berperan dalam meneruskan ucapan-ucapan tersebut.

Corak radikal dari ucapan-ucapan Yesus, bagi Theissen, dapat dilihat pada tuntutan-tuntutan yang sangat ekstrim terhadap kehidupan. Ucapan-ucapan tersebut memuat tuntutan untuk melakukan penolakan terhadap tempat di mana kita hidup (Mat. 8:20), keluarga (Luk. 14:26; Mrk. 10:29; Mat. 8:22) dan segala kepemilikan (Mrk. 10:17-21; Mat. 6:19-21; Mrk. 10:25). Hal ini membawa Theissen pada kesimpulan bahwa ucapan-ucapan Yesus yang sampai ke tangan kita menunjukan radikalisme orang-orang yang hidupnya berkelana dan tidak memiliki tempat mnenetap. Kalangan ini disebut Theissen sebagai kalangan karismatik dari kekristenan mula-mula yang hidupnya tidak menetap/mengembara (the early Christian itinerant charismatics). Ucapan-ucapan Yesus yang radikal hanya mungkin hidup dan diteruskan oleh orang-orang yang kehidupannya seperti ini. Dengan kata lain, penerusan mula-mula ucapan Yesus ditempatkan Theissen dengan meletakannya pada sitz im leben seperti itu. Di sini tampak deduksi analitis yang diterapkan oleh Theissen.

Kekuatan tesis di atas dikaji lagi oleh theissen dengan melakukan deduksi konstruktif terhadap peryataan-pernyataan langsung yang ada, baik di dalam Injil Sinoptik maupun kitab Didache. Dalam ha1 ini, pernyataan-pernyataan yang berkaitan pengutusan murid-murid yang tertuang di dalam Injil Sinoptik dan kitab Didache. Di dalam Injil Sinoptik, kita menjumpai aturan-aturan yang ada bagi para misonaris Kristen mula-mula. Sementara di dalam kitab Didache, terdapat aturan-aturan yang berhubungan dengan para misionaris tersebut. Dengan data-data seperti ini, Theissen berusaha menemukan karakteristik dari orang-orang yang meneruskan tradisi ucapan-ucapan Yesus tersebut.

Berdasarkan perbandingan yang dilakukannya, Theissen menggariskan bahwa baik Injil Sinoptik maupun kitab Didache menempatkan kewajiban untuk hidup dalam kesederhanaan (Mat. 10:l0; Did. 11.6), tidak ada keterikatan tempat tertentu (home and one's familiar country) dan terlepas dari ikatan keluarga (non-family character). Dari deduksi konstruktif yang dilakukannya, Theissen melihat bahwa ucapan-ucapan Yesus diteruskan dan dipraktekkan minimal oleh: kalangan karismatik yang hidupnya berpindah-pindah/mengembara (the itinerant charismatics), para rasul (the apostles), nabi dan para misionaris. Mereka ini bisa dikatakan menjadi suara Yesus, di mana ucapan-ucapan Yesus diteruskan dan dihadirkan dalam perkataan-perkataan mereka. Karakteristik dari orang-orang ini, dengan melakukan deduksi konstruktif, ialah: mereka menjalani sebuah etika yang terkait dengan tradisi ucapan-ucapan Yesus, proklamasi yang mereka lakukan memuat di dalamnya tema eskaltologis dan mereka memahami diri mereka sebagai penerus perkataan-perkataan Yesus.

Tesis Theissen mengenai orang-orang yang meneruskan dan mempraktekkan ucapan-ucapan Yesus, tampak semakin kuat dengan Deduksi berdasarkan analogi yang dilakukannya. Theissen di sini mempararelkan orang-orang yang meneruskan dan mempraktekkan ucapan-ucapan Yesus dengan para filsuf Cynic. Kalangan Cynic umumnya mempakan kelompok yang hidup berpindah-pindah/tidak menetap, menjadi kelompok marjinal di tengah-tengah masyarakat dan merupakan oposisi terhadap kaisar. Dari data-data yang ada, gagasan-gagasan dari kelompok ini bahkan terus eksis selama lima ratu tahun. Theissen di sini menggariskan kemiripan corak antara etika kelompok ini dengan etika yang ada pada ungkapan-ungkapan kekristenan mula-mula, di mana etikanya sama-sama didasarkan pada:

Menolak keterikatan dengan suatu tempat;
Penolakan terhadap ikatan-ikatan keluarga;
Penolakan terhadap kepemilikan.

Kenyataan ini membawa Theissen pada keyakinan bahwa kelompok Cynic dan orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus pada dasarnya berasal dari kelompok yang secara sosiologis sama. Mereka sama-sama menjalani corak etika yang sama, serta sama-sama menjadi kelompok marjinal di dalam masyarakat. Perbedaan yang ada di antara kedua kelompok sosial ini lebih terletak pada spiritual reason yang ada dibalik praksis kehidupanmereka.

Theissen meletakkan otentisitas para penerus ucapan-ucapan Yesus itu pada kesejajaran antara situasi sosial mereka dengan Yesus. Dalam ha1 ini, Yesus dipahami Theissen sebagai sosok karismatik mula-mula yang hidupnya berkeliling/tidak menetap (the fist wandering charismatic). Dalam konteks ini Theissen mengatakan bahwa:"The radicalism of their wandering life goes back to Jesus himelf. It is authentic" (Theissen 1999, 107).

Di sini Theissen sekaligus mengkritik model pendekatan kritik-bentuk yang menterjemahkan ucapan-ucapan Yesus sebagai sesuatu yang dibentuk berdasarkan kebutuhan local congregations and their institutions setelah peristiwa paskah. Bagi Theissen, apabila ini kesimpulannya maka sebenarnya tidak ada sama sekali kontinuitas antara Yesus dengan kekristenan, yakni pada bentuknya yang paling awal. Bersamaan dengan itu, dia juga mengktitik para penafsir moderenis maupun konservatif yang gaga1 menangkap otentisitas dari penerus capan-ucapan Yesus.

Perilaku Para Penerus Ucapan-Ucapan Yesus dan Kondisi-Kondisi yang Membentuknya
Selanjutnya, Theissen mencoba menangkap kondisi-kondisi yang berperan dalam membentuk prilaku para penerus mula-mula ucapan-ucapan Yesus, termasuk kelangsungan dari ucapan-ucapan tersebut. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi-kondisi duniawi ('earthly' conditions) memiliki dampak praksis terhadap mental and spiritual intentions. Kondisi-kondisi itu sendiri dibentuk oleh berbagai faktor. Di sini Theissen mengangkat tiga faktor yang dipandangnya memiliki peran penting dalam membentuk 'earthly' conditions tersebut, yakni:
  • Faktor sosio-ekonomi, terkait dengan persoalan bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup (berhubungan dengan pekerjaan) dan tempat mereka di dalam kelas sosial;
  • Faktor sosio-ekologi, terkait dengan lingkungan perkotaan atau pedesaan;
  • Faktor sosio-kultural, misalnya bahasa, norma-norma dan nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok sosial tertentu.
Theissen menilai bahwa orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus, pada dasarnya adalah kalangan pendatang (outsiders) yang memiliki simpatisan di berbagai kota dan desa. Dukungan utama bagi kelangsungan hidup mereka bersumber dari kelompok masyarakat yang kedudukan sosialnya berada pada posisi marjinal. Theissen memperlihatkan realitas seperti ini dengan menempatkan rujukan-rujukan pada ucapan-ucapan Yesus sebagaimana yang sampai ke tangan kita. Di dalam Injil Sinoptik misalnya, kita dapat menemukan potret faktor sosio-ekonomi sebagai salah satu faktor yang membentuk 'earthly'condition, terkait dengan sepakterjang kalangan karismatik yang mengembara/tidak menetap (the wandering charismatics) sebagai penerus ucapan-ucapan Yesus. Di dalam Lukas kita menemukan sebuah tuntutan untuk tidak membawa apa pun (tongkat. kantong, roti, uang dan jubah) dalam perjalanan (Luk. 9:3). Sebuah tuntutan yang bisa dikatakan menjadi syarat kemuridan. Menarik di sini bahwa tongkat, kantong, roti, uang dan jubah yang disebutkan adalah juga merupakan perlengkapan khas kalangan filsuf Cynic yang hidupnya mengembara. Larangan untuk membawa perlengkapan tersebut ditujukan agar menghindari kesan bahwa mereka adalah pengemis, atau minimal sama seperti kalangan Cynic. Hal ini terkait dengan adanya larangan untuk menjalankan praktek mengemis. Kelangsungan hidup, yakni sumber kehidupan mereka, semata-mata terletak pada misi yang mereka jalankan. Petunjuk dari ha1 ini dapat kita lihat di dalanl Luk. 10:5-7:

kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salam mu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jikalau tidak, salammu itu kembali padamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upah.

Aktivitas mereka dilakukan tanpa mendapat upah sedikit pun. Kemurahan hati dari orang-orang yang menerima mereka merupakan bayaran yang mereka terima. Theissen menggunakan istilah charismatic bagging untuk menyebutkan aktivitas seperti ini, di mana mereka berpegang pada keyakinan: "carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkannya kepadamu" (Mat. 6:33). Selain itu, dalam kerangka sosio-ekonomi, persepsi masyarakat pun cenderung nielihat mereka sebelah mata. Mereka dikelompokan sebagai orang-orang yang tidak memiliki tempat kediaman dan pekerjaan yang tetap, orang-orang yang sering membangkitkan kemarahan orang lain melalui pengajaran mereka, dan selalu mencari tempat di mana mereka ditolak serta tidak mendapat dukungan. Kita dapat menemukan padanan dari realitas seperti ini dengan ucapan Yesus di dalam Mat. 5: 11-12: "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu".

Bagi Theissen, pendekatan dengan memperhatikan faktor sosio-ekonomi akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik. Dalam pendekatan seperti ini, Theissen menambahkan faktor sosio-ekologi ke dalam faktor sosio-ekonomi. Konteks pedesaan atau perkotaan mempakan ha1 yang juga harus diperhatikan dalam pendekatan seperti ini. Memahami kalangan karismatik kekristenan mula-mula yang hidupnya tidak menetap/mengembara (the early Christian wandering charismatics) sebagai unjung tombak penerusan ucapan-ucapan Yesus yang radikal, berarti harus menempatkannya dalam konteks pedesaan (rural background). Dalam konteks seperti ini kita dapat memahami klaim mereka mengenai dukungan bagi kelangsungan hidup mereka dari orang lain. Konteks pedesaan adalah konteks kehidupan yang menetap. Ini berbeda dari kehidupan di perkotaan yang umumnya diwarnai dengan tingkat mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Dalam konteks perkotaan, otomatis dukungan finansial bagi kehidupan cenderung harus diupayakan sendiri. Inilah yang dilakukan oleh Paulus dan Barnabas. Oleh karena itu, tidaklah mungkin membayangkan para penerus mula-mula ucapan-ucapan Yesus hidup dalam konteks perkotaan. Dukungan kelangsungan hidup yang bersandar pada kemurahan hati orang lain, seperti yang dilakukan oleh the early wandering charismatics, akan menemukan tempatnya dalam konteks kehidupan pedesaan. Selain itu, kita juga harus memperhitungkan bahwa antara desa dengan kota-kota yang kecil (small town) umumnya memiliki jarak yang relatif lebih dekat. Dalam kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan apabila kita menemukan anjuran agar mereka hanya boleh membawa bekal untuk sehari perjalanan. Hal seperti ini tidaklah mungkin dipraktekkan dalam kondisi perkotaan.

Hal lain yang juga mendukung konteks pedesaan adalah, terkait dengan aktivitas dan otoritas mereka. Dibandingkan dengan kota, desa tentunya masih belum memiliki bentuk organisasi dan pelayanan yang kuat. Dalam konteks pedesaan seperti ini, otoritas yang dimiliki oleh the early wandering charismatics akan lebih kuat, dibandingkan kalau ditempatkan dalam konteks perkotaan. Realitas seperti ini akan memukan padananya apabila kita menilik ucapan Yesus dalam Mat. 18:20: “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKU, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." Ucapan seperti ini menunjuk kepada sebuah realitas di mana tidak ada struktur otoritas khusus. Di sini lebih diperlukan otoritas supraregional. Kita hanya mungkin membicarakan otoritas yang dimiliki oleh the early wandering charismatics dalam konteks seperti ini, bukan dalam konteks perkotaan.

Namun hal yang menarik di sini, tradisi ucapan-ucapan tersebut berkembang di daerah perkotaan. Kekristenan mula-mula pada dasarnya merupakan fenomena perkotaan. Tradisi ucapan-ucapan Yesus dipelihara dan diteruskan oleh the early wandering charismatics, dan kemudian berkembang di dalam realitas perkotaan. Theissen menyoroti hal ini, di mana dia mengkaitkannya dengan pergerakan the early wandering charismatics yang telah bergerak dari Palestina ke berbagai daerah lainnya. Di sini Theissen mencatat pergeseran dari ucapan-ucapan Yesus yang sebelumnya bercorak ethical radicalism dan impracticable dengan realitas kehidupan sehari-hari, menjadi practicable dalam komunitas kekristenan mula-mula yang merupakan fenomena perkotaan. Dengan kata lain, penerusan ucapan-ucapan Yesus mengakibatkan tereduksinya corak radikal dari ucapan-ucapan tersebut. Di sini Theissen mencatat tiga bentuk sosial yang muncul dalam penerusan ucapan-ucapan Yesus di dalam komunitas kekristenan mula-mula, yakni:

Bentuk radikalisme dari kalangan karismatik yang hidupnya mengembara/tidak menetap (the intinerant charismatics). Di sini ucapan-ucapan Yesus dipelihara dan diteruskan dalam bentuk yang radikal;

Bentuk patriakalisme (love patriarchalism). Di sini corak kongregasional semakin menonjol, bahkan Yesus ditampilkan menjadi lawan dari kalangan karismatik yang hidupnya mengembara. Dalam surat-surat kekristenan mula-mula, ditemukan sedikit sekali terdapat ucapan-ucapan Yesus. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut muncul dalam konteks perkotaan, komunitas Hellenistik. Dalam konteks seperti ini, corak radikal dari ucapan-ucapan Yesus tidak mendapat tempat. Hal ini mengingat keberadaannya yang sangat impracticable. Alhasil, Yesus tampil dengan wajah yang berbeda, dibandingkan wajah Yesus yang ditemukan pada the early wandering charismatics. Di sini menarik mempehatikan apa yang dikatakan Theissen: "love patriarchalism tempered early Christian radicalism to a degree that made it possible for Christian faith to become practicable form of living for men and women in general (Theissen 1999, 120.)".

Bentuk radikalisme gnostik. Di sini ucapan-ucapan Yesus yang memiliki corak ethical radicalism bergeser menjadi gnostic radicalism. Ini berarti bahwa implikasi radikal pada tindakan bergeser menjadi radikal dalam pemikiran, di mana konsekwensi praksisnya tereduksi. Theissen di sini mengangkat Injil Thomas sebagai contoh radikalisme gnostik.

Di sini tampaknya kita bisa mengatakan, penerusan ucapan-ucapan Yesus secara berangsur-angsur telah menggiring Yesus yang radikal menjadi Yesus yang tampak lebih lunak/jinak. Hal ini sekaligus mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Theissen bahwa menggunakan dan meneruskan berarti ambil bagian dalam membentuk teks-teks tersebut.