ORDE BARU DAN BANGUNAN AGAMA


Beril Huliselan
[sumber: Beril Huliselan, “Manusia, Agama dan Keterasingan: Menelusuri Pemikiran Karl Marx Tentang Manusia, Agama dan Keterasingan dalam rangka Menyoroti Bangunan Agama di Indonesia
(M.Th. Thesis, STT Jakarta, 2002), Bab II.]


Marx di dalam analisanya menempatkan proses ekonomi sebagai sebagai suatu proses yang penting di dalam proses pergerakan sejarah manusia. Konsekuensi yang muncul apabila kita menggunakan analisis Marx ialah kita harus memberikan ruang yang besar terhadap proses ekonomi yang berlangsung dalam sebuah masyarakat. Dengan demikian, hal tersebut juga berlaku untuk membaca tatanan ORBA dan bangunan agama.

Pemberian ruang yang besar terhadap proses ekonomi tentunya tidak dimaksudkan penulis untuk melakukan pemutlakan terhadap proses tersebut. Apa yang terjadi di sini hanyalah melihat sebuah bangunan yang terbentuk dalam masa ORBA dari suatu sudut tertentu, yakni proses ekonomi. Hal ini menjadi menarik mengingat pergulatan ORBA bagaimana pun tidak dapat dipisahkan dari pergulatan kekuatan tersebut di dalam proses ekonomi. Sebuah pergulatan yang melibatkan berbagai macam kekuatan yang bertarung untuk merebut tempat di dalam proses ekonomi.

2.1. Orde Lama: Selayang Pandang
Marx di dalam analisanya selalu memandang bahwa sebuah proses produksi kehidupan material selalu terkait dengan sebuah fase tertentu di dalam sejarah. Fase tersebut dipandang Marx muncul dari reruntuhan fase sebelumnya dimana proses produksi kehidupan material dari fase sebelumnya tersebut sudah tidak sejalan lagi dengan kebutuhan yang ada. Bagi Marx, hal seperti ini disebut belenggu. Pada titik tertentu sebuah proses produksi di dalam fase tertentu berubah menjadi belenggu dan pada akhirnya hancur. Fase yang baru muncul dari reruntuhan fase yang lama tadi.

Dalam alur seperti ini, ORBA dapat dipandang sebagai sebuah kekuatan atau sebuah sistem yang lahir dari reruntuhan sistem sebelumnya, yakni: Orde Lama (ORLA). ORLA di sini tentunya telah mencapai titik tertentu dimana dia berubah menjadi suatu belenggu yang pada akhirnya meruntuhkan sistem itu sendiri.

Pada masa ORLA, masyarakat Indonesia bergelut untuk mencari bentuk sistem pemerintahan yang memadai bagi bangsa yang baru lahir tersebut. Di dalam pergulatan seperti ini, kita umumnya mengenal dua periode yang berlaku pada masa tersebut, yakni: periode demokrasi liberal dengan sistem parlementernya dan demokrasi terpimpin yang semakin mendapat kekuatan dengan dikeluarkannya dekrit presiden 5 Juli 1959. Momentum ini semakin diperkuat lagi dengan dikeluarkannya TAP MPRS No. VIII/1965 yang berisikan prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat dalam demokrasi terpimpin sebagai pedoman bagi lembaga-lembaga permusyawaratan/ perwakilan.[1]

Pada saat bangsa Indonesia bergelut dengan persoalan bentuk sistem pemerintahan tersebut, bangsa ini juga sebenarnya berhadapan dengan persoalan yang tidak kala rumitnya, yakni persoalan ekonomi. Penjajahan yang berlangsung bertahun-tahun telah meninggalkan setumpuk kehancuran ekonomi yang harus dipikul oleh bangsa yang baru lahir ini. Setelah proklamasi kemerdekaan, bangsa Indonesia berhadapan dengan proses produksi yang mengalami stagnasi dan tingkat inflasi[2] yang tinggi atau Hyper Inflastion. Produksi di sektor pertanian dan industri praktis berhenti serta defisit neraca pembayaran dan defisit keuangan pemerintah yang sangat besar.[3] Dalam kondisi seperti ini, negara baru tersebut praktis tidak memiliki kemampuan modal untuk membangun perekonomiannya.

Kondisi perekonomian Indonesia dapat dikatakan lumpuh dan membutuhkan penanganan ekstra dari pemerintah. Di sini Indonesia dapat dikatakan berada dalam kondisi yang tidak menguntungkan, bangsa ini harus mengeluarkan tenaga ekstra untuk membenahi perekonomian di tengah-tengah pergulatan mencari sistem pemerintahan yang memadai.

Setelah kemerdekaan, terdapat kecenderungan untuk memberikan ruang yang besar bagi apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, kekuasaan yang saat itu masih terpusat di tangan presiden mulai diupayakan untuk dikurangi. Pada tanggal 14 November 1945 pemerintah mengeluarkan sebuah maklumat, atas usulan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)[4], yang berisikan perubahan sistem pemerintahan dari presidensil ke parlementer sekali pun saat itu Undang-Undang Dasar (UUD) yang berlaku masih UUD 45. Sistem parlementer baru dikenal kemudian pada saat diberlakukannya UUD RIS (Republik Indonesia Serikat). UUD RIS ini kemudian digantikan dengan UUD sementara tahun 1950 (UUDS 50) yang menandai peralihan dari negara federal ke negara persatuan. Sistem parlementer umumnya dikenal di dalam kedua UUD ini.[5]

Upaya untuk membangun sistem pemerintahan yang memberikan ruang yang besar terhadap kedaulatan rakyat pada gilirannya harus memberikan ruang yang besar pula ke pada eksistensi partai-partai. Dalam kerangka ini, partai-partai politik pun mulai bermunculan dan secara berangsur-angsur mulai membangun basis masanya. Di satu sisi, proses ini menunjukkan sebuah langkah positif karena proses demokrasi secara berangsur-angsur mulai digulirkan. Namun di sisi lain, proses ini sekaligus merupakan titik rawan. Kerawanan ini dikarenakan seiring dengan digulirkannya proses tersebut, ketegangan antara partai dengan partai maupun partai dengan pemerintah mulai bergulir. Sebuah ketegangan yang bukan saja berlangsung di pusat, melainkan juga menetes sampai ke tingkat desa. Hal ini mengingat upaya partai membangun basis masa telah menimbulkan politisasi rakyat sampai ke tingkat desa. Kerawanan seperti ini semakin diperuncing dengan kondisi perekonomian Indonesia yang praktis lumpuh dan membutuhkan penanganan ekstra.

Pada saat sistem parlementer digulirkan, praktis tidak ada pemerintahan yang dapat bertahan lama. Pada masa itu terdapat tujuh kabinet yang muncul dan tidak ada satu pun yang dapat bertahan lebih dari dua tahun. Kondisi seperti ini mengakibatkan optimalisasi pemerintah dalam rangka menerjemahkan program-programnya tidak dapat berjalan.[6]

Pada saat Indonesia memperoleh kemerdekaan, terutama setelah pihak belanda menyerahkan kedaulatan pada tahun 1949, terdapat tuntutan besar untuk beralih dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional. Kericuhan yang berlangsung di dalam politik semakin diperuncing dengan terjadinya kericuhan dalam penentuan arah kebijakan ekonomi. Kelompok yang berhaluan moderat menginginkan pemberdayaan rakyat pribumi dengan tidak menghapuskan proses investasi yang pada saat itu dikuasai oleh perusahan-perusahan Belanda. Sementara itu, kalangan radikal (kalangan komunis dan nasionalis kiri) menginginkan pemberdayaan masyarakat pribumi dan menghapuskan kaum imperialis dari Indonesia. Di dalam kelompok ini kecenderungan anti asing sangat kuat.[7]

Pemerintah menyadari akan ketegangan tersebut, oleh karena itu pemerintah memang berusaha menarik sebuah jalan tengah.[8] Namun, jalan tengah yang diupayakan oleh pemerintah pada akhirnya hanya merupakan sebuah pemikiran semata. Di tingkat pelaksanaan, proses penataan ekonomi Indonesia tetap diwarnai oleh ketegangan tersebut.

Ketegangan ini pada gilirannya menjadi batu sandungan terhadap implementasi program ekonomi pemerintah. Kenyataan seperti ini kemudian diperburuk lagi dengan kurangnya sumber daya manusia (SDM) sebagai salah satu unsur yang penting untuk membangun ekonomi pribumi. Perlakuan khusus yang coba diberikan oleh pemerintah kepada kelompok pribumi untuk mendorong perekonomian mereka akhirnya sia-sia. Perlakuan khusus tersebut dalam pelaksanaannya tidak diberikan dalam kerangka kompetensi melainkan dalam kerangka kedekatan hubungan. Bersamaan dengan itu, kelompok pribumi yang mendapat perijinan impor pada akhirnya menjualnya kepada pengusaha Tionghoa untuk meraup keuntungan yang cepat. Selain itu berdiri juga perusahaan yang disebut perusahaan Ali-Baba.[9] Kondisi seperti ini semakin diperumit dengan sia-sianya anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk membangun perusahaan dan pabrik-pabrik yang berorientasi untuk memberdayakan kelompok pribumi. Kurangnya SDM (Sumber Daya Manusia) mengakibatkan perusahaan dan pabrik-pabrik tersebut tidak berjalan dengan baik.[10]

Pada titik ini kita dapat membayangkan bagaimana kacaunya proses pembangunan ekonomi yang coba dikembangkan. Namun, kekacauan yang ada ternyata tidak berhenti sampai di situ. Kebijakan ekonomi yang timpang telah menimbulkan reaksi yang kuat dari daerah terhadap pusat. Reaksi atas ketidakadilan tersebut akhirnya melahirkan perlawanan daerah terhadap pusat, sebuah perlawanan yang mengakibatkan terjadinya ketegangan nasional. Goncangan yang ada semakin lengkap pada saat pemerintah melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan-perusahaan Belanda.[11] Langkah ini mengakibatkan proses investasi yang penting untuk menggerakkan perekonomian nasional menjadi hancur.[12]

Pada tahun 1957, sebagai buntut dari persoalan Irian Barat, pemerintah Indonesia kemudian memutuskan untuk mengambil alih ratusan perusahaan Belanda. Gawatnya, pengambilalihan tersebut tidak disertai dengan suatu rencana yang matang, salah satunya berkaitan dengan rendahnya SDM. Hal ini mengakibatkan perusahaan-perusahaan yang telah diambil alih tersebut tidak dapat dioperasikan dengan baik. keterlibatan militer untuk memanfaatkan kondisi ini dengan menjadi pengelola perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasikan tersebut turut memperumit kinerja perusahaan tersebut. Gawatnya, perusahaan-perusahaan Belanda tersebut merupakan perusahaan yang mempunyai jaringan yang luas di seluruh Nusantara dan beroperasi pada sektor-sektor yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Kejadian ini mengakibatkan proses produksi barang dan jasa mengalami kemunduran. Penerimaan negara pun pada akhirnya mengalami kemunduran, investasi merosot dan inflasi menjadi tinggi.[13]

Seiring dengan kericuhan politik dan pemberontakan daerah yang berlangsung selama demokrasi liberal, presiden yang didukung oleh militer akhirnya mengambil langkah untuk memberlakukan demokrasi terpimpin. Dekrit presiden akhirnya dikeluarkan yang menandakan kembalinya Indonesia ke UUD 45 dan dibubarkannya konstituante. Ruang gerak partai-partai politik menjelang dan sesudah dekrit dikeluarkan semakin dibatasi oleh sepak terjang militer. Selain itu, kegagalan pemberontakan daerah memberikan implikasi terhadap merosotnya popularitas partai-partai politik tersebut. Salim Said memandang bahwa dalam kondisi seperti ini hanya tinggal PKI (Partai Komunis Indonesia) yang bertahan sebagai satu-satunya partai politik yang masih bertahan di gelanggang politik. Alhasil, kekuatan yang saling berhadap-hadapan hanyalah PKI dan Militer (Angkatan Darat). Di sinilah Soekarno memainkan keseimbangan kekuasaan dalam rangka kekuasaan.[14]

Keseimbangan kekuasan yang dimainkan oleh Soekarno dipandang William Liddle sebagai upaya menunggang dua macan liar yang saling bercakar-cakar.[15] Hal ini menarik diperhatikan karena pada periode demokrasi terpimpin dua kekuatan ini berusaha membangun kekuatannya dari atas sampai ke bawah. Pada level politik, dua kekuatan tersebut berusaha memperkuat pos-pos politiknya di atas dan menggalang basis masa di bawah.[16] Namun, persaingan antara kedua kelompok ini juga masuk dalam perebutan pos-pos ekonomi.

Kita sudah lihat bahwa nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda dimanfaatkan dengan baik oleh militer (angkatan Darat) untuk memperkuat pos-pos ekonomi mereka. Hal ini kemudian dilanjutkan lagi dengan penguasaan militer atas PERMINA (Perusahaan Minyak nasional). Selanjutnya militer melarang aktivitas perdagangan orang-orang Cina di pedesaan dengan tujuan menggoncang hubungan Jakarta-Cina dan mempersulit PKI.[17] Sebuah gebrakan yang berdampak pada terjadinya dislokasi ekonomi, penimbunan barang dan gelombang inflasi yang serius. Gebrakan militer berlanjut lagi dengan mengambil alih pengoperasian sejumlah perkebunan dan perusahaan milik Inggris yang sebelumnya telah diambil alih oleh para buruh PKI. Oleh karena ketegangan yang terus memuncak dengan Amerika, sejumlah perusahaan Amerika akhirnya diambil alih oleh PKI dan kelompok sayap kiri. Militer di sini sekali lagi berhasil mengambil alih pengoperasian perusahaan-perusahaan Amerika tersebut.[18] Sejumlah gebrakan yang dilakukan pihak militer praktis membuat militer menjadi suatu kekuatan ekonomi yang penting di negara ini.

Hari-hari menyertai periode demokrasi terpimpin diwarnai dengan proses ekonomi yang semakin tidak pasti. Ekonomi yang sudah hancur, semakin ditambah lagi dengan besarnya pengeluaran pemerintah untuk kebutuhan militer dalam kaitan dengan perang terhadap pemberontakan di daerah. Pemutusan hubungan dengan Singapura dan Malaysia,[19] permusuhan dengan Amerika,[20] pemutusan sisa-sisa hubungan dengan lembaga kapitalis (IMF, Interpol, Bank dunia) dan keluarnya Indonesia dari keanggotaan di PBB[21] membuat proses pemulihan ekonomi Indonesia semakin tidak terkendali. Pada akhir periode ORLA, inflasi melonjak mencapai 650 persen, keterbatasan bahan baku, defisit neraca pembayaran dan keuangan pemerintah sangat besar dan kegiatan produksi di sektor pertanian dan insdustri praktis berhenti.[22]

Konflik politik yang berkepanjangan bagaimana pun telah memberikan andil terhadap merosotnya legitimasi pemerintahan pada masa ORLA. Proses politik yang panjang telah menimbulkan resistensi yang kuat terhadap Soekarno dari pihak Angkatan Darat. Salim Said mengatakan bahwa Soekarno hanya dapat bertahan sejauh dia dapat memainkan perimbangan kekuasaan. Pada saat perimbangan tersebut goyang maka riwayatnya pun tamat.[23] Namun, penting diingat bahwa kondisi perekonomian yang hancur turut memberikan kontribusi terhadap merosotnya legitimasi ORLA. Kondisi perekonomian yang buruk telah membuat mahasiswa dan kelompok intelektual menjadi sangat prihatin. Keprihatinan yang serupa ternyata juga datang dari pihak militer.[24] Hal ini tampaknya dapat dimengerti apabila melihat keberadaan militer yang pada saat itu telah menjelma menjadi sebuah kekuatan ekonomi. Sikap permusuhan Indonesia dengan dunia Barat telah membuat perekonomian negara yang sudah rusak menjadi semakin semakin rusak. Keadaan seperti ini tentunya tidak akan menguntungkan bagi Angkatan Darat karena pos-pos ekonomi mereka pun akan terganggu.

Kehancuran ekonomi yang berlangsung begitu cepat telah membuat keresahan yang meluas dan disertai dengan ketegangan yang merembes sampai ke tingkat desa. Sebagaimana dijelaskan di atas, keresahan ini pun merembes di kalangan mahasiswa. Keresahan di kalangan mahasiswa ini akhirnya dapat dimanfaatkan dengan baik oleh Angkatan Darat untuk memukul Soekarno tanpa harus menggunakan kekuatan bersenjata.[25] Jeffrey A. Winters memandang bahwa kejatuhan Soekarno yang berkaitan dengan diabaikannya masalah ekonomi telah menjadi pelajaran yang berarti bagi Soeharto.[26]

Ekonomi di sini telah menjadi salah satu faktor penting yang berperan dalam tergusurnya Soekarno dari posisinya. Bangunan politik yang coba digarap oleh Soekarno tampaknya tidak memperhatikan keroposnya bangunan ekonomi yang sedang melanda Indonesia. Revolusi dan penggalangan masa sepertinya telah menjadi orientasi Soekarno dalam rangka membangun kekuasaannya.

2.2. Orde Baru: Membangun Fondasi

Kerusakan politik dan ekonomi telah memberikan kontribusi terhadap rapuhnya kekuatan ORLA. Kerapuhan ini akhirnya menghancurkannya dan memunculkan sebuah kekuatan yang menyebut dirinya dengan nama ORBA. ORBA menyebut dirinya sebagai sebuah kekuatan yang akan melaksanakan Pancasila dan UUD’45 secara murni dan konsekuen. Buruknya periode ORLA telah menimbulkan harapan dan dukungan yang besar terhadap kekuatan baru ini. Schwarz mengatakan bahwa di awal kemunculannya, ORBA mendapat dukungan yang besar dari sebagian besar rakyat Indonesia yang telah kecewa terhadap apa yang terjadi di masa ORLA.[27]

Di masa ORLA, tingginya konflik di antara kekuatan-kekuatan politik maupun konflik antara pusat dan daerah telah meniadakan stabilitas politik. Hal ini diperburuk dengan kesalahan dalam penanganan persoalan ekonomi. Hampir di semua negara, proses ekonomi tidak akan dapat berjalan dengan baik tanpa adanya stabilitas politik. Kedua hal ini saling berkaitan satu sama lain. Namun, perlu diingat bahwa ORLA telah memberikan penekanan yang besar terhadap politik dengan menjadikan politik sebagai panglima. Hal ini tentunya menempatkan ekonomi hanya sebagai persoalan sekunder. Inflasi yang telah berlangsung bertahun-tahun sepertinya tidak terlalu dirisaukan oleh Soekarno. Dia malah lebih suka untuk mengobarkan semangat revolusi dan mobilisasi masa secara terus-menerus. Tahun 1960 Soekarno memang mencanangkan rencana pembangunan delapan tahun, namun M.C. Ricklefs memandang upaya tersebut tidak lebih dari sekedar omong kosong belaka.[28]

Hancurnya ekonomi membuat Soeharto harus sesegera mungkin memperbaikinya. Hal ini penting apabila dia tidak ingin hancur seperti Soekarno. Apabila momentum ini tidak dipergunakan dengan baik sehingga kemudian muncul keresahan dari masyarakat maka kondisi tersebut dapat menjadi bumerang terhadap dirinya. Hal ini penting diperhatikan karena kejatuhan Soeharto 32 tahun kemudian sangat berkaitan dengan kehancuran ekonomi itu sendiri.

Marx menggambarkan suatu sistem produksi kehidupan material muncul dari reruntuhan sistem yang lama. Sistem yang lama telah berubah menjadi belenggu dan pada akhirnya mengalami kehancuran. Di masa ORLA, sistem ekonomi yang dikembangkan condong lebih dekat dengan pemikiran sosialis/komunis. Sebuah sistem dimana tempat negara di dalam proses ekonomi sangat menonjol. Sistem ekonomi seperti ini disebut sistem ekonomi komando dimana peran swasta sedapat mungkin dihindari.[29] Hal ini terlihat jelas sekali semenjak nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, sebuah kecenderungan yang terus berlanjut sampai penghunjung ORLA. Hal seperti ini memang tidak dapat dilihat secara kaku karena proses produksi yang dinasionalisasikan tersebut pada gilirannya diambil alih oleh Angkatan Darat.[30] Namun, paling tidak terlihat bagaimana ruang gerak swasta semakin hari semakin diperkecil. Winters memandang bahwa di masa ORLA tangan-tangan kapitalis praktis terbakar sehingga iklim investasi mejadi tidak menguntungkan.[31]

Sistem seperti ini kemudian runtuh dan terjadi peralihat ke sistem yang dikembangkan di bawah kekuatan ORBA. Indonesia di sini mulai beralih ke sistem ekonomi yang lebih condong ke aras negara-negara kapitalis.[32] Hal ini dapat dimaklumi karena pasca ORLA, Indonesia berhadapan dengan keterbatasan sumber daya untuk menggerakkan proses ekonomi dan beban ekonomi yang diwariskan oleh ORLA. Indonesia di sini membutuhkan investasi untuk menggerakkan proses produksi, membutuhkan penjadwalan ulang utang-utang yang diwariskan oleh ORLA, membutuhkan pinjaman luar negeri, dan membutuhkan bantuan pangan tentunya. Ekonomi pun akhirnya berubah dari sistem yang cenderung tertutup ke sistem yang lebih terbuka.

Dalam konteks seperti ini, Soeharto langsung membuka hubungan dengan dunia internasional. Pada pertengahan tahun 1966, IMF dan bank dunia langsung diundang ke Indonesia. Kedua lembaga ini kemudian bekerja sama dengan para ekonom Indonesia (teknokrat)[33] untuk mendiagnosa penyakit-penyakin ekonomi Indonesia. langkah ini kemudian diikuti dengan persetujuan untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia, sebuah upaya yang semakin mempermudah Indonesia untuk memperoleh bantuan pangan dari Amerika. Pada akhir tahun 1966, Indonesia berhasil menjadualkan ulah utang luar negerinya dan bersamaan dengan itu memperoleh utang baru. Kontribusi para teknokrat, kelompok yang sangat dipercayai Soeharto untuk urusan perekonomian saat itu, sangat besar di sini.[34] Sebuah perubahan drastis pun mulai bergulir.

Pada masa ini, proses yang paling berat dalam rangka membangun ekonomi nasional adalah menggerakkan proses produksi melalui investasi asing. Kerjasama dengan lembaga-lembaga internasional memang telah memberikan suatu sinyal positif kepada para investor mengenai perubahan kebijakan ekonomi Indonesia. Namun, masa-masa suram selama periode ORLA tampaknya tidak begitu gampang lenyap dari benak para investor. Dalam kondisi seperti ini, para teknokrat kembali lagi mendapat kepercayaan besar untuk menarik investasi asing ke Indonesia.

Kenyataan ini terlihat jelas dengan dikeluarkannya dekrit presiden yang memberikan wewenang penuh bagi para ekonom untuk mewakili pemerintah Indonesia di konferensi internasional mengenai investasi di Jenewa tahun 1967.[35] Mereka mendapat tanggung jawab penuh untuk mengembalikan kepercayaan investor asing terhadap Indonesia. Hal ini dapat dimengerti mengingat para ekonom tersebut adalah orang-orang yang berlatar belakang pendidikan Barat sehingga akan memberikan jaminan yang kuat terhadap para investor akan keseriusan Indonesia.

Tuntutan para investor terhadap iklim persaingan sehat,[36] jaminan bahwa nasionalisasi tidak akan ada lagi, adanya kepastian hukum dan adanya UU Perburuhan membuat para ekonom dari Indonesia cukup kerepotan. Namun, gebrakan yang dilakukan mereka akhirnya membuahkan hasil. Pada pertengahan tahun 1968, permohonan investasi yang bernilai hampir setengah milyar dollar masuk ke Indonesia.[37]

Selain investor asing, investor Tionghoa juga mendapat perhatian dari pemerintah. Mereka umumnya kelompok yang kecil namun memiliki kekuatan modal yang besar. Namun, penting diperhatikan bahwa sebagian besar orang Tionghoa umumnya berada pada sektor usaha yang kecil dengan modal yang kecil pula. Kelompok Tionghoa ini, bersama-sama dengan orang-orang pribumi yang sebagian besar merupakan kelompok usaha kecil, tidak mendapat perhatian dari pemerintah.

Perhatian kepada kelompok Tionghoa yang memiliki kekuatan modal baru digalakan pada tahun 1968. Hal ini berkaitan dengan kondisi di dalam negeri di mana adanya kecurigaan dan kebencian orang-orang pribumi terhadap mereka dan sektor usaha mereka yang lebih terorientasi pada perdagangan dalam negeri dan sektor barang konsumen. Kedua sektor ini tidak memiliki pengaruh langsung terhadap kemampuan ekspor negara. Upaya pemerintah menarik modal orang-orang Tionghoa ke dalam negeri ini terlihat dengan disahkannya UU penanaman modal dalam negeri pada tahun 1968. UU ini memberikan perlindungan berusaha bagi mereka dan jaminan bahwa modal mereka yang masuk ke Indonesia tidak akan diusut asal usulnya. Nasib seperti ini sayangnya tidak dirasakan oleh kelompok usaha kecil, baik pribumi maupun Tionghoa, di Indonesia. Mereka bahkan tidak berhasil mengupayakan disahkannya kebijakan untuk melindungi kepentingan mereka.[38]

Upaya Indonesia membuka hubungan dengan negara-negara dan lembaga-lembaga internasional telah memberikan kontribusi untuk menggerakkan kembali perekonomian Indonesia yang sudah mati suri. Upaya seperti ini diikuti dengan langkah-langkah untuk mencapai stabilitas moneter (pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah) dan program-program rehabilitasi infrastruktur fisik. Serangkaian gebrakan ini akhirnya memberikan hasil yang baik terhadap perekonomian Indonesia. pada tahun 1972 Indonesia memang mengalami goncangan ekonomi yang disebabkan oleh gagal panen pada tahun 1972, banyaknya jumlah uang yang beredar dan inflasi dunia yang sedang terjadi saat itu. Namun, penting dicatat gebrakan di awal ORBA telah membuat inflasi berangsur-angsur turun dan bahkan pernah mencapai 0% tahun 1969. Selain itu, rata-rata pertumbuhan ekonomi dari tahun 1968-1974 mencapai 8,87%. Dalam periode ini, Indonesia sempat mencatat pertumbuhan mencapai 10,9% pada tahun 1969.[39]

Pada masa-masa awal ini ORBA berada dalam suatu situasi yang membuatnya mau tidak mau untuk membuka dirinya terhadap pasar dan berbagai kekuatan ekonomi dunia. Emil Salim memandang bahwa kecenderungan seperti inilah yang dapat menyelamatkan Indonesia. Bagi beliau, Indonesia sudah lama tenggelam dalam pertarungan ideologi sehingga jalan keluar satu-satunya ialah beralih ke pragmatisme.[40]

Di masa ORLA, proses politik diwarnai dengan berbagai kericuhan yang pada gilirannya membuat pemerintah semakin tidak efektif menjalankan program-programnya. Kericuhan seperti ini diikuti dengan cara kepemimpinan Soekarno yang tidak terlalu mementingkan persoalan ekonomi dan lebih memilih politik sebagai panglima. Bertolak dari pengalaman ini, Soeharto menyadari bahwa pemulihan ekonomi bagaimana pun penting untuk menopang kekuasaannya. Dalam rangka mendorong perekonomian nasional, tentu dengan bercermin pada masa lau, Soeharto merasakan perlunya mewujudkan sebuah stabilitas. Stabilitas politik sepertinya menjadi sebuah pilihan yang tidak dapat ditawar lagi dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi.

Soeharto naik sebagai pucuk pimpinan di negara ini bagaimana pun tidak lepas dari kontribusi Angkatan Darat. Selain itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa pertentangan antara dua kekuatan politik di masa ORLA (demokrasi terpimpin) telah dimenangkan oleh Angkatan Darat. Dalam kondisi seperti ini, Angkatan Darat merupakan pilihan yang paling realistis bagi Soeharto untuk mewujudkan stabilitas politik. Kenyataan di masa ORBA menunjukkan bahwa konsolidasi kekuatan Soeharto yang bertumpu pada Angkatan Darat membuahkan stabilitas yang berlangsung lama di masa ORBA. Suatu stabilitas yang ditopang oleh sebuah jaringan patron-klien yang sangat kuat dimana Angkatan Darat dapat dikatakan menjadi operatornya.

Dalam periode awal ORBA, 1966-1974, Soeharto berada dalam posisi yang sangat dilematis. Di satu sisi, ia harus bersikap responsif terhadap pasar dalam rangka menggerakkan perekonomian nasional. Dia sadar bahwa pemulihan perekonomian merupakan hal yang penting untuk mengamankan posisinya. Di sisi lain, Soeharto juga sadar bahwa bangunan patron-klien yang kuat merupakan hal yang penting untuk menyelamatkan posisi politiknya.[41] Dalam rangka memperkuat bangunan tersebut, Soeharto tentunya memerlukan dukungan dana yang besar. Kondisi perekonomian yang rusak telah membuat Soeharto kesulitan untuk memperkuat bangunan patron-klien tersebut.

Kebijakan pemerintah pada masa awal ORBA yang cenderung berorientasi ke pasar telah membuat kecemburuan dari kelompok-kelompok yang berada di lingkaran kekuasaan. Orang-orang yang berada di dalam tubuh Angkatan Darat merasa tidak senang dengan kecenderungan pemerintah tersebut. Hal ini mengingat tempat mereka untuk menguasai modal-modal yang masuk dari lembaga-lembaga keuangan internasional dan investasi swasta sangat kecil. Modal-modal yang masuk tersebut langsung disalurkan kepada para menteri ekonomi melalui Bank Indonesia, Departemen keuangan dan BAPPENAS. Kelompok teknokrat pada masa awal ini dapat dikatakan berada di atas angin.[42] Soeharto tidak memiliki pilihan lain selain memberikan porsi yang besar kepada para teknokrat untuk menata perekonomian nasional.

Soeharto memang menghadapi kendala dana untuk memperkuat bangunan patron-klien, namun stabilitas politik merupakan sesuatu yang tidak dapat ditunda. Soeharto paling tidak harus mengoptimalkan segala kemampuannya untuk mewujudkan stabilitas tersebut. Penataan ekonomi Indonesia bagaimana pun, terutama apabila belajar dari apa yang terjadi pada maa ORLA, menuntuk adanya stabilitas politik. Hal seperti ini juga di sadari oleh pihak Angkatan Darat. Ini terlihat dari apa yang dihasilkan di dalam seminar II Angkatan Darat dan seminar hukum (1966 dan 1967) dimana muncul penegasan akan pentingnya stabilitas dalam rangka mendukung proses ekonomi dan pentingnya persatuan dan kesatuan. Penegasan seperti ini juga terungkap di dalam Tap. XLII/MPRS/1968 yang memberi penekanan akan pentingnya stabilitas dan pemulihan ekonomi.[43] Apabila kita melihat kecenderungan seperti ini dan pengalaman di masa ORLA maka orientasi untuk membentuk pemerintahan yang kuat menjadi tujuan dari kekuatan ORBA. Dalam pergerakan seperti ini, tampaknya menarik memperhatikan apa yang diungkapkan oleh Mahfud M.D:[44] "Dari penelusuran historik ternyata tampilnya Orde Baru sebagai negara yang kuat sangat dipengaruhi oleh proses pembangunan ekonomi yang menuntut prasyarat ‘stabilitas nasional’ sehingga sejak tahun 1966 (berdasarkan rumusan hasil Seminar II Angkatan darat) telah dilakukan penggalangan-penggalangan".

Soeharto tentunya sangat menyadari kenyataan tersebut. Ini terlihat dalam gebrakan yang dilakukannya pada masa awal ORBA. Setelah menggusur Soekarno dengan menggunakan momentum surat perintah sebelas Maret (SUPERSEMAR), langkah Soeharto yang penting diperhatikan adalah upayanya untuk menguasai militer ke dalam tangannya dan menyediakan paradigma yang akan menyediakan ruang yang lebih besar kepada militer dalam proses politik. Sebagai pimpinan Angkatan Darat yang paling senior saat itu, pimpinan-pimpinan senior lainnya sudah terbunuh dalam peristiwa 30 September, Soeharto langsung mereorganisasikan Angkatan Bersenjata dengan menempatkan seluruh angkatan di dalam Angkatan bersenjata di bawah markas besar Angkatan Bersenjata. Bersamaan dengan itu, dia juga melakukan depolitisasi terhadap militer. Orang-orang yang berseberangan dengan dia dan yang berafiliasi dengan kekuatan politik dicopot dari jabatannya dan diganti dengan orang-orang yang lebih setia. Tokoh-tokoh seperti Nasution, Kemal Idris, Sarwo Edhie Wibowo dan H.R. Dharsono pun akhirnya terlempar.[45] Langkah ini penting karena pertikaian ideologi antara kekuatan-kekuatan politik di masa ORLA telah membuat militer terpolarisasi di dalam pertikaian-pertikaian tersebut. Sebuah pertikaian yang pada gilirannya memperlemah pemerintah sehingga berbagai program pemerintah tidak dapat berjalan dengan baik.

Pada tahun 1969, Soeharto telah berhasil melakukan reorganisasi tersebut dengan menempatkan seluruh kekuatan militer di bawah kendalinya. Langkah penting kedua yang dilakukan adalah menyediakan kerangka konseptual bagi keterlibatan militer di dalam politik. Dalam kerangka ini Soeharto mengefektifkan konsep Dwifungsi, sebuah konsep yang telah dilontarkan oleh Nasution sejak tahun 1958. Konsep ini bagi Said senantiasa diperbaharui seiring dengan pergerakan perkembangan politik. Pada tahun 1962, setelah Indonesia memasuki demokrasi terpimpin, konsep jalan tengah Nasution dijabarkan oleh SESKOAD (Sekolah Staff dan Komando Angkatan Darat) dalam ‘Doktrin Perang Wilayah’. Setelah Soekarno tergusur, doktrin tersebut disempurnakan lagi oleh SESKOAD dalam doktrin yang di beri nama ‘Tri Ubaya Cakti’.[46]

Soeharto di sini tentunya mempunyai kerangka konseptual yang dapat menjadi dasar pembenaran terhadap keterlibatan militer dalam pentas politik. Keterlibatan seperti ini tentunya sangat penting bagi Soeharto dalam rangka menjaga posisinya. Hal ini mengingat militer sebagai kekuatan politik adalah militer yang secara keseluruhan telah berada dalam genggaman Soeharto, khususnya setelah reorganisasi militer tercapai pada tahun 1969. Selain itu, kekutan militer ini adalah kekuatan yang memiliki struktur sampai ke tingkat desa. Sebuah struktur yang menurut Said berdiri tegak lurus dengan struktur pemerintahan sipil. Struktur ini sudah dibangun sejak jaman Soedirman dan kemudian disempurnakan lagi dijaman demokrasi terpimpin dalam rangka perlawanan terhadap pemberontakan di dearah-daerah dan terhadap PKI. Di jaman ORBA kekuatan teritorial ini menjalankan fungsi yang sama.[47] Jaringan seperti ini tentunya memberikan kontribusi penting bagi Soeharto, terutama dalam rangka mengamankan kekuasaannya. Segala macam perlawanan atau upaya-upaya mengkritisi bangunan kekuasaannya akan dengan gampang diatasi karena dia sudah mempunyai jari-jari gurita yang menyebar di seluruh pelosok Indonesia.

Selain gebrakan seperti ini, Soeharto tentunya menyadari bahwa ketegangan ideologi dan kepentingan yang telah memperlemah ORLA harus diatasinya. Dalam kerangka seperti ini, Soeharto tentunya perlu untuk menggarap MPR dan DPR, partai-partai politik, dan menciptakan mesin politik yang penting dalam kerangka pemilu. Upaya seperti ini tentunya memerlukan sebuah persiapan, sementara persiapan itu sendiri memerlukan waktu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ketetapan MPRS untuk melaksanakan pemilu paling lambat 5 Juli 1968 diusulkan oleh Soeharto untuk ditunda. MPRS pada tanggal 27 Maret 1968 menyetujui hal ini dan menundanya sampai tanggal 5 Juli 1971, bersamaan dengan itu MPRS mengangkat Soeharto sebagai presiden penuh.[48]

Dalam rangka menyongsong pemilu tahun 1971, Soeharto merasa perlu memperkuat posisinya. Ini terlihat di dalam UU pemilu dimana pemerintah memperoleh hak untuk mengangkat 1/3 dari anggota MPR dan 1/5 dari anggota DPR.[49] UU ini penting dalam rangka upaya pemerintah mengamankan MPR dan DPR dari pengaruh partai-partai dan menguatkan posisi pemerintah. Dalam rangka penguatan seperti ini, pemerintah selanjutnya menggarap partai-partai. Tujuan pemerintah adalah menyederhanakan partai-partai, namun hal tersebut tampaknya dilakukan secara bertahap. Dua kekuatan besar tahun 1955 salah satu kekuatan pada masa ORLA, yakni PNI, dimonitor dan tokoh-tokohnya disingkirkan. Hal serupa pun terjadi terhadap tokoh-tokoh eks-Masyumi dalam konteks Parmusi. Parmusi diijinkan berdiri asalkan tidak mengikut sertakan orang-orang eks-Masyumi.[50] Di sini terjadi upaya pelumpuhan terhadap dua kekuatan besar pada masa ORLA, yakni PNI dan Masyumi. Berbagai tokoh yang tidak terkoneksi dengan ORBA disingkirkan.

Parpol yang ikut di dalam pemilu 1971 berjumlah sembilan partai, di luar Golkar, sebagai akibat keberhasilan pemerintah menetapkan prasyarat bagi kontestan yang akan ikut pemilu. Kesembilan parpol ini pun masih dikelompokkan lagi di dalam dua golongan yang terekspresi di dalam pembentukan fraksi-fraksi di DPR, di luar Golkar dan ABRI. Dengan demikian terdapat empat fraksi di DPR, yakni: fraksi golongan spiritual, fraksi golongan nasionalis, fraksi golongan karya dan fraksi ABRI.[51]

Pembatasan ruang gerak partai-partai diikuti dengan upaya menciptakan mesin pemilu bagi pemerintah, yakni Golkar. Golkar pada awalnya merupakan kelompok sipil-militer yang dikenal dengan nama ‘Sekber Golkar’ (Sekretaris Bersama Golongan Karya). Kelompok ini dibentuk oleh Angkatan Darat pada tahun 1964 dalam rangka perlawanan terhadap PKI. Di awal ORBA, kekuatan ini digarap sebagai kendaraan politik pemerintah. Dalam rangka mendorong kendaraan ini, Soeharto pada tanggal 5 September 1966 menginstruksikan kepada keempat angkatan untuk memberikan fasilitas seluas-luasnya mendukung Golkar dari tingkat pusat sampai daerah.[52] Golkar kembali mendapat suntikan tenaga dengan dikeluarkannya peraturan menteri No. 12 tahun 1969 dan diikuti dengan surat edaran berisikan formulir korps karyawan pemerintah dalam negeri (KOKARMENDAGRI). Hal ini dikeluarkan dalam rangka mengharuskan pegawai negeri untuk menanggalkan keanggotaan partainya dan mengapdikan kesetiaannya bagi negara.[53] Ini tentunya berarti bahwa seluruh pegawai negeri ditempatkan di bawah payung Golkar.

Semua ini pada akhirnya membuat Golkar menjadi pemenang pemilu pada tahun 1971 dengan total 62,8 persen. Dalam konteks seperti ini, Soeharto dapat dikatakan telah memiliki dukungan politik yang kuat. Upaya untuk memperkuat pemerintah dan memperlemah kekuatan politik sipil melalui parpol terlihat kembali pasca pemilu. Upaya Soeharto untuk menyederhanakan parpol akhirnya mendapat persetujuan dari MPR yang terbentuk dari hasil pemilu tahun 1971. Pada tahun 1973 semua partai semua partai, kecuali Golkar, difusikan ke dalam dua partai besar, yakni: PPP Partai Persatuan Pembangunan) dan PDI (Partai Demokrasi Indonesia). Hal ini kemudian semakin diperkuat dengan keluarnya UU No. 3 tahun 1975 tentang parpol dan Golkar.[54] Dalam pergerakan seperti ini, Schwarz mengatakan bahwa:[55] "The idea, which appeared to have come from Murtopo, had the effect of further weakening the parties by fostering internal disunities, a problem which has plagued them to the present day. This, however, was not Soeharto’s concern. He wanted a parliament that would endorse his policies, not offer differing ones".

Upaya memperkecil ruang gerak kekuatan sipil di dalam parpol melalui fusi tersebut diikuti lagi dengan pegembangan konsep ‘masa mengambang’. Sebuah gagasan dari Ali Murtopo yang bertujuan untuk menarik masyarakat dari berbagai keterlibatan politik dan hanya diijinkan memilih sekali dalam lima tahun. Hal ini diikuti dengan pelarangan aktivitas partai di daerah-daerah pedesaan. Golkar memang terkena imbas dari pelarangan ini, namun karena ABRI merupakan tulang punggung Golkar maka Golkar tetap dapat tetap dapat membangun pengaruhnya ditingkat desa melalui ABRI.[56]

Periode awal ORBA (1966-1973/1974) merupakan periode yang berbeda dari periode yang berlangsung mulai tahun 1974 ke atas, terutama periode dimana Indonesia kebanjiran dana segar dari minyak (1974-1982). Pada periode ini, Indonesia mengalami dua kali ‘boom minyak’ yang memberi dampak terhadap penguatan bangunan patron-klien Soeharto. Schwarz menggambarkan bahwa secara relatif pada periode awal ini ruang bagi kebebasan masih ada, baik bagi para penulis (authors), para penulis naskah drama (playwrights) maupun pers. Hal senada juga diungkapkan oleh Mahfud M.D, beliau mengaitkan hal ini dengan sikap kehati-hatian ORBA untuk tidak secara langsung menciptakan kondisi yang ekstra represif. Sikap hati-hati ini, menurut Mahfud, terkait dengan kesadaran bahwa masyarakat pada masa itu sudah jenuh dengan sistem otoriter pada jaman ORLA dan strategi awal untuk mencari bentuk legitimasi yang baru.[57]

Kebebasan yang masih dirasakan pada periode awal ORBA ini, apabila diperhatikan ternyata berlangsung pada masa dimana Soeharto dan sekutu-sekutunya tidak memiliki kekuasaan yang besar untuk mengendalikan modal yang masuk ke Indonesia. Proses pemerintahan yang sangat represif dapat dikatakan mengambil titik berangkat dari peristiwa Malari. Peristiwa ini menurut Schwarz memiliki implikasi yang luas terhadap proses politik dimana Indonesia mulai memasuki fase yang lebih otoriter.[58] Fase yang lebih otoriter ini berlangsung bersamaan dengan terjadinya ‘boom minyak’ pertama pada tahun 1974. ‘boom minyak’ bagaimana pun telah memberikan kelimpahan uang kepada Soeharto dan sekutu-sekutunya untuk semakin memperkuat bangunan patron-klien mereka.

Apa yang diutarakan oleh Mahfud M.D mengenai periode awal ORBA merupakan sebuah penjelasan yang sangat logis. Analisa seperti ini memberikan gambaran mengapa Soeharto tidak secara langsung menjalankan proses pemerintahan yang ekstra represif. Namun, momentum ‘boom minyak’ menurut penulis paling tidak memberikan kontribusi terhadap daya gedor Soeharto dan sekutu-sekutunya untuk menjalankan proses yang represif. Uang yang melimpah dari ‘boom minyak’ menjadi modal penting untuk semakin memperkuat jari-jari kekuasaannya.

Di masa awal ORBA, sebagaimana telah dijelaskan, besarnya kepentingan untuk menggerakkan proses ekonomi telah menempatkan para teknokrat di atas angin. Hal ini menimbulkan kecemburuan dari sekutu-sekutu Soeharto yang non-ekonom, khususnya kalangan militer. Dalam rangka menampung kegelisahan tersebut, Winters menggambarkan upaya Soeharto mengembangkan sikap dua arah. Pada saat para ekonom menggarap ekonomi, bantuan PL-480[59] dari Amerika tampaknya digunakan Soeharto untuk memperoleh dana imbangan yang dapat digunakan untuk keperluan politik. Selain itu, Soeharto sering membekali bebarapa Jenderal dengan surat yang ditanda tanganinya untuk memperoleh beberapa komoditas-komoditas yang berlebihan di Amerika. Komoditas pangan, kertas koran, suku cadang percetakan, mesin cetak adalah contoh komoditas yang diburu oleh para Jenderal tersebut.[60] Dalam konteks seperti ini, Winters mengatakan:[61] "Yang tersirat dalam pendekatan-pendekatan ini adalah persetujuan dian-diam (atau tidak langsung) untuk presentase penjualan sebagai bonus bagi orang militer itu."

Sikap dua arah Soeharto juga terlihat di dalam penggarapan Pertamina yang diserahkan kepada Jenderal Ibnu Sutowo. Hal ini berkaitan dengan kredit yang dibuat oleh Ibnu Sutowo dengan perbankan asing yang tidak dapat dikendalikan oleh para ekonom. Para ekonom terkejut dengan hal ini, namun mereka tidak dapat berbuat banyak karena Soeharto berada di belakang Sutowo. Soeharto di sini mendukung Sutowo tidak secara terang-terangan karena dia tidak mau merusak kepercayaan dunia internasional yang telah diupayakan oleh para ekonom. Para ekonom memang berupaya untuk memotong sepak terjang Sutowo, namun tetap saja tidak berhasil. Namun, jalur dua arah Soeharto melalui Sutowo akhirnya tidak dapat dipertahankan pada saat utang-utang jangka pendek Pertamina semakin membengkak.[62]

Pemasukan seperti ini juga ditambah dengan surplus yang tersisa dari pengeluaran rutin. Dana yang diperoleh untuk keperluan rutin berasal dari berbagai macam pajak dan tarif serta hibah/kredit luar negeri. Dana ini kemudian dipergunakan untuk pengeluaran rutin seperti pemberian jatah beras dan pembayaran gaji pokok pegawai negeri dan militer. Semua dana yang terkumpul ini, yang masuk ke dalam tanbungan pemerintah, kemudian dipergunakan untuk proyek pembangunan. Winters menyebut dana pembangunan sebagai uang tambahan yang diperlukan agar seseorang mau melakukan sesuatu.[63] Apabila kita berbicara mengenai proyek politik dalam rangka memperkuat posisi soeharto, maka dari sinilah dana bagi proyek tersebut. Berkaitan dengan dana seperti ini, menarik untuk memperhatikan apa yang di katakan Schwarz mengenai kemenangan Golkar: “District leaders and village heads were given ‘quotas’ of Golkar votes to fill and development funds were promised to pro-Golkar regions”. [64]

Soeharto dan sekutu-sekutunya memang dapat memperoleh dana sekunder yang kurang terikat, namun bagaimana pun jumlahnya belum terlalu signifikan. Hal ini diperumit dengan kenyataan dimana Soeharto akhirnya tidak dapat dipertahankan sikap dua arahnya dan sekaligus menunjukkan pengaruh yang dimiliki oleh para ekonom. Kondisi ini diperburuk dengan terjadinya inflasi dunia yang berdampak ke Indonesia dan terjadinya gagal panen di dalam negeri pada tahun 1972. Gagalnya panen tentunya berdampak terhadap meningkatnya kebutuhan impor beras oleh pemerintah. Namun, pada titik ini rasanya penting dicatat bahwa kalangan militer sepertinya menjadi perpanjangan tangan Soeharto dalam mengupayakan dan menyalurkan dana sekunder dalam rangka kepentingan politik. Hal ini dapat dimaklumi apabila mengingat mereka memiliki kontribusi penting untuk menciptakan stabilitas politik.

Dalam konteks seperti ini kita dapat menggambarkan perkembangan politik ORBA dalam keterkaitan dengan persoalan keterpurukan ekonomi. ORLA menghasilkan kehancuran ekonomi dan stabilitas politik. ORBA menyadari hal ini dan kemudian melakukan pembenahan terhadap kedua hal tersebut. Jalur ekonomi diserahkan kepada para teknokrat dan jalur stabilitas politik ditempuh dengan mengoptimalkan kekuatan militer. Jalur ekonomi melahirkan adanya tuntutan responsif terhadap lembaga-lembaga keuangan dunia dan modal swasta asing. Jalur stabilitas politik menuntut adanya tetesan dana untuk proyek-proyek politik. Tuntutan ini diperoleh melalui sikap mendua Soeharto yang secara diam-diam bekerja sama dengan para Jenderal untuk mendapatkan tetesan dana tersebut. Tetasan ini akhirnya terganggu karena Soeharto berhadapan dengan tuntutan besar supaya tetap bersikap responsif terhadap lembaga-lembaga keuangan dunia dan modal swasta asing. Proses stabilisasi politik pada masa awal ini berjalan dengan belum melahirkan pemerintahan yang ekstra represif. Hal ini berkaitan dengan kesadaran Soeharto akan kondisi sosial politik saat itu sebagaimana diungkapkan oleh Mahfud M.D. Hal seperti ini berlangsung pada saat bersamaan dimana Soeharto dan sekutu-sekutunya belum memiliki dana yang besar dalam rangka memperkuat struktur bangunan patron-kliennya.

2.3. Orde Baru dan Konsolidasi kekuatan
Periode awal ORBA ditandai dengan pentaan ulang format politik Indonesia. Penataan ulang ini dilakukan dalam rangka menekan kontradiksi-kontradiksi politik, sebagaimana yang terjadi pada masa ORLA, yang akan membahayakan stabilitas politik. Hal ini dilakukan bersamaan dengan upaya memperbaiki kehancuran ekonomi yang diwariskan ORLA. Ini dapat dimengerti mengingat perbaikan ekonomi saat itu sangat membutuhkan stabilitas politik, sesuatu yang tidak ada pada masa ORLA. Penataan ulang tersebut belum menghasilkan sebuah bangunan politik yang ekstra represif. Kondisi ini terkait kondisi objektif yang belum memungkinkan dan, bersamaan dengan itu, keterbatasan dana yang dimiliki kekuatan ORBA untuk memperkuat bangunan patron-klien.

Bangunan patron-klien bagaimana pun merupakan sebuah bangunan yang penting dalam rangka menopang kekuatan represif ORBA. Upaya memperkuat bangunan ini akan memerlukan dana yang sangat besar. Kondisi ini mengalami benturan dengan keberadaan pemerintah yang harus bersikap responsif terhadap modal-modal yang berasal dari lembaga-lembaga keuangan dan para investor asing. Upaya Soeharto menggalang dana melalui sikap dua arah akhirnya terhenti akibat benturan tadi.

Kondisi ini praktis berubah pada tahun 1974 dimana pemerintah memperoleh dana yang sangat besar dari ‘boom minyak’ yang pertama. ‘Boom minyak’ ini sudah mulai dirasakan pada akhir tahun 1973 dan mencapai puncaknya sekitar tahun 1974-1975. Ini dapat dilihat dari kontribusi minyak dan gas alam terhadap tabungan pemerintah. Pada pelita I (1969/1970-1973/1974) minyak bumi dan gas alam telah memberikan kontribusi sebesar 35 persen terhadap tabungan pemerintah. Pada pelita II (1974/1975-1978/1979) kontribusi minyak dan gas alam meloncak mecapai 55,1 persen. Kontribusi ini semakin meningkat lagi pada Pelita III (1979/1980-1983/1984), masa terjadinya ‘boom minyak’ kedua, yang mencapai 66,7 persen.[65]

Data seperti ini memperlihatkan kontribusi penting ‘boom minyak’ terhadap total tabungan pemerintah. Bersamaan dengan terjadinya ‘boom minyak’ pertama, terjadi pergeseran kebijakan pemerintah. Sebuah pergeseran yang dapat dikatakan berorientasi untuk memperkuat struktur bangunan patron-klien dalam rangka menopang sebuah kekuasaan. Dalam konteks ‘boom minyak’ ini, Winters mengatakan:[66] "Karena sektor minyak dan gas dimiliki oleh negara Indonesia dan keuntungan penjualan….mengumpul dalam perbendaharaan negara, boom minyak menempatkan sumberdaya yang besar dan amat luwes itu secara langsung di tangan para pembuat kebijakan Indonesia. Khususnya faksi patron-klien yang berkaitan dengan Suharto".

‘Boom minyak’ telah memberikan uang yang luar biasa besar yang tentunya bermanfaat bagi dana pembangunan. Dana pembangunan, sebagai mana dikatakan oleh Winters, merupakan dana yang diperlukan supaya seseorang mau melakukan sesuatu. Tujuan inti dari penggunaan dana seperti ini menurut Winters: “Tujuannya adalah untuk menggunakan sumberdaya ini dengan cara yang sejalan………dengan inti patrimonialisme Indonesia dan oleh karena itu menghasilkan keuntungan paling besar bagi para pejabat, teman-teman mereka, dan sekutu-sekutu politik mereka”.[67]

Goncangan besar yang dihadapi pemerintahan Soeharto dan menandai perubahan dalam proses politik, seperti dikatakan tadi, berkaitan dengan tragedi Malari. Kombinasi antara ketimpangan ekonomi,[68] dana yang tumpah ke istana dan sekitarnya, berkembangnya korupsi dan intrik militer[69] telah melahirkan ledakan kerusuhan di Jakarta. Goncangan ini memiliki dua implikasi penting, yakni: Pertama, adanya kebutuhan untuk melakukan re-konsolidasi di tubuh militer untuk mengatasi keretakan yang ada. Di sini kesetiaan individual jauh lebih dipentingkan dari pada institusi. Hal ini terlihat dengan disingkirkannya kedua kubu yang bertikai di dalam tubuh militer, termasuk para pendukungnya. Kedua, adanya kebutuhan melakukan kontrol ketat terhadap kehidupan politik dan mengambil langkah represif terhadap aktivitas sipil. Dalam situasi ini, hampir seratus orang sipil diadili dan dua belas surat kabar dibekukan.[70]

Era konsolidasi kekuatan yang berorientasi represif mulai berlangsung di sini. Sebuah era yang berlangsung bersamaan dengan mengalirnya dana dalam jumlah besar dari minyak ke dalam kantong pemerintah. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan apabila Schwarz mengatakan:[71] "In the middle decade of his rule, Soeharto gradually moved to strenghten his control over the political process and prevent expressions of dissatisfaction from bubbling to the surface. The treasury, flush with oil revenues, was able to accelerate its spendings on infrastructur and nudge economic growth higher".

Pada awal ORBA, pertarungan antara para ekonom dan sekutu-sekutu Soeharto dimenangkan oleh kalangan ekonom. Kenyataan ini berubah seiring dengan mengalirnya uang dari minyak. Bangunan patron-klien seperti mendapat suntikan tenaga dalam rangka memperkuat struktur bangunannya. Peran dari sekutu-sekutu politik Soeharto tiba-tiba menjadi penting dalam proses perekonomian, termasuk dalam proses investasi. Kenyataan seperti ini mengakibatkan merosotnya investasi asing ke dalam negeri. Dalam konteks seperti ini, sejumlah konsultan yang disewa oleh para ekonom mengaitkan kemerosotan ini dengan upaya sejumlah pejabat yang berusaha untuk memegang kendali atas proses investasi.[72]

Tragedi Malari mengakibatkan pemerintah mengambil kebijakan untuk menata kembali proses investasi, beserta berbagai kemudahannya, di Indonesia. Ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah yang mengharuskan setiap investor asing untuk mengembangkan usaha patungan dengan mitra pribumi. Ruang bagi keterlibatan orang-orang pribumi, bukan Tionghoa, harus diberikan seluas mungkin, khususnya berkaitan dengan perimbangan kepemilikan saham. Selain itu, diperluasnya ’negative list’ berkaitan dengan sektor-sektor usaha yang tidak boleh dimasuki oleh asing. Berbagai macam fasilitas keringanan pajak dan bea masuk akan dikurangi. Berkaitan dengan pemberian kredit, kalangan pribumi akan menjadi prioritas. Dalam level peraturan, kebijakan tersebut memang memberikan ruang yang besar bagi keterlibatan orang-orang pribumi. Namun, dalam level praksis, sebagaian besar orang-orang pribumi yang bergerak dalam sektor usaha kecil cenderung tidak memperoleh perlindungan. Mereka tetap menjadi kelompok-kelompok yang terus-menerus dirugikan.[73]

Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah ini telah menempatkan para pejabat dalam pengurusan proses investasi di Indonesia. Dalam konteks seperti ini, penekanan akan keuntungan tertentu menjadi penting. Proses investasi yang bertumpu pada mekanisme pasar menjadi kurang penting.[74] Di sini Winters mengatakan bahwa:[75] "Untuk pertama kali sejak jatuhnya Soekarno, kaum elite patrimonial … Indonesia memberi tanggapan pada kendala yang ditimbulkan oleh para mobile investors … tidak hanya dengan membuka sebuah pertunjukan sampingan (jalur kedua) tetapi dengan menantang langsung alokasi berdasarkan pasar".

‘Boom minyak’ yang terjadi di Indonesia pada periode ini telah mendorong pelaksanaa program pembangunan, termasuk pemberian fasilitas-fasilitas terhadap pengusaha pribumi, pelaksanaan program INPRES (Instruksi Presiden) dan ekspansi BUMN (Badan Usaha Milik Negara). Dalam konteks seperti ini, keberadaan sebagian besar rakyat Indonesia yang bergerak di sektor usaha kecil tetap memprihatinkan. Hal ini terjadi karena proses alokasi dana pembangunan yang diperoleh dari minyak dilaksanakan kerangka patron-klien. Kelompok-kelompok usaha yang memiliki kedekatan dalam kerangka patron-klienlah yang lebih menikmati kucuran dana pembangunan tersebut.[76]

‘Boom minyak’ memang telah memberikan angin kepada kekuatan-kekuatan patron-klien Indonesia. Namun, daya gedor dari ‘boom minyak’ pertama ini tidaklah sekuat ‘boom minyak’ kedua. Hal ini diakibatkan oleh persoalan yang terjadi pada saat ‘boom minyak’ berlangsung:[77]
  1. Pemerintah masih harus menangani persoalan kekurangan pangan di dalam negeri.
  2. Pemerintah juga masih harus dipusingkan dengan persoalan Pertamina yang terjadi akibat kesalahan penanganan. Sebuah kesalahan yang mengakibatkan membengkaknya utang pertamina, khususnya utang jangka pendek.
  3. Terjadinya inflasi dunia yang berimbas ke dalam negeri serta banyaknya uang yang beredar di dalam negeri telah memberikan kontribusi terhadap meningkatnya inflasi.
  4. Peningkatan keuntungan melalui minyak yang terjadi tahun 1974 dan antara tahun 1975-1978 cenderung bergerak statis. Sementara itu, nilai mata uang dollar mulai memperlihatkan trend menurun. Hal ini kemudian berdapak pada terjadinya devaluasi nilai rupiah sebesar 50 persen pada tahun 1978.

Pertarungan antara para ekonom dengan kekuatan patron-klien mulai mengalami pergeseran. Kecenderungan minyak yang mulai menurun pasca 1975 dan menurunnya daya kompetitif Indonesia dalam rangka investasi asing membawa dampak terhadap perekonomian Indonesia. Di sini para ekonom mulai mendapatkan posisi mereka kembali, khususnya tahun 1977 dan 1978.[78] Sebuah posisi yang sayangnya tidak berlangsung lama karena pada tahun 1979 momentum kenaikan minyak terjadi lagi. Winters di sini mengatakan bahwa:[79]

Tekad….para pejabat klientelis yang berbasis luas dan dekat dengan Soeharto untuk menggantikan pasar dengan kebijakan mereka sendiri….menemui keberhasilan yang jauh lebih besar menjelang akhir 1970-an. Boom minyak kedua itu mengisolasi para pejabat negara ini lebih jauh lagi dari pengaruh….para mobile investors atas kebijakan ekonomi.

‘Boom minyak’ kedua yang dialami Indonesia berlangsung dengan jumlah yang lebih besar dari boo minyak pertama. Selain itu, boom kedua ini berlangsung dalam situasi yang berbeda dari boom pertama.[80] Kondisi ini tentunya menghasilkan surplus yang besar bagi tabungan negara. Surplus seperti ini tentunya berarti pemerintah memiliki dana yang besar bagi anggaran pembangunan. Surplus ini kemudian diikuti dengan KEPPRES (Keputusan Presiden) No. 10 tahun 1980 yang dikeluarkan dalam rangka penataan pembelian-pembelian pemerintah Indonesia. Dalam konteks KEPPRES inilah ‘Tim KEPPRES 10’ atau yang lebih dikenal dengan nama ‘Tim sepuluh’ dibentuk.[81] Winters mengomentari tim ini sebagai berikut: “………Tim sepuluh………merupakan badan non-militer yang paling kuat dan paling jahat yang ada di Indonesia sejak masa kejayaan Ibnu Sutowo di Pertamina.”[82]

Tim ini berpusat di Sekneg (Sekretaris Negara) dan dalam perkembangannya telah menjadi sebuah basis kekuatan pemerintah pusat yang menjalar sampai ke tingkat kabupaten. Hal ini dapat dilihat pada proses perkembangannya:[83]
  1. Dua bulan sudah berdiri, Tim ini menjadi sebuah perangkat permanen di dalam pemerintahan.
  2. Suntikan tenaga diperoleh Tim ini saat dikeluarkannya KEPPRES No. 14A yang memberikan wewenang kepada Tim tersebut untuk mengurusi pembelian barang dan jasa bagi pemerintah yang bernilai Rp. 500 juta ke atas.[84] Selain memperoleh wewenag untuk mengawasi pembalian oleh berbagai departemen dan badan pemerintah non-departeman.
  3. Tim ini juga mendapat suntikan lagi melalui KEPPRES No. 42. KEPPRES ini memberikan wewenang bagi Tim tersebut untuk mengurusi semua BUMN, termasuk PERTAMINA.
  4. Tahun 1981, KEPPRES No. 18 dan 20[85] dikeluarkan dan membuat jari-jari gurita Tim ini semakin menyebar ke provinsi. Segala proyek pembangunan di daerah dikontrol dengan ketat oleh cabang Tim sepuluh di daerah, sesuai dengan KEPPRES No. 20.
  5. Tahun 1982, kebijakan pemerintah berkaitan dengan penggunaan kapal-kapal Indonesia dalam kerangka impor pun ditempatkan di bawah Tim ini.
  6. Tahun berikutnya seluruh aktivitas pembelian pemerintah dari pusat sampai kabupaten, termasuk bank-bank negara, semuanya sudah di dalam cengkraman Tim sepuluh.
  7. Keperkasaan Tim sepuluh semakin kuat lagi dengan dikeluarkannya KEPPRES No.29 tahun 1984. KEPPRES ini menurunkan batas pembelian dari Rp. 500 juta ke atas menjadi Rp. 200 juta ke atas, termasuk memberikan wewenang untuk menentukan perusahaan-perusahaan mana dapat memperoleh ijin untuk mengajukan tender.
  8. Setiap departemen diharuskan membentuk Tim sepuluh mini dalam rangka menggarap tender yang nilainya berada di bawah nilai yang ditetapkan bagi Tim sepuluh.
  9. Tahun 1984, pemerintah menempatkan semua pengadaan yang bersumber dari kredit luar negeri di bawah Tim sepuluh.
  10. Tahun 1985, pengadaan bagi ABRI dan HANKAM ditempatkan juga di bawah kendali Tim sepuluh.

Bagunan patron-klien yang luar biasa hebat pun akhirnya dibangun. Sebuah bangunan yang dapat dikatakan telah menjadi sandaran keuangan bagi Soeharto dan sekutu-sekutu politiknya, bahkan termasuk anak-anak Soeharto. Hal ini mengingat Tim tersebut berpusat di Sekneg dan bukan di DEPKEU atau di BAPPENAS. Selain itu Tim ini bertanggung jawab langsung kepada Soeharto, bukan kepada MENKEU (Menteri Keuangan) atau MENKO EKUIN.[86] Dalam kerangka seperti ini Winters menjelaskan bahwa:[87] "Tim sepuluh….menjadi suatu instrumen untuk membangun, memperluas dan mempertahankan struktur patronase yang sangat terpusat. Pertama, perundangan yang membentuk Tim itu, dan kemudian peraturan-peraturan pelaksanaan dikeluarkan oleh Sudharmono sendiri, telah menyediakan banyak sekali prosedur ………bagi setiap tender atau pemberian kontrak secara langsung….supaya peraturan itu sendiri tidak terlalu mempersempit permainan patronase….peraturan itu ditulis sedemikian rupa sehingga memungkinkan keluwesan maksimum bagi para pembuat keputusan".

Tim ini beroperasi selama delapan tahun, dari tahun 1980-1988, dan telah mengelola dana sebanyak Rp. 52 trilyun. Jumlah ini sangat spektakuler karena jauh lebih besar dari dana pembangunan yang tersedia dari tahun 1980-1988, yakni sebesar Rp. 43 trilyun. Hal ini menunjukkan bahwa Tim sepuluh tidak hanya menggarap seluruh dana pembangunan yang tersedia, tetapi juga menggarap dana yang berada di luar dana pembangunan. Berkaitan dengan pengelolaan dana yang luar biasa ini, tampaknya menarik untuk memperhatikan apa yang dikatakan Schwarz: “….important feature of Soeharto’s rule is his frequent and shrewd use of patronage to buy off critics, particularly from within Abri.”[88]

Penggelembungan dana proyek merupakan pemandangan umum dari kinerja Tim ini. Kedekatan telah menjadi sebuah kriteria penting dalam rangka pengucuran dana, bahkan Tim ini memberikan keleluasaan bagi perusahaan-perusahaan yang dekat dengannya untuk bergerak di seluruh pelosok negara ini. Dengan kata lain, ada perusahaan-perusahaan yang dapat bergerak luas dan ada perusahaan-perusahaan yang hanya dibatasi ditingkat lokal dan sempit. Penentuan seperti ini tentunya sangat berkaitan dengan kedekatan yang ada. Orang-orang yang menjadi sekutu Soeharto pada masa ini seperti kebanjiran uang dari langit. Mereka bergerak leluasa mengembangkan aktivitas bisnis mereka sebagai akibat kedekatan mereka dengan kekuasaan.[89]

Penataan ekonomi seperti ini memberi dampak terhadap proses investasi swasta di Indonesia. Semenjak ‘boom minyak’ bergulir tahun 1974 dan dilanjutkan dengan ‘boom minyak’ kedua, proses investasi swasta di Indonesia mengalami penurunan. Dalam periode ‘boom minyak’, khususnya ‘boom minyak’ kedua, proses investasi lebih banyak dimainkan oleh pemerintah dan orang-orang yang mempunyai kedekatan hubungan dengan pemerintah. Hal ini berkaitan dengan permainan patron-klien yang membuat Indonesia semakin tidak responsif kepada investasi swasta. Kenyataan ini kemudian menimbulkan kritik dari Bank dunia, terutama bekaitan dengan iklim investasi yang tidak sehat, sebuah kritik yang sempat menimbulkan ketegangan antara pemerintah Indonesia dan Bank dunia.[90]

Kelangsungan ORBA, seperti dijelaskan sebelumnya, mengandalkan berputarnya roda ekonomi dan kekuatan patron-klien dimana militer menjadi salah satu pemain penting. Berputarnya roda ekonomi membutuhkan stabilisasi di bidang politik. Peristiwa Malari memberikan kontribusi bagi goncangnya ekonomi dan stabilitas politik. Hal yang mungkin lebih menggoncangkan Soeharto ialah adanya keterkaitan antara peristiwa Malari dengan keretakan di tubuh militer. Soeharto memang mengambil langkah untuk membereskan keretakan tersebut, namun semua itu belum menjamin bahwa dirinya berada dalam posisi aman. kenyataan ini tampak pada kritik yang dilontarkan oleh perwira-perwira Seskoad. Kritik tersebut terfokus pada keterlibatan militer dalam menyukseskan Golkar pada pemilu tahun 1977, sebuah kritik yang saat itu terus bergulir. Selain itu Soeharto pun masih harus berhadapan dengan berbagai kritik dari kalangan sipil, kritik yang terfokus pada penyelewengan kekuasaan dan korupsi.[91]

Setelah peristiwa Malari, Soeharto memang telah mengambil langkah-langkah politik untuk meredam berbagai aktivitas yang dapat menggangu stabilitas politik. Dalam konteks seperti ini, menarik diperhatikan bahwa pada era 1980-an Soeharto praktis tidak mendapat perlawanan yang berarti lagi. sebuah era yang berlangsung bersamaan dengan mengalirnya dana dalam jumlah besar dari ‘boom minyak’ kedua. Kenyataan ini tampak pada apa yang diungkapkan oleh Schwarz:[92] "In the early 1980s, the situation had turned around for Soeharto. Bumper harvests of rice in 1979-81 had eased food shortages in rural Java and major rise in oil price in 1979 pumped still more funds into the treasury …. As the 1980s unfolded, the main story on political front was ever-increasing stature of Soeharto and the fading away af potential opposition to him, either from the civilian arena or from within the army".

Peristiwa Malari dan kritikan dari kalangan militer berkaitan dengan gaya kepemimpinan Soeharto tampaknya cukup meresahkan Soeharto. Soeharto, seperti dikatakan tadi, telah mengambil sejumlah langkah untuk membereskan keretakan di tubuh militer setelah terjadi peristiwa Malari. Namun, langkah yang penting diperhatikan dalam kerangka membungkam perlawanan militer terhadap dirinya dilakukan pada awal tahun 1980-an. Pada periode ini, tokoh-tokoh militer yang berseberangan dengannya disingkirkan. Selain itu, Soeharto mengangkat Jenderal Moerdani sebagai panglima ABRI. Di tangan Moerdani inilah Soeharto berhasil melakukan reorganisasi di dalam tubuh ABRI. Hal ini terlihat melalui gebrakan Moerdani untuk melakukan peremajaan korps perwira secara besar-besaran, menghapuskan Kowilhan (Komando Wilayah Pertahanan) dan menempatkan Kodam (Komando Daerah Militer) langsung di bawah Mabes, serta melakukan program depolitisasi terhadap perwira militer. Keberadaan Moerdani yang saat itu menjabat sebagai panglima ABRI, Kopkamtib (Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) dan kepala Bais (Badan Intelejen Strategis) membuat monitoring Soeharto terhadap militer semakin ampuh.[93]

Bangunan bisnis patron-klien yang berpusat di Sekneg dan bangunan stabilitas yang bertumpu pada kekuatan militer akhirnya berhasil dibangun oleh Soeharto bersamaan dengan terjadinya ‘boom minyak’. Dalam kerangka ini, menarik untuk memperhatikan apa yang dikatakan oleh Schwarz:[94] "Under Soeharto, ABRI has been relatively unified as well as the most powerful institution in the land …. Militery officers hold key positions all through the government, from city mayors, ambassadors, and provincial governors, to senior positions in central government ministries, regional bureaucracies, state-owened enterprises, the judiciary, the umbrella labour union, Golkar and in cabinet itself".

Soeharto sepertinya tidak menyia-nyiakan kelimpahan uang dari minyak untuk memperkuat struktur kekuasaannya. Bersamaan dengan itu, ruang gerak bagi aktivitas sipil semakin terkubur di tangan Soeharto.

Pembungkaman terhadap aktivitas sipil setelah terjadi peristiwa Malari ternyata tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 1978, pemerintah melakukan normalisasi kampus yang bertujuan untuk membungkam berbagai aktivitas politik di universitas-universitas. Tahun 1980, pemerintah mengambil tindakan tegas terhadap orang-orang yang terlibat dalam petisi 50.[95] Di sini pemerintah melakukan pemeriksaan terhadap mereka, pencekalan ke luar negeri, dan bisnis mereka dipersulit. Selain itu, tahun 1984 pemerintah mengharuskan penggunaan Pancasila sebagai asas tunggal bagi setiap organisasi. Sebuah langkah yang membuat pemerintah semakin memperoleh pembenaran untuk melakukan intervensi. Dalam kaca mata Mahfud M.D, perkembangan ini merupakan puncak dari penggalangan yang telah dilakukan dilakukan ORBA sejak tahun 1966/1967 yang bertujuan menciptakan stabilitas nasional untuk menopang pembangunan.[96] Dalam konteks seperti ini, menarik memperhatikan apa yang dikatakan oleh Schwarz:[97] "Ideology has played a key role in the Soeharto era. While not openly saying so, the New Order’s main architects hold to a view of society very similar to that held by the ‘integralists’ of the 1940s and 1950s………Pancasila, has been appropriated by the New Order to reflect this view of state and society. And by obliging all social groups to swear allegiance to Pancasila, Soeharto has tried to make all Indonesians endorse the same way".

Tim sepuluh yang dibangun pada akhir tahun 1970-an dan semakin kuat pada awal tahun 1980-an memang baru dibubarkan pada tahun 1988, namun sebenarnya kejatuhan harga minyak sudah mulai terjadi pada tahun 1982. Turunnya harga minyak saat itu cenderung berlangsung berlahan-lahan. Ini menjelaskan mengapa Tim sepuluh belum mendapat tekanan yang hebat. Keadaan berubah pada saat harga minyak terjun bebas pada tahun 1986. Hal ini membuat tekanan terhadap Tim sepuluh semakin kencang, baik dari kalangan investor maupun dari para ekonom. Kenyataan ini membuat pemerintah tentunya harus membuka pintu terhadap alokasi berdasarkan pasar untuk menarik arus investasi. Kenyataan seperti ini membuat pemerintah harus melakukan deregulasi,[98] sebuah proses yang sudah dimulai sejak tahun 1983. Dalam konteks ini, serangkaian reformasi perundang-undangan untuk menggerakkan investasi sektor swasta dilakukan oleh pemerintah.[99] Soeharto tentunya mau tidak mau harus mengambil langkah tersebut mengingat berputarnya proses ekonomi merupakan salah satu hal penting yang berperan dalam menopang kekuasaannya.

Kebijakan pintu terbuka merupakan langkah yang diambil dalam rangka mengembalikan ekonomi Indonesia, sebuah langkah yang kemudian membuahkan hasil dengan bergeraknya proses investas swasta. Peningkatan ini sudah mulai terasa pada tahun 1987 dan semakin pesat lagi pada tahun 1990-1995.[100] Apabila Tim sepuluh telah dibubarkan pada tahun 1988 dan kebijakan pintu terbuka sudah mulai diupayakan sejak tahun 1983, apakah dengan demikian bangunan patron-klien telah rontok sama sekali ? Winters memandang bahwa deregulasi adalah satu sisi, sementara praktek adalah sisi lain. Kelompok pribumi yang dibesarkan melalui fasilitas pemerintah memang tidak menentang deregulasi, namun di dalam praktek permainan gaya patron-klien tetap berlangsung. Praktek manipulasi pajak merupakan salah satu contoh dari gaya permainan tersebut.[101] Dalam konteks ini Schwarz mengatakan:[102] "A political commitment is also required to enforce accounting rules and apply tax code fairly and objectively, a commitment which does not appear to dovetail with Soeharto’s political philosophy. Indeed, protection from tax office is one form of patronage that Soeharto uses to secure the loyality of influential members of the Indonesian elite".

Dana yang melimpah dari minyak mengalir ke kantong pemerintah telah berperan dalam memperkuat konstruksi kekuasaan Soeharto. Jatuhnya harga minyak berhasil ditopang dengan pemasukan non-migas melalui bergeraknya investasi di Indonesia. Serangkaian upaya deregulasi dijalankan oleh pemerintah, namun hal ini tidak menandakan bahwa Soeharto bergerak meninggalkan kebiasaan lamanya. Soeharto, seperti dikatakan sebelumnya, senantiasa memainkan sikap medua dalam pemerintahannya, terutama pada saat terjadi persoalan ekonomi yang serius. Goncangan ekonomi yang berkaitan dengan jatuhnya harga minyak membuat para ekonom menemukan posisi mereka lagi, namun bersamaan dengan itu sikap mendua Soeharto tetap berjalan. Soeharto sepertinya mahir memainkan kekuatan patron-klien di satu sisi dan proses ekonomi yang berorientasi pasar di sisi lain. Kecenderungan ini mungkin seperti kombinasi antara proses ekonomi yang bernuansa feodal dengan proses ekonomi yang bernuansa kapitalis.

Proses deregulasi yang dijalankan pemerintah telah berhasil menopang perekonomian Indonesia yang mengalami goncangan sehubungan anjloknya harga minyak. Hal ini terlihat pada pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1981-1988, sebagai akibat anjloknya harga minyak dan intervensi serta sejumlah regulasi pemerintah tahun 1970-an dan awal 1980-an, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot dari 7% persen menjadi 4,3%. Kondisi ini kemudian berubah pada tahu 1989-1993 dimana pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7% lagi. Angka ini bahkan dapat ditingkatkan pada tahun 1996 dimana pertumbuhan ekonomi mencapai 8%. Pertumbuhan seperti ini menunjukkan bahwa proses produksi non-migas melalui investasi bergerak dengan baik dan berhasil menopang turunnya pendapatan dari sektor migas. Sektor non-migas bahkan berhasil menggeser sektor migas dalam kontribusi terhadap penerimaan negara.[103] Schwarz mengungkapkan keberhasilan ini sebagai berikut: “The mid-1980s collapse of oil price slowed Indonesia’s economy for a time but a comprehensive program to wean the nation off its dependence on oil revenues had put the economy back on track by the end of decade.”[104]

Kenyataan seperti ini ternyata tidak berjalan tanpa korban. Bergeraknya sektor produksi non-migas telah menghasilkan penderitaan di kalangan buruh, hal ini mengingat harga buruh yang murah menjadi salah satu senjata untuk menggerakkan produksi non-migas. Harga buruh yang murah dan ditambah dengan pelaksanaan yang fleksibel membuat hidup kalangan buruh semakin menderita. Upah minimum yang ditetapkan sudah sangat rendah masih diikuti dengan kelakuan pengusaha untuk membayar upah dibawah ketentuan tersebut. Ini belum lagi ditambah dengan ketiadaan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Kondisi buruh yang sudah begini masih ditambah lagi dengan kontrol ketat dari pemerintah terhadap kalangan buruh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila posisi puncak di SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) umumnya di pegang oleh para purnawirawan ABRI.[105] Dalam konteks seperti ini, kalangan buruh tampaknya dapat dikatakan sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Hal ini mengingat kontribusi mereka dalam menopang goncangannya perekonomian Indonesia berkaitan dengan jatuhnya harga minyak pada pertengahan 1980-an.

2.4. Orde Baru dan Kelanggengan kekuasaan

Pada akhir 1980-an dan era 1990-an, Soeharto dengan ORBA-nya dapat dikatakan telah memiliki bangunan kekuasaan yang sudah sangat kuat. Aktivitas pemerintahan dari pusat sampai kabupaten maupun berbagai aktivitas sipil praktis berada di dalam gengamannya. Namun, kenyataan seperti ini tidak berarti bahwa pada akhir 1980-an dan 1990-an Soeharto dengan ORBA-nya dapat berjalan tanpa gangguan sama sekali.

Stabilitas merupakan hal yang penting dalam masa ORBA, sebuah penekanan yang menempatkan militer sebagai pilar yang penting. Oleh karena itu, sebagai mana dijelaskan sebelumnya, militer merupakan pilar yang penting untuk menopang kelangsungan ORBA. Apabila kita membayangkan gangguan yang terjadi pada akhir 1980-an dan 1990-an, maka militer merupakan hal penting yang harus kita perhatikan.

Keberadaan Moerdani telah memperkuat gengaman Soeharto atas militer. Namun, Soeharto pada akhirnya harus menyingkirkan Moerdani pada tahun 1988. Ketegangan antara Soeharto dan Moerdani sudah bertiup kencang sejak tahun 1987, setahun setelah harga minyak jatuh secara drastis. Ketegangan ini mencerminkan adanya ketegangan antara Soeharto dengan kekuatan kelompok yang ada di dalam tubuh ABRI. Schwarz mengaitkan ketegangan ini dengan tiga hal, yakni: Pertama, ABRI merasa kepentingan ekonominya terganggu oleh jaringan bisnis yang dimainkan oleh keluarga Soeharto. Kedua, bangunan politik yang ditopang oleh militer telah membuat Soeharto semakin di atas angin. Hal ini kemudian membuat Soeharto tidak memberikan perhatian ektra terhadap nasehat dan saran dari militer. Kasus terpilihnya Sudharmono sebagai wakil Presiden merupakan contoh dari kecenderungan ini. Ketiga, terdapat keraguan Soeharto berkaitan dengan loyalitas ABRI terhadap dirinya. Keraguan ini kemudian diterjemahkan dengan melakukan reorganisasi dan menempatkan orang-orang yang loyal di dalam tubuh ABRI.[106] Berkaitan dengan penyingkiran ini, menarik untuk memperhatikan apa yang dikatakan Said:[107] "ABRI dibawah Soeharto senantiasa dipimpin terutama oleh para perwira Jawa dengan latar belakang abangan (muslim sinkretis) atau para perwira dari kelompok minoritas …. Fenomena …. pemimpin militer dari kalangan Islam yang taat dan pembentukan ICMI …. telah menimbulkan kehebohan dikalangan …. Angkatan Bersenjata".

Soeharto tampaknya melakukan reorganisasi di tubuh ABRI bersamaan dengan upayanya merangkul kekuatan Islam. Sebuah gebrakan yang membuat banyak sekali muncul perdebatan mengenai hubungan antara Soeharto dan ABRI. Dalam konteks ini, Said memandang bahwa perkembangan tersebut masih tetap menunjukkan dominasi Soeharto atas ABRI. Dia tidak memungkiri adanya ketegangan, namun baginya Soeharto berhasil mengatasi persoalan tersebut. Schwarz juga melihat adanya keretakan ini, khususnya berkaitan dengan kekuatan tertentu di dalam ABRI, yang menurutnya sudah mulai terjadi pada awal 1980-an. Soeharto berhasil mengatasi persoalan ini melalui reorganisasi yang dilakukannya. Sebuah reorganisasi yang menghasilkan munculnya perwira-perwira muda yang tidak pernah mengalami revolusi kemerdekaan, kurang berpengalaman, memiliki perbedaan usia yang besar dengan Soeharto dan memiliki hubungan dekat dengan Soeharto (khususnya untuk jabatan strategis).[108]

Gebrakan yang dilakukan Soeharto membuat ABRI semakin terdepolitisasi. Kelompok-kelompok yang kritis di dalam ABRI semakin terhempas keluar dari institusi tersebut. Said dalam analisanya terhadap perkembangan hubungan Soeharto dan ABRI menolak analisa Gus Dur yang memandang bahwa Soeharto sedang kehilangan dukungan dari militer dan menggunakan Islam untuk menandingi militer. Analisa ini sangat logis mengingat Soeharto memang menunjukkan keperkasaannya dengan melakukan reorganisasi di tubuh ABRI.[109] Gebrakan Soeharto tentunya untuk meredam daya kritis militer terhadap dirinya. Namun, di sisi lain soeharto juga mau tidak mau harus memperhatikan pergerakan Islam yang dimarginalisasikan sejak awal kekuasaannya. Hal ini paling tidak penting dalam kerangka kekuasaan itu sendiri. Afan Gaffar, dalam mencermati hal ini, mengatakan bahwa:[110] "….dari kaca mata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan yang pada akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit. Oleh karena itu sudah sewajarnya diakomodasi, sehingga kemungkinan konflik dapat diredam lebih dini".

Gebrakan yang dilakukan Soeharto tampaknya dapat dikatakan sebagai upaya untuk meredam berbagai potensi kritis yang dapat membahayakan posisinya. Perbedaan yang ada sepertinya lebih pada cara yang dipergunakan soeharto untuk meredam potensi konflik tersebut. Pendirian ICMI yang didukung Soeharto dan menimbulkan kehebohan di kalangan Angkatan Darat, sebagaimana yang diungkapkan oleh Said, tampaknya harus dilihat dalam kerangka meredam potensi konflik tadi. Schwarz memandang bahwa kelompok birokrat yang berada di dalam ICMI merupakan kelompok dominan mengingat mereka merupakan kepanjangan tangan pemerintah. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila anggota ICMI yang duduk di kabinet pada tahun 1993 semuanya berasal dari kalangan birokrat.[111]

Dalam pergeseran yang terjadi pada ahir 1980-an dan pada tahun 1990-an, kelompok Islam yang pada awal ORBA terpinggirkan seperti mendapat kebanjiran hadiah. Ruang bagi aspirasi kelompok Islam semakin besar diberikan oleh Soeharto.[112] Gebrakan yang dilakukan oleh Soeharto ini tampaknya akan cocok apabila ditempatkan di dalam konteks stabilitas nasional, dalam rangka menopang pembangunan ekonomi, yang dipayungi oleh pemerintahan yang kuat. Kita menyadari bersama bahwa pada akhir 1980-an dan 1990-an, pemerintah mengurangi ketergantungan dari minyak dan mencari penggantinya pada proses produksi non-migas melalui investasi swasta. Peralihan seperti ini logikanya akan semakin membutuhkan kepastian yang besar terhadap stabilitas politik. Para pemodal swasta tentunya akan dengan gampang mengalihkan modal mereka ke negara lain apabila tidak ada kepastian stabilitas.

Proses produksi non-migas yang bergerak dengan cepat dan berhasil menopang goncangnya perekonomian Indonesia tampaknya dapat menjadi suatu indikator akan keberhasilan Soeharto menciptakan stabilitas. Perekonomian Indonesia pada tahun 1998 bahkan, sebelum krisis terjadi, diprediksi oleh lembaga-lebaga internasional dapat bergerak sampai sekitar 7%. Dalam mengamati pergerakan perekonomian Indonesia, Tulus Tambunan mengatakan:[113] "….besarnya laju pertumbuhan ekonomi Indonesia selama itu, tidak diduga bahwa negara tersebut akan mengalami suatu krisis ekonomi yang besar….satu hal yang dilupakan oleh banyak kalangan….yakni apakah laju pertumbuhan yang tinggi itu didapat dengan kekuatan sendiri….atau apakah perkembangan ekonomi Indonesia selama itu sehat?"

Soeharto memang dapat memelihara stabilitas sehingga dapat menopang berputarnya roda ekonomi, namun beliau tampaknya membuat banyak lubang yang suatu ketika dapat berkembang menjadi besar. Salah satu persoalan yang menyertai pemerintahan Soeharto adalah besarnya ketergantungan akan utang luar negeri. Hancurnya harga minyak, khususnya saat harga minyak terjun bebas tahun 1986, mengakibatkan jumlah pinjaman luar negeri setiap tahunnya menanjak. Harga minyak, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sudah mulai menurun pada tahun 1982. Kenyataan ini membuat jumlah pinjaman pemerintah setiap tahun naik tiga kali lipat. Pada tahun 1972-1981, rata-rata pinjaman setiap tahunnya berjumlah US$ 1,6 miliar. Namun pada tahun 1982-1990, rata-rata pinjaman setiap tahun menjadi US$ 5 miliar. Tahun 1981 total utang pemerintah berjumlah US$ 15,9 miliar, namun pada tahun 1991 utang tersebut sudah membengkak menjadi US$ 48 miliar. Angka ini apabila dijumlahkan dengan utang swasta maka jumlahnya menjadi US$ 78 miliar pada tahun 1991.[114]

Jumlah yang besar ini ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Besarnya jumlah utang yang terus meningkat setiap tahun mengakibatkan pada awal tahun 1998 total utang pemerintah (US$ 67,773 miliar) dan swasta (US$ 68,315 miliar) telah mencapai US$ 138,088 miliar, sebuah jumlah yang akan terus meningkat. Dalam kerangka APBN, utang yang semakin besar ini mengakibatkan sebagian besar APBN tersedot untuk membayar cicilan bunga utang dan utang pokok. Hal ini mengakibatkan dana bagi pembangunan pun semakin kecil, bahkan minus. Sejak akhir tahun 1980-an dan tahun 1990-an, sebagian besar APBN tersedot untuk membayar bunga utang dan utang pokok. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila sejak akhir 1980-an, dana pembangunan praktis bersumber dari utang luar negeri. Gawatnya, ketergantungan akan utang jangka pendek memperlihatkan peningkatan. Ketergantungan ini dapat dilihat dari besarnya utang jangka pendek pada tahun 1997 yang mencapai 59% dari keseluruhan utang.[115]

Reformasi perbankan yang diupayakan pemerintah pada pertengahan 1980-an mengakibatkan keleluasaan bagi Bank-Bank dalam negeri untuk memobilisasi dana mereka sendiri yang berakibat naiknya bungan pinjaman dan pinjaman luar negeri dari Bank-Bank tersebut. Dana yang terkumpul kemudia digunakan untuk investasi jangka menengah dan panjang sehingga menimbulkan kesulitan likuiditas. Sektor-sektor produksi swasta (non-Bank) pun diberikan kelonggaran untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar bagi utang luar negeri swasta. Utang-utang luar negeri swasta yang mengalir dengan deras sayangnya tidak digunakan sepenuhnya untuk memperbesar kapasitas ekspor, hanya sebagian kecil saja yang digunakan untuk mendongkrak ekspor.[116]

Upaya pemerintah untuk menggerakkan sektor produksi non-migas, seperti digambarkan sebelumnya, berhasil menopang goncangan ekonomi yang terkait dengan jatuhnya harga minyak. Namun, sektor non-migas yang digarap Indonesia dalam kerangka ekspor cenderung merupakan ekspor yang rendah teknologi sehingga kontribusi nilai tambahnya tidak maksimal. Selain itu, sektor non-migas bergerak dalam ketergantungan akan impor.[117] Dalam pengamatan terhadap kecenderungan ini, Tambunan mangatakan bahwa:[118] "Masih lemahnya Indonesia dalam mengembangkan ekspor bernilai tambah tinggi, sementara masih sangat tergantung pada impor produk-produk bernilai tambah tinggi dapat dianggap sebagai penyebab utama kurangnya cadangan devisa (khususnya dalam dollar AS) yang dimiliki Indonesia….sehingga rupiah melemah terus sehingga akhirnya tidak hanya menyebabkan tetapi juga memperparah krisis ekonomi".

Kenyataan seperti ini apabila ditambah dengan spekulasi dalam penggunaan utang luar negeri oleh swasta tentunya dapat dikatakan bahwa sektor produksi non-migas memang bergerak, namun tingkat efisiensinya tidak berjalan maksimal.

Perputaran roda ekonomi yang dijalankan oleh Soeharto tampaknya terlalu memberikan penekanan besar terhadap stabilitas yang bersumber dari pemerintahan yang kuat. Dalam kerangka ini Soeharto sepertinya mengkombinasi orientasi ekonomi yang mengandalkan kekuatan pasar dan orientasi ekonomi yang bertumpu pada bangunan patron-klien sekaligus. Persoalan efisiensi dan produktivitas dalam perputaran roda ekonomi sepertinya berjalan tersendat-sendat. Oleh karena itu sekalipun Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi yang baik, namun di balik pertumbuhan tersebut tersimpan persoalan yang berkaitan dengan efisiensi dan produktivitas. Dalam mengamati perkembangan seperti ini, Schwarz mengatakan:[119] "But behind the macroeconomic succes lay a number of worrisome trend. Protectionist measures remained widespride….The high costs resulting from corruption and market-distorting measures began to effect the competitiveness of some key non-oil exports….A sizeable portion of the new foreign investment went into unprofitable areasa such as real estate, or into projects that depended on continued import protection. Private sector debt more than tripled from US$ 23 billion in 1992 to almost US$ 80 billion in 1997, most of it unhedged".

Krisis ekonomi yang memukul Indonesia dan disertai dengan meningkatnya suhu sosio-politik di Indonesia paling tidak menunjukkan bahwa roda ekonomi yang digulirkan oleh Soeharto telah berubah menjadi belenggu. Belenggu ini kemudian berbuntut dengan tergusurnya Soeharto dari kursi kekuasaannya dan goncangan sosial yang besar.

2.5. Orde Baru dan Bangunan Agama
Tampilnya Soeharto sebagai pucuk pimpinan negara, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, memunculkan penekanan yang besar terhadap stabilitas yang dicapai dengan memperkuat pemerintah pusat. Stabilitas ini terkait dengan upaya ORBA untuk menggerakkan proses ekonomi, sebuah proses yang penting apabila Soeharto tidak mau mengulangi kesalahan Soekarno yang berkaitan dengan kerusakan proses ekonomi. Perputaran roda ekonomi paling tidak merupakan hal yang harus diperhatikan Soeharto apabila dia tidak ingin bernasib sama seperti Soekarno. Dalam perjalanannya, proses penguatan pemerintah pusat diterjemahkan secara bertahap hingga mencapai kontrol pemerintah atas seluruh sektor kehidupan manusia.

Sektor agama dalah salah satu sektor yang ikut digarap pemerintah. DEPAG (Departemen agama) tampaknya menjadi motor pemerintah dalam menggarap agama di Indonesia. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila pada awal ORBA salah satu tugas dari DEPAG yang digasriskan oleh Menteri agama adalah ikut menciptakan suasana ketenteraman sehingga dapat tercapai konsolidasi sosial-politik dan sosial-ekonomi. Keberadaan DEPAG sebagai perpanjangan tangan pemerintah bahkan sangat jelas terlihat di dalam KEPPRES No. 45 yang dikeluarkan tahun 1974. KEPPRES tersebut menyatakan bahwa tugas DEPAG adalah menjalankan tugas pemerintah di bidang agama.[120]

DEPAG dapat dikatakan sebagai sebuah departemen yang usianya sudah cukup tua, hal ini mengingat departemen tersebut sudah berdiri sejak tahun 1946. Gagasan pendirian departemen ini sudah diperjuangkan oleh beberapa tokoh Islam sebelum tahun 1946 berkaitan dengan negara yang akan dibangun kelak. Departemen ini akhirnya berdiri dan tampaknya merupakan kompromi yang diambil berkaitan dengan perdebatan mengenai negara agama dan negara sekuler. Selain itu, pendirian departemen ini juga berkaitan dengan upaya pemerintah saat itu untuk menghadang pergerakan Darul Islam yang menggunakan Islam untuk melakukan propaganda.[121]

Dalam proses politik yang digarap ORBA, tema pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh stabilitas nasional merupakan tema yang senantiasa bergulir. Tema seperti ini juga ternyata digulirkan oleh DEPAG di dalam perjalanannya. Apabila ORBA dalam rangka stabilitas menempatkan seluruh unsur (sipil maupun militer) dibawah ganggamannya, maka perjalanan DEPAG pun menunjukkan trend serupa. DEPAG dalam perjalanannya cenderung menempatkan seluruh unsur agama di dalam genggamannya. Apabila ORBA menempatkan Pancasila sebagai lebel dalam rangka pembenaran terhadap orientasi kekuasaannya, maka DEPAG pun memperlihatkan hal yang sama. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila dijadikannya Pancasila sebagai asas tunggal dilihat DEPAG sebagai momentum penting dari keberhasilan penataan kehidupan beragama.[122]

Dalam konteks seperti ini, tampaknya menarik melihat perjalanan DEPAG yang mengarah pada penempatan semua unsur agama di dalam cengkramannya. Sebuah kecenderungan yang berjalan seiring dengan upaya pemerintah menopang proses ekonomi dengan stabilitas nasional dalam bingkai Pancasila. Pada tahun 1969, tugas DEPAG diperbaharui melalui keputusan Menteri Agama No. 114. Dalam keputusan tersebut digariskan tugas pokok DEPAG yang memuat pemeliharaan Pancasila melalui pembinaan kepada rakyat, mengikis mental ateis dan komunis serta menyusun perundang-undangan yang berhubungan dengan kehidupan agama. Upaya DEPAG untuk mendirikan proyek pembinaan kerukunan hidup beragama pada tahun 1969 harus ditempatkan di dalam konteks seperti ini. Dalam kerangka ini juga, keputusan bersama antara menteri agama dan menteri dalam negeri tahun 1969 yang berkaitan dengan pendirian rumah ibadah. Keputusan ini paling tidak memberikan ruang bagi DEPAG dan PEMDA, dalam sebuah kerja sama, untuk memonitor aktivitas agama dengan dalil mengamankan ketertiban umum dan pendirian rumah ibadah.[123]

Pada tahun 1971, GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) memberi penekanan akan keidentikan agama dengan falsafah Pancasila dan pentingnya pembangunan agama dalam kerangka pembangunan masyarakat. Hal ini tentunya menjadi salah satu tanggung jawab DEPAG dalam rangka menerjemahkan hal ini ke masyarakat. Ini kemudian terlihat di dalam sasaran tugas DEPAG yang digariskan pada tahun 1975. Sasaran tugas tersebut memberi penekanan pada peningkatan penghayatan keagamaan dalam kerangka kecintaan terhadap bangsa dan negara, pengembangan motivasi masyarakat serta lembaga-lembaga keagamaan untuk mendorong partisipasi di dalam pembangunan nasional. Pembangunan agama harus menunjang pembangunan nasional dan mengatasi permasalahan yang menghambat kemajuan pembangunan.[124]

Langkah yang tampaknya penting diperhatikan pada masa ini ialah semakin diintensifkannya pertemuan antar agama dengan mengefektifkan apa yang dibentuk tahun 1969, yakni proyek pembinaan kerukunan hidup beragama. Bersamaan dengan pengefektifan seperti ini, MUI (Majelis Ulama Indonesia) diresmikan. Di dalam institusi ini, organisasi-organisasi serupa yang sebelumnya sudah ada di tingkat provinsi dan kabupaten ditempatkan di dalamnya. Institusi ini menjadi wadah penghubung antara pemerintah dengan para ulama.[125] Dalam wadah ini, pemerintah tampaknya memiliki keinginan untuk menyatukan para ulama untuk dalam sebuah wadah yang akan membantu menopang pembangunan nasional. Ini paling tidak dapat dilihat pada sambutan Soeharto pada peringatan Isra’ Mi’raj: “Kita….mengharapkan agar Majelis Ulama Indonesia itu akan dapat….meningkatkan ikut sertanya ulama dan ummat Islam Indonesia dalam….melaksanakan pembangunan nasional.”[126]

Hal lain yang tidak dapat dilupakan juga adalah penataan DEPAG itu sendiri, ini tampak pada KEPPRES No.44 dan 45 tahun 1974 yang salah satunya berbunyi:[127] "Departemen Agama termasuk dalam tipe organisasi “Integrated Type”. Dengan demikian di tingkat wilayah, tidak lagi ada inspeksi atau jawatan. Organisasi vertikal di tingkat wilayah hanya dalam satu komando kepala kantor wilayah".

Proses penataan ini berlangsung pada masa dimana berlangsung upaya untuk melakukan konsolidasi kekuatan ORBA dan kontrol ketat terhadap kehidupan politik serta aktivitas sipil. Sebuah proses yang terkait dengan guncangan yang diakibatkan oleh peristiwa malari dan bersamaan dengan melimpahnya dana pembangunan yang berasal dari ‘boom minyak’. DEPAG di sini mengencangkan garis komando organisasinya bersamaan dengan kebijakan pemerintah untuk mengencangkan kontrolnya atas kehidupan politik. Apabila proses politik yang berorientasi represif mulai berlangsung pada periode 1974 ke atas, maka cengkraman DEPAG terhadap agama tampaknya semakin kencang pada periode ini juga. Dalam hal ini, cengkraman yang semakin kuat untuk memasukan agama ke dalam bingkai Pancasila.

Pada pelita III, penekanan akan peran DEPAG masih membunyikan tema yang sama, yakni penempatan agama dalam keterkaitan dengan Pancasila dan pembangunan nasional. Pada masa ini menteri agama dijabat oleh H. Alamsyah Ratuperwiranegara, seorang militer, yang diangkat melalui keppres tahun 1978. Pada masa ini, dibandingkan dengan apa yang terjadi sebelumnya, pada era ini upaya untuk menempatkan seluruh unsur agama dalam menopang pembangunan nasional semakin kental. Penekanan ini dapat dilihat pada tiga prioritas nasional yang ditetapkan oleh menteri agama sebagai tindak lanjut dari tugas yang digariskan oleh Soeharto, yakni:[128]
  1. Menetapkan idiologi dan falsafah Pancasila dalam kehidupan umat beragama.
  2. Memantapkan stabilitas nasional.
  3. Meningkatkan partisipasi umat beragama dalam mensukseskan pembangunan nasional di segala bidang yang berkesinambungan sehingga terjamin persatuan dan kesatuan bangsa dalam negara republik Indonesia yang utuh berdasarkan pancasilan dan UUD1945.
Penetapan ini diikuti dengan upaya menteri agama menarik seluruh umat beragama untuk masuk dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945. Hal ini ditempuh dengan cara pembudayaan Pancasila dan pemasyarakatan P4 sesuai ketetapa MPR No. II/MPR/1978.[129] Dalam kerangka orientasi seperti ini, tampaknya menarik untuk memperhatikan sambutan Soeharto pada pembukaan muktamar I Majelis Dakwah Islamiyah:[130] "Pada saat ini kita sedang terlibat dalam …. pemasyarakatan dan pembudayaan pedoman penghayatan dan pengamalan Pancasila …. saya rasa usaha memasyarakatkan dan membudayakan nilai-nilai agama dapat sekaligus dikaitkan dengan usaha memasyarakatkan dan membudayakan nilai-nilai Pancasila".

Sebuah gerak yang sejalan antara Presiden dan Menteri agama sebagai pembantunya untuk menyerap agama ke dalam bingkai Pancasila. Di sini nilai-nilai agama diusahakan harus sejalan dengan nilai-nilai Pancasila. Konsekwensi dari hal ini ialah apabila Pancasila dijadikan ideologi pembangunan yang berorientasi kekuasaan, menentang kekuasaan berarti menentang Pancasila, maka bisa dipastikan bahwa demikian halnya juga yang berlaku pada nilai-nilai agama. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila salah satu hal yang diupayakan Menteri agama adalah mewujudkan keharmonisan antara agama dan pemerintah.[131] Agama dan pemerintah sepertinya harus berada dalam kondisi sejiwa.

Dalam kerangka orientasi yang dikembangkan dalam Pelita III, pemerintah melalui Departemen Agama menghimpun berbagai tokoh dan pemuka agama di dalam apa yang disebut ‘Wadah Musyawarah Antar Umat Beragama’ melalui keputusan Menteri agama No. 35 tahun 1980. Sebuah wadah yang sangat terkait dengan upaya DEPAG mewujudkan keharmonisan di atas (keharmonisan antara umat beragama dan pemerintah). Di sini menarik untuk memperhatikan salah satu point yang digariskan di dalam keputusan tersebut:[132] "Wadah atau forum bagi pemimpin-pemimpin/pemuka-pemuka agama untuk membicarakan kerjasama dengan pemerintah, sehubungan dengan pelaksanaan Pedoman penghayatan dan Pengamalam Pancasila (P4) dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan ketentuan lainnya dari pemerintah, khususnya yang menyangkut bidang agama".

Keputusan ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya instruksi Menteri agama No. 3 tahun 1981 mengenai pembinaan kerukunan hidup umat beragama sehubungan dengan terbentuknya wadah tersebut. Di dalam instruksi Menteri ini dimasukan tiga prioritas nasional seperti yang disebutkan di atas.[133] Hal ini tentunya berarti bahwa wadah tersebut harus menempatkan tiga perioritas nasional tersebut di dalam kegiatannya.

Selain upaya seperti ini, tahun 1978 keluar keputusan menteri agama No. 70 dan 78 tentang penyiaran agama dan bantuan luar negeri. Peraturan ini dapat dikatakan semakin mempersempit ruang gerak agama dan memberikan kewenangan kepada aparat DEPAG dan PEMDA untuk melakukan pengawasan terhadap kehidupan beragama. Ketentuan ini kemudian diperkuat lagi dengan SKB (Surat keputusan bersama) Menteri agama dan Menteri dalam negeri No. 1 tahun 1979 tentang penyiaran agama dan bantuan luar negeri.[134]

Sebuah gebrakan yang luar biasa untuk menempatkan agama dalam kontrol pemerintah dan menyelaraskan kebijakan agama dengan kebijakan pemerintah. Keberadaan agama sebagai salah satu penopang stabilitas nasional tampaknya semakin menonjol di sini. Dalam orientasi seperti ini tampaknya menarik memperhatikan apa yang pernah dikatakan oleh Soeharto pada pembukaan Sidang Raya DGI ke IX di Manado:[135] "….jika pemerintah menetapkan peraturan-peraturan mengenai hubungan antar umat beragama beserta lembaga-lembaga agamanya di Indonesia….dan lembaga-lembaga agama yang sama di luar negeri….Tujuannya tidak lain adalah agar hubungan-hubungan itu tetap dalam kerangka kepentingan nasional dan ketahanan nasional kita sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat".

Sebuah orientasi yang memperlihatkan bagaimana agama harus sehati dengan arah kebijakan pemerintah dalam kerangka menopang stabilitas nasional. Gebrakan-gebrakan seperti ini tampaknya menjadi ancang-ancang untuk sebuah gebrakan yang lebih besar lagi, yakni berkaitan dengan penerapan asas tunggal.

Gebrakan yang lebih besar, seperti yang dikatakan di atas, menjadi bagian dari apa yang diupayakan di dalam Pelita IV. Dalam pelita ini, Menteri agama menetapkan bimbingan kehidupan beragama yang tetap memperlihatkan kecenderungan yang sama dengan apa yang terjadi dari awal, yakni penyelarasan agama dengan Pancasila dan pembangunan nasional. Salah satu dari bimbingan tersebut berbunyi:[136] "Memfungsikan lembaga pranata keagamaan secara lebih efektif dan kreatif dengan menyerasikan dengan program-program pembangunan nasional".

Puncak dari penyelarasan ini dapat dikatakan tertuang di dalam kewajiban menggunakan asas tunggal, termasuk di dalam kehidupan beragama. Penggunaan asas ini dipandang oleh Menteri agama saat itu, H. Munawir Sjadzali, merupakan jaminan makin kokohnya kesatuan dan persatuan bangsa dan akan menjamin kelancaran pembangunan sebagai pengamalan Pancasila.[137]

Mahfud M.D, sebagaimana dijelaskan sebelumnya, menempatkan proses politik ORBA yang bertujuan menciptakan stabilitas nasional untuk menopang pembangunan mencapai puncaknya dengan diterapkannya asas tunggal. Apabila kita melihat pergerakan DEPAG, tampaknya penggalangan yang dilakukan mencapai puncak pada penerapan asas tunggal juga. Hal yang tampaknya penting juga diperhatikan adalah penempatan Pancasila dan pembangunan nasional di dalam retorika DEPAG. Soeharto senantiasa menempatkan Pancasila sebagai sesuatu yang identik dengan ORBA. Setiap gerakan yang dipandang berseberangan dengan kebijakan ORBA maka gerakan tersebut akan dianggap sebagai gerakan anti Pancasila. Oleh karena itu, penempatan Pancasila dan pembangunan nasional di dalam berbagai kebijakan DEPAG menunjukkan bahwa DEPAG merupakan sebuah instrumen yang berperan menghadirkan pemerintahan yang kuat.

Hal seperti ini bisa dikatakan merupakan kenyataan yang tidak bisa dihindari pada saat kita melakukan perenungan terhadap kiprah agama-agama di Indonesia. Eka Darmaputera misalnya, dalam perenungan beliau terhadap kiprah gereja-gereja di Indonesia menyoroti runtuhnya kredibilitas gereja di mata rakyat. Sebuah keruntuhan yang terkait dengan terkooptasinya gereja ke dalam bingkai kekuasaan.[138] Dalam perenungan mengenai keruntuhan inilah beliau mengatakan:[139] "Kita harus membebaskan gereja (khususnya PGI) dari keterbelengguannya sebagai sebuah “jawatan”. Kita harus mengembalikannya kepada jati diri misionernya yang asli; sebagai kekuatan moral, sebagai gerakan umat, sebagai komunitas eksemplaris (komunitas percontohan)!".

Perenungan yang dilakukan oleh Eka Darmaputera tampaknya tidak dapat dipandang sebelah mata, kecuali bagi mereka yang sibuk menguras tenaga dan pikirannya untuk menolak kenyataan bahwa gereja sudah terpuruk. Apabila kita mengevaluasi eksistensi gereja-gereja di Indonesia, minimal PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia), maka tampaknya kita akan menemukan PGI di dalam bingkai kekuasaan yang dibangun oleh kekuatan ORBA dan dijalankan dengan baik oleh DEPAG.

Kita bersama-sama sudah melihat bahwa dalam sepakterjang ORBA, stabilitas dan pembangunan nasional merupakan hal yang sangat menonjol. Stabilitas dan pembangunan nasional ini kemudian dibungkus dengan sebuah ideologi pembenaran, yakni: Pancasila. Ketiga hal ini kemudian terangkai bagaikan sebuah lagu di mana setiap orang kemudian diharuskan menyanyikan lagu tersebut.

Sebuah ideologi yang dominan dalam kaca mata Marx, sebagaimana telah penulis jelaskan sebelumnya, akan selalu mencerminkan kepentingan kelas yang berkuasa. Kelas yang berkuasa itu sendiri dikaitkan Marx dengan mereka yang menguasai proses produksi. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa sebuah ideologi akan bertindih tepat dengan sebuah proses ekonomi yang didominasi oleh kelas tertentu.

Dalam kerangka ORBA, proses ekonomi berorientasi untuk membangun sebuah jaringan patron-klien yang memiliki kekuatan yang luar biasa untuk mengeruk alam dan manusia. Sebuah orientasi yang menghasilkan penekanan akan pentingnya pembangunan dan stabilitas nasional yang dijastifikasi dengan Pancasila sebagai ideologi. Apabila mengamati sepak terjang DGI, tampaknya tercermin orientasi seperti ini. Kenyataan seperti ini sudah tampak sejak tahun 1967 pada saat Sidang Raya ke VI diselanggarakan di Makasar. Saat itu pembangunan dilihat sebagai salah satu cara menterjemahkan Injil sebagai berita kesukaan. Hal ini kemudian, setelah Sidang Raya VI, diikuti dengan digelarnya berbagai berbagai konsultasi mengenai pembangunan, termasuk konsultasi tentang teologi dan pendidikan teologi yang melahirkan pemikiran mengenai ‘pergumulan rangkap’. Pergumulan rangkap tampaknya mengekspresikan keinginan dan titik berangkat gereja-gereja untuk memahami dan menterjemahkan Injil dalam proses pembangunan sebagai bagian dari tanggung jawab gereja kepada dunia. [140]

Sidang Raya DGI VI dan konsultasi-konsultasi tersebut kemudian menjadi seperti persiapan menuju Sidang Raya VII di Pematang Siantar. Di sinilah gereja-gereja memikirkan keselamatan masa kini yang tampaknya diartikulasikan ke dalam partisipasi gereja di dalam pembangunan nasional yang dikerjakan oleh pemerintah. Keterkaitan antara Injil dengan pembangunan nasional mulai mendapat perhatian penting. Oleh karena itu tidaklah mengherankan apabila Sidang Raya VII digelar dengan tema “Disuruh ke Dalam Dunia” dan sub-tema “Tugas Kita Dalam Negara Pancasila yang Membangun”.[141]

Gereja-gereja di Indonesia tampaknya tengah berada dalam kebulatan tekat untuk mendukung program pembangunan nasional. Dalam kebulatan inilah, gereja-gereja di Indonesia melalui DGI membentuk ‘Development Center’ yang kemudian namanya dirubah menjadi ‘Darma Cipta’. ‘Darma Cipta’ menjadi semacam unjung tombak bagi perancangan dan mempersiapkan kader-kader yang akan secara langsung terjun ke lapangan dalam rangka mendukung program pembangunan pemerintah sebagai partisipasi gereja-gereja di dalam pembangunan. ‘Darma Cipta’ dibebani dengan delapan tugas penting, dua diantaranya berbunyi demikian:[142]
  • a. Membangun dan ... memperkembangkan …. pandangan gereja-gereja di Indonesia mengenai arti dan tujuan pembangunan, dan juga menyusun pedoman dalam partisipasi gereja dalam pembangunan di Indonesia.
  • d. Menyusun rencana-rencana yang menyeluruh mengenai partisipasi gereja dalam pembangunan, membantu dalam penyusunan proyek-proyek dan program-program dari Gereja-gereja dan badan-badan Kristen lain….
‘Darma Cipta’ menjalankan tanggung jawab gereja dalam pembangunan bersama-sama dengan komisi/departemen PELPEM (Pelayanan dan Pembangunan) dan komisi/departeman DIKKOM (Pendidikan dan Komunikasi). Ketiganya bahu-membahu untuk ambil bagian dalam menyukseskan pembangunan nasional.[143]

Semangat yang luar biasa untuk mendukung pemerintah, selain terlihat di atas, juga bisa dilihat dari seruan yang dikeluarkan Sidang Raya DGI VII. Di sini DGI menganjurkan partisipasi sepenuhnya dari orang Kristen dan gereja-gereja dalam program pembangunan yang sedang dikerjakan oleh negara.[144] Anjuran seperti ini sangat menarik apabila dibandingkan dengan pesan yang diutarakan Soeharto pada pembukaan Sidang Raya VII:[145] "Dalam melaksanakan pembangunan itu setiap anggota masyarakat, setiap golongan, mempunyai kewajiban untuk memberikan andil sebesar-besar kemampuannya ………Saya sungguh merasa gembira, bahwa dalam Sidang Raya ini umat Kristen akan memberikan jawaban yang tepat atas tugasnya dalam negara Pancasila yang sedang membangun".

Istilah ‘jawaban’ yang ada di dalam pesan Soeharto tampaknya bisa disandingkan dengan konsentrasi DGI pada saat dan pasca Sidang Raya VII, baik melalui pesan-pesan yang dikeluarkannya maupun melalui program-program yang digarap DGI.

Pasca Sidang Raya VII, DGI malalui PELPEM dan ‘Darma Cipta’ menterjemahkan dukungannya terhadap program pembangunan nasional yang dicanangka Soeharto. PELPEM misalnya ambil bagian baik mulai dari penerangan dan motivasi KB (Keluarga Berencana) sampai pada ikut dalam menyukseskan program transmigrasi yang digalakan pemerintah, misalnya DGI ikut mentransmigrasikan 500 KK (Kepala Keluarga) eks-gelandangan ke Bengkulu maupun 300 KK ke Lampung. Selain itu, DGI juga ikut menyalurkan program bantuan PL-480 yang berasal dari Amerika.[146] PL-480, sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya, adalah bantuan Amerika dalam bentuk bentuk kredit atas komoditas seperti beras, kapas, suku cadang dan bahan mentah yang diperlukan Indonesia. Bantuan seperti ini digarap oleh Soeharto untuk memperoleh dana imbangan yang dapat digunakan untuk keperluan politik, dalam hal ini untuk memperoleh kesetiaan politik dari sekutu-sekutunya (secara khusus untuk kalangan Jenderal). Apabila bantuan ini dimanipulasi untuk tujuan politik, maka kita dapat memastikan bahwa akan sedikit saja dari bantuan tersebut yang dipergunakan untuk kepentingan rakyat banyak. DGI sepertinya ikut menyalurkan yang sedikit tersebut sehingga seolah-olah akan tampak bahwa pemerintah dan kalangan agama, khususnya DGI, sangat memperhatikan rakyat banyak.

Kecenderungan seperti ini terekspresi juga di dalam sepak terjang ‘Darma Cipta’. Di dalam program-programnya, ‘Darma Cipta’ tampaknya berusaha menghadirkan para unjung tombang pembangunan, motivator pembangunan dan para pekerja lapangan, yang akan berfungsi untuk memperluas arti penting pembangunan dan mendorong masyarakat untuk ambil bagian dalam pembangunan. Hal ini karena DGI melihat kesadaran masyarakat terhadap pembangunan yang sedang digalakan pemerintah sebagai hal yang sangat penting. Sejumlah desa pun dipilih dan digarap oleh para motivator dan tenaga-tenaga lapangan yang telah dipersiapkan oleh DGI. ‘Darma Cipta’ juga ikut melakukan pelatihan terhadap para transmigran dan berbagai kerja sama dengan PELPEM dalam bidang pengembangan masyarakat kota, menangani masalah kependudukan (melalui KB dan transmigrasi) dan juga dalam menangani masalah kesehatan serta kesejahteraan sosial.[147] Program-program seperti ini tampaknya diupayakan DGI dalam rangka berjalan bersama-sama, dalam sebuah keharmonisan, dengan pemerintah untuk menyukseskan rencana pemerintah mengenai pembangunan nasional. Hal ini minimal bisa dilihat dari orientasi yang diutamakan oleh ‘Darma Cipta’:[148] "….memikirkan partisipasi gereja dalam pembangunan maka kita mengadakan dialog dalam rangka pembuatan garis-garis kebijaksanaan….baik yang ada dalam lingkungan pemerintahan maupun di dalam masyarakat….Pola pemikiran dalam proses dialog dengan para pengambil keputusan….berlangsung dalam rangka pendekatan makro dalam partisipasi tersebut".

Kerjasama seperti ini dilakukan dalam rangka menyadarkan masyarakat untuk mendukung program pembangunan pemerintah. Ini bisa dilihat di dalam tujuan yang ingin dicapai DGI malalui ‘Darma Cipta’:[149] "….tujuan kehadiran kita ialah agar masyarakat menjadi warga yang penuh dan aktip dalam pembangunan….Dengan demikian kita berharap bahwa seluruh masyarakat dan warga negara kita menjadi peserta dalam pembangunan nasional….".

Tujuan seperti ini mirip dengan apa yang pernah diutarakan oleh Soeharto pada tahun 1971 mengenai partisipasi dalam pembangunan nasional:[150] "Kita memang sedang melaksanakan pembangunan … Ini berarti, bahwa beban pembangunan tidak hanya dipikul oleh sebagian golongan saja … melainkan oleh seluruh masyarakat tanpa kecuali".

DGI melalui PELPEM dan ‘Darma Cipta’ menterjemahkan berbagai proyek untuk mendukung pembangunan, sebuah titk berangkat yang bisa dikatakan mulai mewarnai kiprah DGI pada era 1970-an. Pemerintah dan DGI seperti berada dalam kondisi sejiwa dalam kerangka pembangunan. Pembangunan yang dijalankan ORBA tersebut diartikulasikan sebagai aktualisasi Pancasila. Pancasila menjadi bingkai ideologi di mana pembangunan nasional dan stabilitas nasional memperoleh justifikasinya. Dalam kerangka stabilitas nasional yang mendukung proses pembangunan, kita bisa mendengar juga suara DGI yang berkaitan dengan stabilitas tersebut:[151] "Memelihara keamanan dan ketentraman tetap merupakan segi penting dalam hidup negara dan bangsa kita. Ini merupakan tanggung-jawab kita semua tanpa kecualinya".

Ini adalah sebuah pesan natal yang dikeluarkan tahun 1974, masa di mana Indonesia mulai memasuki fase yang lebih otoriter sebagai buntut peristiwa malari. Sebuah peristiwa yang diakibatkan ketidakpuasan masyarakat atas orientasi ekonomi ORBA yang mengesampingkan nasib rakyat kecil dan berusaha mengumpulkan kekayaan untuk diri sendiri, baik melalui PERTAMINA maupun melalui para investor yang memiliki kekuatan modal.[152]

Pembangunan nasional, stabilitas dan Pancasila sepertinya menjadi kerangka yang tidak terpisahkan dalam kerjasama antara pemerintah ORBA dengan institusi agama. Kerangka seperti ini juga terekspresi dalam rumusan yang dihasilkan dari konfrensi gereja dan masyarakat III yang diselenggarakan pada tahun 1976, yakni: ‘Pembangunan Nasional Sebagai pengamalan Pancasila’ (PNSPP).[153] Gereja-gereja melalui DGI seperti berusaha untuk ikut ambil bagian dalam sebuah paduan suara yang merangkaikan pembangunan nasional, stabilitas nasional dan Pancasila sebagai sebuah lagu.

Kecenderungan ini terus berlanjut pada era 1980-an dimana gereja-gereja melalui DGI berada dalam kebulatan tekat untuk melanjutkan peran sertanya dalam mendukung pembangunan nasional yang dijalankan oleh ORBA. Dalam Sidang Raya DGI IX tahun 1980 di Menado, DGI menegaskan sikapnya bahwa berpartisipasi dalam pembangunan nasional adalah perwujudan menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah. Di sini DGI bertekat untuk meneruskan proyek-proyek pembangunan sebagai mana yang sudah dijalankan pada era 1970-an. Oleh karena itu, dalam konferensi gereja dan masyarakat IV tahun 1984, gereja-gereja melalui DGI menginginkan supata PNSPP dapat menjiwai GBHN 1988. DGI tampaknya berkeyakinan bahwa apabila pembangunan nasional dihayati dalam kerangka Pancasila maka pembangunan akan terhindar dari kegagalan.[154]

Era 1980-an tampaknya merupakan era yang penting diperhatikan karena proses penggalangan kekuatan yang dilakukan oleh ORBA sejak tahun 1966/1967 mencapai puncaknya pada penerapan asas tunggal. Asas tunggal memberikan dasar pembenaran terhadap berbagai intervensi pemerintah. Pancasila, sebagaimana dijelaskan oleh Schwarz, merupakan ideologi yang digunakan ORBA untuk menempatkan masyarakat dan negara ke dalam bingkai otoriter.[155] Di sinilah penerapan asas tunggal tersebut harus dipahami.

Dalam kerangka asas tunggal ini, gereja-gereja di Indonesia pada Sidang Raya DGI X tahun 1984 mengambil keputusan untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keputusan ini tampaknya diambil sebagai proklamasi peran serta gereja di dalam pembangunan nasional yang sedang dikerjakan oleh pemerintah ORBA. Gereja-gereja merasa perlu berada dalam barisan untuk mempropagandakan Pancasila sebagai asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sejak era 1970-an gereja-gereja melalui DGI secara terus-menerus melihat keterkaitan antara Injil dan pembangunan nasional. Keterkaitan ini terus diterjemahkan pada era 1980-an, khususnya pada Sidang Raya X di mana partisipasi dalam pembangunan bukan hanya sebagai aktualisasi dari Injil tetapi juga merupakan aktualisasi dari Pancasila.[156] Injil sepertinya telah berada dalam keharmonisan dengan Pancasila di mana pembangunan nasional menjadi aktualisasi dari Injil dan Pancasila.

Kenyataan seperti ini dapat dikatakan berdiri tegak lurus dengan apa yang diupayakan oleh ORBA dan DEPAG, yakni menyelaraskan penghayatan dan pengamalan Pancasila dengan nilai-nilai agama dalam kerangka pembangunan nasional. Orientasi seperti ini terus berlanjut pada periode 1989-1994 di mana tugas dan panggilan gereja dirumuskan dengan memperhatikan rencana pemerintah dalam REPELITA V. Penekanan akan pembangunan nasional dalam kerangka Pancasila tetap memainkan peranan penting.[157] Alur seperti ini sejalan dengan apa yang diutarakan oleh Soeharto pada pembukaan Sidang Raya XI tahun 1989:[158] "….kita berketetapan hati untuk….melaksanakan pembangunan itu sebagai pengamalan Pancasila….Karena itu tepat sekali pula penegasan kita bahwa Pancasila adalah satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara".

Derap langkah seperti ini juga tetap tertuang di dalam perumusan tugas panggilan gereja tahun 1994 pada Sidang Raya XII. Apabila rumusan tugas panggilan gereja pada Sidang Raya XI disusun dengan mengacu pada REPELITA V, maka pada Sidang Raya XII rumusan disusun dengan mengacu pada REPELITA VI. Gereja-gereja di sini merasa gembira bahwa pembangunan pada PJP I (Pembangunan Jangka Panjang I) telah membuahkan hasil yang menggembirakan.[159]

Proses yang panjang dalam membangun keharmonisan antara pemerintah DEPAG dan gereja-gereja melalui DGI/PGI. Sebuah proses yang ternyata berjalan di tengah-tengah proses ekonomi yang penuh dengan kebobrokan. Marx senantiasa menempatkan bangunan agama dengan kepentingan mereka yang menguasai proses produksi. Proses ekonomi yang digulirkan oleh Soeharto, telah menempatkan dirinya, keluarganya dan sekutu-sekutunya sebagai pihak yang menguasai proses produksi. Dalam kerangka seperti ini, kepentingan ekonomi merekalah yang akan berperan dalam pembentukan bangunan agama.

Dalam pengamatan Marx, agama memiliki peran dalam meredam kontradiksi-kontradiksi yang berlangsung di dalam masyarakat. Kontradiksi-kontradiksi ini terkait dengan proses produksi yang sedang berlangsung, khususnya antara mereka yang menguasai proses produksi dan mereka yang tidak. Agama sebagai superstruktur akan mencerminkan realitas yang terjadi di dalam proses produksi tersebut, dalam hal ini kepentingan mereka yang menguasai proses produksi.[160] Dalam kerangka seperti ini agama akan berfungsi untuk meredam perlawanan-pelawanan terhadap mereka yang menguasai proses produksi, baik melalui dunia surgawi yang dihadirkannya maupun melalui justifikasi terhadap proses produksi yang sedang berlangsung. Di sini wacana agama menjadi wacana kepentingan ekonomi.

Bertolak dari kerangka teoritis seperti ini maka kita sebenarnya dapat melihat, dengan catatan tidak melakukan pemutlakan supaya tidak menjadi reduksionis, DEPAG dan gereja-gereja melalui DGI/PGI telah memberikan andil dalam menopang proses ekonomi yang dibentuk dalam bingkai patron-klien. Di sinilah perenungan Eka Darmaputera menjadi penting untuk diperhatikan.

---------------------------------------------

[1] Lih. Moh. Mahfud MD., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1993), hlm. 49, 49, 58; Schwarz, Op.Cit., hlm. 7.

[2] Inflasi adalah suatu proses ketidakseimbangan yang dinamis, yaitu tingkat harga-harga yang terus-menerus mengalami kenaikan selama periode tertentu (Lih. Mulia Nasution, Teori Ekonomi Makro, Pendekatan Pada Perekonomian Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 1997), hlm. 232.

[3] Tulus T.H. tambunan, Perekonomian Indonesia, Bebarapa Isu Penting, (Jakarta: Ghlmia Indonesia, 1998), hlm. 16.

[4] KNIP merupakan sebuah komite yang dibentuk sesudah kemerdekaan dengan tujuan membantu presiden dalam proses pemerintahan (Lih. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, terj., (Yogyakarta: UGM Press, 1995), hlm. 319.

[5] Moh. Mahfud MD., Op.Cit., hlm. 46-50.

[6] Bondaya kanumoyoso, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), hlm. xiii; Moh. Mahfud MD., Ibid, hlm.51.

[7] Kanumoyoso, Ibid, hlm. 2-3.

[8] Jalan tengan yang saat itu diupayakan adalah menempatkan proses ekonomi di bawah kontrol negara (Lih. Kanumoyoso, Ibid, hlm. 3).

[9] Istilah perusahaan Ali-Baba digunakan untuk perusahaan yang sebenarnya milik orang Tionghoa namun memakai nama orang Indonesia pribumi untuk mendapat perlakuan khusus tersebut (Lih. Kanumoyoso, Ibid, hlm. 15).

[10] Kanumoyoso, Ibid, hlm. 12-15.

[11] Perusahaan-perusahaan Belanda merupakan mayoritas dalam proses investasi asing di Indonesia (Kanumoyoso, Ibid, hlm. 19).

[12] Kanumoyoso, Ibid, hlm. xiv-xvi & 9,10, 15-18.

[13] Kanumoyoso, Ibid, hlm. 85-89, 96-103; Tambunan, Perekonomian Indonesia, hlm. 17-18.

[14] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia, Studi Sosio-Legal Atas Konstituante 1956-1959, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995), hlm. 290-292, 297-298; Salim Said, Militer Indonesia dan Politik, Dulu Kini dan Sekarang, (Jakarta: Sinar Harapan, 2001), hlm. 12-14; Ricklefs, Op.Cit., hlm. 400-404.

[15] William Liddle, “Pengantar”, dalam: Said, Ibid, hlm. vii.

[16] Lih. Ricklefs, Ibid, hlm. 391-392, 405-407, 409-410, 415-425.

[17] Komunitas dagang Cina merupakan salah satu sumber keuangan PKI. Selain itu, hubungan Jakarta-Cina sendiri telah memberikan kontribusi keuangan bagi kekuatan di Jakarta yang bersebrangan dengan Angkatan Darat, dalam hlm ini PKI dan Angkatan Udara (Ricklefs, Ibid, hlm. 374, 421-422, 426).

[18] Ricklefs, Ibid, hlm. 394-395, 404-405, 416-417, 421, 423.

[19] Hlm ini terjadi sebagai buntut penolakan Indonesia terhadap rencana pembentukan federasi Malaysia yang meliputi wilayah Kalimantan Utara. ketidaksenangan Jakarta karena Malaysia dan Singapura membantu PRRI juga berperan dalam konflik ini (Ricklefs, Ibid, hlm. 398, 412-414).

[20] Buntut dari ketidaksenangan Jakarta atas keberpihakan Amerika terhadap PRRI (Ricklefs, Ibid, hlm. 398).

[21] Langkah yang diambil karena ketidaksenangan Indonesia dengan diterimanya Malaysia menjadi anggota tidak tetap PBB (Ricklefs, Ibid, hlm. 422).

[22] Tulus tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi, (Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1998), hlm. 2-3; bdk. Jeffrey A. Winters, Power in Motion, Modal Berpindah, Modal Berkuasa, terj., (Jakarta: Sinar Harapan, 1999), hlm. 71-72.

[23] Said, Op.Cit., hlm. 14.

[24] Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu, (Jakarta: KPD, 2001), hlm. 21-24; Buyung Nasution, Op.Cit., hlm. 266.

[25] Lih. Staf Cipta Loka Caraka, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jilid I A-E, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1973), hlm. 71; Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, (New South Walles: Allen & Unwin, 1999), hlm. 25-26; Mahfud M.D., Op.Cit., hlm. 60.

[26] Winters, Op.Cit., hlm. 69.

[27] Schwarz, Op.Cit., hlm. 29.

[28] Ricklefs, Op.Cit., hlm. 389, 404.

[29] Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 3; Nasution, Op.Cit., hlm. 22-23.

[30] Angkatan Darat lebih berkuasa dalam proses produksi dari pada pemerintah.

[31] Winters, Op.Cit., hlm. 69.

[32] Lih. Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 3-4.

[33] Teknokrat adalah istilah yang dipakai untuk para ekonom yang berlatar belakang pendidikan barat.

[34] Winters, Op.Cit., hlm. 74-75; Schwarz, Op.Cit., hlm. 30.

[35] Winters, Ibid, hlm. 79-80.

[36] Hlm ini berkaitan dengan kekawatiran para investor terhadap kultur patron-klien yang kuat di Indonesia (Winters, Ibid, hlm. 93.).

[37] Winters, Ibid, 93-100.

[38] Winters, Ibid, hlm. 100-102.

[39] Tambunan, Perekonomian Indonesia, hlm. 37-36, 66; Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 6.

[40] Emil Salim, “Seribu Hari Pertama Orde Baru 1965-1968”, dalam: St. Sularto (Ed.), Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2000), hlm. 26.

[41] Winters, Op.Cit., hlm. 103.

[42] Winters, Op.Cit., hlm. 102-103

[43] Mahfud M.D., Op.Cit., hlm. 70, 76; Tim Cipta Loka Caraka, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila, Jilid 4, (Jakarta: Cipta Loka Caraka, 1984), hlm. 78.

[44] Mahfud M.D., Ibid, hlm. 99.

[45] Schwarz, Op.Cit., hlm. 29-30; Said, Op.Cit., hlm. 57-58.

[46] Said, Ibid, hlm. 15-20, Schwarz, Ibid, hlm. 16, 30.

[47] Said, Ibid, hlm. 4-6, 17-19.

[48] Mahfud M.D., Op.Cit., hlm 79-80.

[49] Ini merupakan kesepakatan pemerintah dengan partai-partai di mana sebagai kompensasinya pemerintah akan menyelenggarakan pemilu dengan menggunakan sistem proposional. Sistem ini sendiri sangat ditentang oleh militer yang saat itu lebih memilih sistem distrik. (Mahfud M.D., Ibid, hlm. 79-81; Said, Op.Cit., hlm. 22-23.).

[50] Mahfud M.D., Ibid, hlm. 86-87; Schwarz, Op.Cit., hlm. 31.

[51] Mahfud M.D., Ibid, hlm 90-91.

[52] Sebagaimana kita ketahui bahwa militer sudah memiliki struktur teritorial yang terdapat dari tingkat pusat sampai tingkat desa.

[53] Mahfud M.D., Op.Cit., hlm. 88-89; Schwarz, Op.Cit., hlm. 31; Ricklefs, Op.Cit., hlm. 420.

[54] Mahfud M.D., Ibid, hlm. 89-92; Schwarz, Ibid, hlm. 32.

[55] Schwarz, Loc.Cit.

[56] Schwarz, Ibid, hlm. 32-33.

[57] Schwarz, Ibid, hlm. 33; Mahfud M.D., Op.Cit., hlm. 62-63.

[58] Schwarz, Ibid, hlm. 35.

[59] PL-480 adalah program bantuan bantuan Amerika kepada Indonesia dalam bentuk kredit atas komoditas seperti beras, kapas, suku cadang dan bahan mentah yang diperlukan Indonesia (Winters, Op.Cit., hlm. 75).

[60] Winters, Ibid, hlm. 102-105.

[61] Winters, Ibid, hlm. 105.

[62] Winters, Ibid, hlm. 102-105, 107-112, 114-115.

[63] Winters, Ibid, hlm. 147.

[64] Schwarz, Op.Cit., hlm. 32.

[65] Bachrawi Sanusi, Minyak Bumi Mengubah Ekonomi Dunia, (Jakarta: Ind-Hill Co., 1985), hlm. 6.

[66] Winters, Ibid, hlm. 139-140.

[67] Winters, Ibid, hlm. 147-148.

[68] Hlm ini berkaitan dengan diabaikannya orang-orang yang bergerak di sektor usaha kecil oleh pemerintah.

[69] Intrik militer ini terkait dengan keretakan yang terjadi antara Jenderal Ali Murtopo dan Jenderal Sumitro, keduanya adalah pembantu terdekat Soeharto. Kedua orang ini bertarung untuk menempatkan diri agar dekat dengan kekuasaan (Said, Op.Cit., hlm. 59.).

[70] Schwarz, Op.Cit., hlm. 33-35; Said, Ibid, hlm. 59-60.

[71] Schwarz, Ibid, hlm. 35.

[72] Winters, Op.Cit., hlm. 161, 163.

[73] Winters, Ibid, hlm. 154-155; CSIS, Indonesia dan Dunia Internasional 1975, (Jakarta: CSIS, 1975), hlm. 207-208; Schwarz, Op.Cit., hlm. 35.

[74] Winters, Ibid, hlm. 156-157.

[75] Winters, Ibid, hlm. 157.

[76] Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 7; Winters, Ibid, hlm. 154-156; CSIS, Indonesia dan Dunia Internasional 1979, (Jakarta: CSIS, 1980), hlm. 301.

[77] Tim Cipta Loka Caraka, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 1, hlm. 284-285; Tambunan, Krisis Ekonomi, Loc.Cit; Winters, Ibid, hlm. 150-151, 166, 167.

[78] Ini dapat dilihat dari keberhasilan para ekonom mengupayakan supaya BKPM (Badan Kordinasi Penanaman Modal) menjadi pelayanan satu pintu. Selain itu, para ekonom juga berhasil mengupayakan sejumlah perangsang dalam rangka investasi, termasuk pengurangan pajak pada tahun 1977. Devaluasi rupiah pada tahun 1978 juga menunjuka pengaruh dari para ekonom dalam proses ekonomi (Winters, Ibid, hlm. 157-158, 164.).

[79] Winters, Ibid, hlm. 165-166

[80] sebuah situasi yang ikut menguras kelimpahan yang terjadi pada masa boom minyak pertama.

[81] Winters, Op.Cit., hlm. 168-169.

[82] Winters, Ibid, hlm. 171.

[83] Winters, Ibid, hlm. 174-178.

[84] Dalam kenyataannya, Tim ini bahkan mengurusi pembebasan tanah untuk proyek, pemberian izin dan pengawasan tender, dan pemberian izin kepada berbagai Tim dan lembaga untuk melakukan studi atas proyek-proyek dan mengusulkan pembelian (Winters, Ibid, 176).

[85] KEPPRES No. 18 memberikan hak bagi Tim sepuluh untuk memaksa pemerintah daerah untuk mengikuti prosedur tender yang sama dengan pusat, sementara KEPPRES No. 20 memberikan wewenang bagi Tim sepuluh untuk membentuk cabangnya di daerah. Cabang ini kemudian dikenal dengan nama ‘Tim Kordinasi Untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan Daerah’(Winters, Ibid, hlm. 177).

[86] Winters, Ibid, hlm. 175.

[87] Winters, Ibid, hlm. 180-181.

[88] Schwarz, Op.Cit., hlm. 40.

[89] Winters, Ibid, hlm. 181-182, 184-185; Schwarz, Ibid, hlm. 55.

[90] Winters, Ibid, hlm. 161-163, 179, 214-215, 217-218, 244-245, 248.

[91] Said, Op.Cit., hlm. 60-61; Schwarz, Op.Cit., hlm. 37-38.

[92] Schwarz, Ibid, hlm. 36-37.

[93] Said, Op.Cit., hlm. 61-64.

[94] Schwarz, Op.Cit., hlm. 282.

[95] Petisi 50 merupakan reaksi terhadap penggunaan militer untuk kepentingan Golkar dan menuntut adanya reformasi politik (Schwarz, Op.Cit., hlm. 36.).

[96] Schwarz, Ibid, hlm. 36-37; Mahfud M.D., Op.Cit., hlm. 96; Tim Cipta Loka Caraka, Ensiklopedi Politik Pembangunan Pancasila Jilid 4, hlm. 134-135.

[97] Schwarz, Ibid, hlm. 41.

[98] Deregulasi adalah upaya untuk membebaskan pasar dari berbagai macam distorsi yang ditimbulkan oleh regulasi.

[99] Winters, Ibid, hlm. 209-210, 224-228.

[100] Winters, Ibid, hlm. 251; Tambunan, Op.Cit., hlm. 121.

[101] Winters, Ibid, hlm. 262.

[102] Schwarz, Op.Cit., hlm. 65.

[103] Schwarz, Op.Cit., hlm. 57; Tambunan, Krisis Ekonomi, Op.Cit., hlm. 52-57.

[104] Schwarz, Op.Cit., hlm. 37.

[105] Tom Etty, “Beberapa Masalah di Bidang Perburuhan”, dalam: INFID (Ed.), Pembangunan Di Indonesia, memandang dari sisi lain, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), hlm. 148-152, 155-157.

[106] Schwarz, Op.Cit., hlm. 282-283, 285.; Said, Op.Cit., hlm. 65-66, 71-72.

[107] Said, Ibid, hlm. 72.

[108] Said, Ibid, hlm. 75, 77-78, 81-82; Schwarz, Op.Cit., hlm. 282-284.

[109] Said, Ibid, hlm. 75, 77-78; Schwarz, Op.Cit., hlm. 284.

[110] Afan Gaffar, “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia”, dalam: M. Imam Aziz (Eds.), Agama, Demokrasi dan Keadilan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hlm. 109; bdk. Schwarz, Ibid, hlm. 174.

[111] Schwarz, Ibid, hlm. 176-177, 183-184.

[112] Lih. Afan Gaffar, “Politik Akomodasi: Islam dan Negara di Indonesia”, dalam: M. Imam Aziz (Eds.), Op.Cit., hlm. 105-109.

[113] Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 55.

[114] Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, dalam: INFID (Ed.), Op.Cit., hlm. 5.

[115] Tambunan, Krisis Ekonomi, Op.Cit., hlm. 98-99, 102-105; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, dalam: INFID (Ed.), Ibid, hlm. 8-11; bdk. Kwik Kian Gie, “Utang, Utang dan Kemplang”, dalam: Priyo Utomo (Eds.), Ekonomi Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 199), hlm. 76-77; Tambunan, Perekonomian Indonesia”, Op.Cit., hlm. 54-55.

[116] Tambunan, Perekonomian Indonesia, Ibid, hlm. 39-40; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, dalam: INFID (Ed.), Ibid, hlm. 11-12.

[117] Tambunan, Krisis Ekonomi, hlm. 63, 66-67, 76.

[118] Tambunan, Ibid, hlm. 67, 68.

[119] Schwarz, Op.Cit., hlm. 311-312.

[120] Tim Penyempurnaan Buku Sejarah Departemen Agama, Amal Bakti Departemen Agama, eksistensi dan derap langkahnya, (Jakarta: Departemen Agama, 1987), hlm. 70; Tim Penulisan Buku Kebijakan Departemen Agama, Kebijakan Departemen Agama Dari Masa ke Masa, dalam kurun setengan abad, (Jakarta: Departemen Agama, 1996), hlm. 7..

[121] Tim Penyempurnaan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 11-12, 14-15; Tim Cipta Loka Caraka, Ensiklopei Politik Pembangunan Pancasila Jilid 1, hlm. 199-200.

[122] Lih. Tim Penulisan Kebijakan Departemen Agama, Op.Cit., hlm. 126-127.

[123] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Op.Cit., hlm. 71-73; Tim Penyusun Kompilasi Paraturan, Kompilasi Peraturan Perundang-Undangan Kerukunan Hidup Beragama, (Jakarta: Departemen Agama, 1997), hlm. 102-105.

[124] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 76-78.

[125] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 81-82

[126] Soeharto, “Sambutan Pada Peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad SAW tanggal 4 Agustus 1975”, dalam: Djohan Effendi, et al., (Eds.), Agama Dalam Pembangunan Nasional, himpunan sambutan Presiden Soeharto, (Jakarta: Pustaka Biru, 1981), hlm. 115.

[127] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Op.Cit., hlm. 77.

[128] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm.83.

[129] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 86.

[130] Soeharto, “Sambutan Presiden Pada Upacara Pembukaan Muktamar I Majelis Dakwah Islamiyah Keluarga besar Golongan Karya Tanggal 13 Agustus 1979”, dalam: Djohan Effendi, et al., (Eds.), Op.Cit., hlm. 52.

[131] Lih. Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Op.Cit., hal. 87

[132] Tim Penyusun Kompilasi Paraturan, Ibid, hlm. 119.

[133] Tim Penyusun Kompilasi Paraturan, Ibid, hlm. 128, 130.

[134] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 86-87; lih. Tim Penyusun Kompilasi Paraturan, Op.Cit., hlm. 109-114.

[135] Soeharto, “Sambutan Presiden Pada Pembukaan Sidang Raya ke IX Dewan Gereja-Gereja (DGI) Pada Tanggal 19 Juli 1980, di Manado Sulaweai Utara”, dalam: Wainata Sairin (Ed.), Tatkala Pesan-Pesan Merambah Zaman, Himpunan naskah pesan di Lingkungan PGI Dilengkapi Berbagai Dokumen Penting, (Jakarta: Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, 2000), hlm. 313-314.

[136] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Op.Cit., hlm. 94.

[137] Tim Penyusunan Buku Sejarah Departemen Agama, Ibid, hlm. 96

[138] Eka Darmaputera, “Mengevaluasi Kehadiran Gereja”, dalam: Victor Silaen (Ed.), Gereja dan Reformasi, Pembaharuan Gereja Menuju Indonesia Baru, (Jakarta: Yakoma-PGI, 1999), hlm. 8-10.

[139] Darmaputera, “Mengevaluasi Kehadiran Gereja”, dalam: Victor Silaen (Ed.), Ibid, hlm. 14.

[140] A. A. Yewangoe, Theologia Crusis di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), hlm. 299-302; BPL-DGI, Dari Siantar ke Salatiga,(Jakarta: DGI, 1976), hlm. 182-183.

[141] Yewangoe, Ibid, hlm. 294-295; F. Ukur & F.L. Cooley, Jerih dan Juang, (Jakarta: Lembaga penelitian dan Studi-DGI, 1979), hlm. 587.

[142] BPL-DGI, Dari Siantar ke Salatiga, Ibid, hlm. 186-187.

[143] Yewangoe, Op.Cit., hlm. 296; Ukur & Cooley, Op.Cit., hlm. 590.

[144] Ukur & Cooley, Ibid, hlm. 589.

[145] Soeharto, “Pesan Presiden Republik Indonesia Disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia,” dalam: Sairin (Ed.), Tatkala Pesan-Pesan Merambah Zaman, Op.Cit., hlm. 194.

[146] Ukur & Cooley, Op.Cit., hlm. 552-553

[147] Ukur & Cooley, Op.Cit., hlm. 557-559.

[148] BPL-DGI, Dari Siantar ke Salatiga, Op.Cit., hlm. 189.

[149] BPL-DGI, Dari Siantar ke Salatiga, Ibid, hlm. 190.

[150] Soeharto, “Agama Mendorong Umatnya untuk Memperbaiki Hidup Melalui Pembangunan”, dalam: Djohan Effendi, et al., (Eds.), Op.Cit., hlm.103-104.

[151] DGI-MAWI, “Pesan Natal Bersama Badan Pekerja Harian Dewan Gereja-Gereja di Indonesia dan majelis Agung Wali Gereja di Indonesia tahun 1974”, dalam: Sairin (Ed.), Tatkala Pesan-Pesan Merambah Zaman, Op.Cit., hlm. 30.

[152] Bdk. Jeffrey A. Winters, Power in Motion, Modal Berpidah, Modal Berkuasa, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm. 152-153.

[153] B.A. Supit, “Memasuki Dekade 90-an: Tantangan Gereja-Gereja untuk Berpartisipasi Dalam Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia”, dalam: J.M. Pattiasina & Wainata Sairin (Eds.), Gerakan Oikumena: Tegar Mekar di Bumi Pancasila, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), hlm. 362

[154] Supit, “Memasuki Dekade 90-an: Tantangan Gereja-Gereja untuk Berpartisipasi Dalam Pembangunan Bangsa dan Negara Indonesia”, dalam: J.M. Pattiasina & Wainata Sairin (Eds.), Ibid, hln. 363-364.

[155] Bdk. Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, (New South Walles: Allen & Unwin, 1999), hlm. 36-37.

[156] Christian de Jonge, Menuju Keesaan Gereja, Sejarah, Dokumen-Dokumen dan Tema-Tema Gerakan Oikumenis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990), hlm. 128-129.

[157] Christian de Jonge, Ibid, hlm. 131.

[158] Soeharto, “ Sambutan Presiden RI Oada Upacara Pembukaan Sidang Raya XI Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia tanggal 23 Oktober 1989 di Surabaya, dalam: Sairin (Ed.), Tatkala Pesan-Pesan Merambah Zaman, Op.Cit., hlm. 334-335.

[159] Wainata Sairin (Ed.), Lima Dokumen Keesaan Gereja, keputusan Sidang Raya XII PGI, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996), hlm. 12-13, 34-35

[160] Lht. Neil J. Smelser, “Introduction”, dalam: Neil J. Smelser (Ed.), Karl Marx, On Society and Social Change, (Chicago: The University of Chicago Press, 1973), hlm. xvi-xvii