Spiritualitas

Beril Huliselan
(Jakarta, 2006)



Idividual and community identities are located in tension between
belonging and difference,historically, culturally, and religiously. 1

Pernyataan ini diuangkapkan oleh Cliver Erricker dan Jane Erricker pada saat mereka mencoba melukiskan tantangan spiritual dalam dunia kontemporer,2 di mana istilah belonging dan diffrence mendapat tempat dalam penelusuran mereka. Setiap individu memiliki kebutuhan untuk menemukan tempatnya di dalam masyarakat (belonging), di mana sense of solidarity, trust, and obligation dibangun. Sebuah kebutuhan yang dipandang menjadi pijakan penting bagi spiritualitas, sebagaimana diungkapkan Cliver dan Jane Erricker: “To speak of belonging is to evoke a sense of the spiritual”.3 Masyarakat yang dibahas oleh Clive dan Jane Erricker adalah masyarakat yang diposisikan secara partikular. Hal ini berarti, apa yang disebut Clive dan Jane Erricker sebagai sense of solidarity, trust, and obligation pada dasarnya terajut dalam partikularitas sosio-kultural tertentu di mana setiap individu mengambil bagian di dalamnya (belonging). Oleh karena itu, apa yang disebut spiritualitas dengan sendirinya terajutan dalam partikularitas sosio-kultural. Hal ini membawa Clive dan Jane Erricker sampai pada pemikiran: “Spirituality does not lie in some nether region of transcendental deliverance but must be grappled with in the politics of this world”.4 Penekanan yang dilakukan oleh Clive dan Jane Erricker tampaknya penting untuk diperhatikan, mengingat semangat pencerahan abad 18 yang berkembang di Eropa menghasilkan diferensiasi terhadap berbagai aspek kehidupan sosio-kultural (ekonomi, politik, ilmu pengetahuan, agama dan sebagainya); dalam konteks ini, agama diposisikan ke dalam private sphere of life. Kecenderungan ini berjalan dalam semangat untuk menemukan spesifikasi dari berbagai aspek tersebut; setiap aspek dipandang memiliki esensinya tersendiri. Semangat seperti ini ikut mempengaruhi penelusuran terhadap agama, karena itu berkembang obsesi intelektual untuk menemukan spesifikasi (esensi) dari agama; agama tidak lebih dari sebuah feature dalam kehidupan sosio-kultural. Dalam pengamatan Jeremy Carrette dan Richard King, kecenderungan ini, terkait dengan persoalan spiritualitas, memiliki kelemahan yang akut:5 “The desire to attribute a universal essence to the meaning of spirituality also ignores the historical and cultural traces and differences in the uses of the term. Searching for an overarching definition of 'spirituality' only ends up missing the specific historical location of each use of the term. There is no view from nowhere - no Archimedian point outside of history - from which one could determine a fixed and universal meaning for the term 'spirituality'”.



Apabila belonging berhubungan dengan sense of solidarity, trust, and obligation –sebagaimana diutarakan di atas – pada sisi lain, difference berhubungan dengan produksi benturan-benturan dengan accepted traditional understandings. Dalam realitas kontemporer, Clive dan Jane Erricker mencontohkan kegelisahan yang berjalan bersamaan dengan melemahnya pengaruh bentuk-bentuk institusional (established institutional forms) yang selama ini menyediakan apa yang disebut sense of place and purpose6 (belonging). Di sini Mereka berdua merujuk pada pemikiran Zygmunt Bauman yang memandang bahwa realitas masa kini cenderung didominasi oleh uncertainties focused on individual identity atau identity-focused uncertainty, sebuah proses yang praktis menggeser ontological uncertainty yang terhubung dengan pergulatan dan permenungan mengenai reliability of persons and things. Bauman menghubungkan ontological uncertainty dengan masyarakat pra-modern, di mana kejutan-kejutan yang memotong harmoni masyarakat cenderung memiliki ruang yang sangat kecil. Kematian, sesuatu yang tidak dapat diprediksi, adalah peristiwa penting yang menghasilkan efek potongan dalam masyarakat pra-modern. Potongan ini mengakibatkan terguncangnya reliability of persons and things (ontological uncertainty). Namun pada masyarakat seperti ini, narasi eskatologis menjadi media yang penting di mana potongan tersebut diceritakan dan dipahami.7 Narasi ini berperan dalam menjaga apa yang disebut Clive dan Jane Erricker sebagai sense of place and purpose (belonging) yang terguncang akibat potongan tersebut.
Identity-focused uncertainty merupakan corak pergulatan yang berlangsung di tengah masyarakat yang disebut Bauman sebagai market-led consumer society/ consumer-oriented society. Dalam masyarakat seperti ini, setiap individu adalah chooser di mana ukuran terakhir adalah individu itu sendiri sebagai konsumer, khususnya bertumpu pada pleasure dan sensation. Agama sebagai established institutional forms yang berperan dalam menopang rhythm of life dan stabilitas sosial, praktis terbongkar.8 Proses hidup dan batasan-batasan yang selama ini ada menjadi ter-de-sentralisasi dalam gerak yang sangat fluktuatif, di mana individu (konsumer) harus membuat pilihan di tengah-tengah dunia yang disebut Bauman sebagai the world of global free trade; sebuah dunia yang diwarnai dengan ledakan populasi, pengangguran, ketimpangan, kemiskinan yang semakin bergerak naik.9 Di sinilah ketidakpastian lahir dan menghantui setiap individu (konsumer), sebagaimana yang Bauman sebagai: 10
....the misery of life composed of risky choice, which always mean taking some changes while forfeiting others; of incurable uncertainty built into every choice; of unbearable....responsibility for the unknown consequences of every choice; of constant fear of foreclosing future and yet unforeseen possibilities; the dread of personal inadequacy....
Dalam konteks seperti ini, pergulatan individu di dalam market-led consumer society sangat terkait upaya untuk menembus ketidakpastian tersebut dan menemukan self-assurance. Pertaruhan seperti ini melahirkan kebutuhan terhadap apa yang disebut Bauman sebagai the teacher of experience, tentunya dalam rangka menggapai self-assurance tersebut. Hal ini sekaligus menandakan semakin tergusurnya peran agama sebagai established institutional forms.11 Oleh karena itu, Bauman untuk merumuskan era ini sebagai: 12
....the era of experts in ‘identity problems’; of personality healers; of marriage guidance;....The uncertainty....begets not the demand for religion – it gestates instead the ever rising demand for identity-experts.
Dengan kata lain, akselerasi dalam market-led consumer society berjalan beriringan dengan meredupnya sense of place and purpose, di mana agama sebagai established institutional forms kehilangan pijakannya di dalam proses sosial. Pada saat yang bersamaan, kebutuhan akan identity-experts menjadi begitu menonjol untuk mengatasi kecemasan yang terajut dalam proses hidup yang sangat fluktuatif.
Dalam konteks seperti ini, menarik menyimak apa yang disinggung Wade Clark Roof mengenai market-oriented “spirituality industry” yang dikaitkan dengan berkembangnya kebutuhan akan personal spiritual well-being; semacam kebutuhan akan the affirmation of life yang berpusat pada indiividu. Market-oriented “spirituality industry” merujuk pada realitas dimana berlangsungnya booming berbagai produk-produk spiritual yang berputar di pasar, seperti: berkembangnya pelatihan-pelatihan motivasi, doa dan meditasi, serta munculnya berbagai macam buku, acara-acara talk show, film, bahkan halaman-halaman di situs internet yang membahas pertumbuhan spiritual.13 Lebih tragis lagi, Carrette dan King bahkan menegaskan telah terjadinya rebranding terhadap spiritualitas; sebuah merek dagang, misalnya bernama X, tidak diposisikan sebagai sebuah produk yang berputar dipasar, sebaliknya merek dagang tersebut diposisikan sebagai way of life. Hal ini tampak dari pernyataan mereka, “.... It can mean anything and be attached to any realm of life. Alongside TVs, hi-fi systems, washing machines, IKEA furniture and designer clothes, you can also have your very own spirituality, with or without crystals!”.14 Analisa carrette dan King sebenarnya merujuk pada fase perkembangan yang lebih lanjut lagi dari proses reshaping terhadap istilah spiritualitas, fase yang disebut sebagai corporate capitalism (hal ini akan disinggung lebih lanjut di bagian bawah). Dalam alur seperti ini, rasanya tidak berlebihan apabia Cliver dan Jane Erricker sampai pada pemikiran, “It is to presume that the spiritual is not bound up in some notion of relationship for which one ultimately takes responsibility”.15
Hal ini praktis menandakan formasi identitas keagamaan yang tidak lagi bertumpu pada sebuah narasi tunggal yang melekat pada traditional religious structures – meminjam istilahnya Roof. Persoalan identitas – meminjam pengamatan Nancy T. Ammerman – adalah sebuah persoalan yang mengalir dalam konteks yang dicirikan dengan fluidity of boundaries. Ini berarti, setiap individu praktis berakselerasi dengan pluralitas narasi yang saling bersilangan satu dengan lainnya, sebagai akibat realitas sosial yang sangat cair. Identitas dengan sendirinya tidak lagi berpijak pada narasi dan konteks yang tunggal. Pada titik ini – dalam upayanya menempatkan identitas keagamaan – Ammerman memandang bahwa narasi-narasi keagamaan pun praktis tidak dapat dibatasi pada tatanan institusional yang tunggal. Narasi-narasi tersebut bertaburan dalam konteks yang bersifat extra-institusional, entah itu ditemukan dalam konteks media masa, kelompok-kelompok studi, retreat, program televisi, musik dan film. Atau juga, narasi-narasi yang disuplai oleh para pengkhotbah Kristen konservatif, produsen pakaian (clothing manufacturers), produsen acara (event producers), penyiar, politisi dan sebagainya. Di sini identitas keagamaan mengambil identifikasi pada produksi barang dan jasa untuk mengekspresikan posisi individu dalam narasi keagamaan tertentu,16 sebagaimana dicontohkan oleh Ammerman, “Whether it is a New Age t-shirt or Conservative Christian coffe mug and props are used to signal religious identities....”. 17
Kenyataan ini tentunya membawa persoalan yang cukup rumit, mengingat gereja-gereja saat ini praktis hidup dalam realitas kontemporer yang sangat cair. Konsekuensinya, gereja sebagai established institutional form tidak dapat menghindarkan diri dari persinggungan dengan berbagai narasi keagamaan yang saling bersilangan satu dengan lainnya. Dalam keyakinan Ammerman, sekalipun institusi keagamaan membentuk dan memelihara (sustain) narasi yang powerful terhadap anggotanya, toh narasi tersebut tidak akan tetap dalam bentuk yang singular dan tidak tersentuh sama sekali. Narasi tersebut – yang terkait dengan tradisi keagamaan tertentu – pada dasarnya tidak statis dan singular, senantiasa dimungkinan terjadinya persilangan-persilangan di dalam alur narasi tersebut; membentuk semacam the melting-pot of religions and spiritualities (meminjam istilah yang digunakan oleh Carrette dan King18). Hal ini mengingat identitas bagi Ammerman merupakan sesuatu yang sifatnya intersectional di tengah-tengah tatanan kontemporer yang sangat cair.19
Dalam konteks spiritualitas, kenyataan ini tampaknya menempatkan gereja sebagai lembaga yang harus terus-menerus merumuskan identitasnya di tengah-tengah potongan berbagai narasi yang mengintrodusir privated religious identities – meminjam istilahnya Ammerman.20 Alhasil, posisi gereja sebagai reservoir tempat di mana setiap aktor memahami dirinya, mengarahkan tindakannya dan menjelaskan tindakan tersebut – seolah-olah kehilangan relevansinya ditengah-tengah masyarakat. Di sini menarik memperhatikan apa yang disinggung oleh Roof:21
....churchgoing becomes less a “habit” or “custom” and more personal “preference” related largely to one’s tastes .... Religion thus lose its traditional Durkhemian role of expressing collective unity in ceremony, symbol and ritual.
Lalu bagaimana membayangkan berfungsinya gereja sebagai sebagai sebuah reservoir di tengah-tengah masyarakat? Hal ini paling tidak bisa dikaitkan dengan apa yang disebut Ammerman dengan the strength of an institution. Ammerman membincangkan hal tersebut sambil menghubungkannya dengan: “....the degree to which its narratives are available in the culture, the extent to which its stories are used to emplot actions across many settings.”22 Dengan kata lain, derajat internalisasi secara kultural dari reservoir tersebut terhadap setiap aktor dalam masyarakat menjadi indikator dari apa yang disebut Ammerman sebagai the strength of an institution.23
*****
Istilah spiritualitas, sebagaimana di singgung di atas, bisa dikatakan telah menjadi kosa kata umum, di mana hampir setiap orang dan institusi dengan bebas menggunakannya; tidak terlalu jelas apa yang mereka maksudkan dengan istilah tersebut. Dalam pengamatan Carrette dan King, spiritualitas merupakan istilah yang cenderung kabur dan ambigu (vagueness and ambiguity). Hal ini mengakibatkan istilah tersebut menyimpan persoalan yang serius; ini tampak dari pernyataan Carrette dan King, “....its vagueness and ambiguity allows it to mask the underlying ideologies that it is used to represent”. 24
Ursula King − professor teologi dari universitas Bristol − memandang bahwa istilah spiritualitas sebenarnya mencakup berbagai macam aliran yang merupakan ekspresi partikular dari berbagai gagasan keagamaan yang terkait dengan pluralitas tradisi keagamaan, sampai pada gerakan-gerakan kontemporer yang berorientasi pada pencarian wholeness and integration di mana isu-isu seperti gender, lingkungan, pembebasan, keadilan menjadi sentral.25 Di satu sisi, pandangan ini dapat memberi gambaran kepada kita bahwa spiritualitas adalah suatu istilah yang cair. Pada sisi lain, pandangan ini bisa dikatakan luput mengamati perkembangan spiritualitas pada masa kini, di mana berlangsung proses rebranding terhadap spiritualitas; setiap orang dapat memperoleh the affirmation of life hanya dengan membeli way of life (produk) yang berputar di pasar.
Istilah spiritualitas yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia, bisa dikatakan praktis sama dengan istilah yang dipergunakan dalam bahasa Latin, yakni spiritualitas; dalam bahasa Inggris dikenal istilah spirituality, sedangkan bahasa Prancis menggunakan istilah spitualité. Istilah ini pada dasarnya berasal dari bahasa Latin spiritualitas, yakni dari kata benda spiritus ‘nafas kehidupan’ (the breath of life); kata spiritus itu sendiri diturunkan dari kata spirare ‘menghembuskan’ (to blow) atau ‘menghirup’ (breathe). Dengan meminjam analisa Walter Principe, Carrette dan King menjelaskan bahwa penggunaan istilah spiritualitas (Latin) sudah digunakan pada abad ke-9 oleh Candidus − seorang biarawan dari biara Benedictus yang dibangun di Fulda (Fulda adalah nama kota di Hessen, Jerman) − dalam rangka menentang corporalitas atau materialitas yang cenderung menekankan material or phsycal exixtence.26 Di Barat, istilah spiritualitas − dengan karakter dualistiknya − dipromosikan dengan gencar pada abad ke-12, salah seorang tokohnya adalah Gilbert dari Poitiers (Gilbert of Poitiers); uskup Poitiers yang melakukan penalaran dualistik terhadap substances or things.27
Abad ke-12 dengan sendirinya − merujuk pada pengamatan Roof − menjadi suatu fase di mana istilah spiritualitas berkembang sebagai kosa kata umum yang digunakan dalam lingkup kekristenan. Saat itu, istilah spiritualitas cenderung dipergunakan untuk merujukan pada realitas subjektif dari iman yang dipertentangkan dengan realitas fisik atau material.28 Pengamatan Roof tampaknya beralasan, hal ini mengingat dalam rentan tahun 950 s/d 1350 bermunculan berbagai gerakan monastik yang menyerukan pembaruan gereja, menolak campur tangan kekuatan politik sekular dalam kehidupan gereja dan biara, serta menekankan pentingnya kembali kepada cita-cita asketis. Seruan ini bergaung ditengah-tengah berlangsungnya pertarungan antara gereja dan negara dalam merebut kekuasaan, termasuk di dalamnya meraup laba sebanyak mungkin. Salah satu tokoh yang penting pada abas ke-12 adalah Bernard dari Clairvaux (1091-1153), dia dipandang sebagai tokoh mistik besar pada abad pertengahan; berasal dari gerakan Cistercian.29 Sekalipun dia mendukung posisi teokrasi gereja Roma30 dan mendorong perang salib II, namun dia juga melakukan kritik terhadap ambisi kekuasaan di dalam gereja, korupsi dan campur tangan penguasa politik sekuler dalam kehidupan gereja, termasuk malakukan pembelaan terhadap para petani yang tertindas. Bernard adalah seorang mistikus yang strict dengan jalan asketis melalui penghayatan kisah sengsara Yesus sebagai sesuatu yang penting dalam menempuh jalan kontemplasi menuju kesatuan dengan Kristus. Semangat ini kemudian dilanjutkan oleh Arnold dari Brescia yang menuntut gereja untuk melepas kekuasaan duniawi dan menempuh jalan kemiskinan.31 Hal lain yang menarik adalah, penekanan yang dilakukan Bernhard terhadap tiga jalan kontemplasi, yakni: (1) Mencium kaki Kristus, yakni jiwa menyesali dosa-dosa dan bertobat; (2) Mencium tangan Kristus, yakni jiwa mencontohi kasih Kristus; (3) Mencium mulut Kristus, yakni jiwa dilimpahi kasih Kristus.32 Tiga jalan ini menarik karena memperlihatkan corak dualistik dari pemikiran Bernhard; apalagi penekanan akan tiga jalan juga dapat ditemui dalam filsafat mistik Neo-platonisme.33
Bertolak dari penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa spiritualitas merupakan istilah yang sangat lazim pada abad ke-12; sebuah istilah cenderung memiliki konotasi dualistik dan merupakan reaksi terhadap kecenderungan gereja yang semakin jauh meninggalkan semangat asketis. Namun karena istilah ini berkembang dalam lintasan jaman yang sangat luas, kita tampaknya membutuhkan semacam bingkai yang bermanfaat untuk menganalisa penggunaan istilah tersebut dalam proses sejarah. Bersamaan dengan itu, kita harus tetap menyadari bahwa kita tidak pernah dapat menemukan fixed category terhadap istilah tersebut. Hal ini mengingat tatanan sosio-kultural adalah sebuah gerak dinamis yang terkait dengan relasi manusia dengan manusia dan manusia dengan alam. Apa yang diutarakan oleh Carrette dan King bisa menjadi peringatan kepada kita:34Culture is a dynamic network of relations that can never be adequately represented by fixed categories such as 'religion', 'politics', 'economics', etc., even though people often use these terms as if they refer to distinct spheres of human life. For analytic purposes such distinctions can be useful in order to separate out aspects of intricate cultural phenomena from the wider cultural network in which they operate. We should not be fooled however into believing that these abstractions somehow directly mirror the complexity of culture itself”.
Dalam konteks seperti ini, kita bisa meminjam tipologi yang dipakai Carrete dan King yang diadopsi dan kemudian dikembangkan oleh mereka dari karya Principe. Di luar ini terdapat kategorisasi yang dibuat oleh Robert Wuthnow dan kemudian diadopsi oleh Roof. Kategorisasi tersebut memunculkan dua bentuk spiritualitas, yakni habitation spirituality dan spirituality of seeking; Wuthnow, sebagaimana dikutip oleh Roof, menguraikannya demikian:35
.... habitation spirituality is suggested in stories of Garden of Edan dan of promised land; it consists of temple religion; and it occurs in the time og kings and of priests. A spirituality of seeking is tabernacel religion, the faith of pilgrims and sojourners; it clings to the Diaspora and to prophets and judges, rather than priests and kings .... The one is symbolized by secure life of monastry, the cloister, the shtetl; the other by peregrination as a spiritual ideal....
kedua kategori tersebut diuraikan juga dengan memberi penekanan pada dua kata, yakni to dwell (habitation spirituality) dan to seek (spirituality of seeking): “To dwell is to inhabit a sacred space, to feel at home and secure in its symbolic universe .... To seek is to explore new spiritual vistas, to search for the secred or for epiphanies that point us in its direction .... Whereas the former is a model of habitation, of groundedness .... the latter implies process, movement, and expansiveness in the world....”36 Kategorisasi Wuthnow cenderung bersifat umum, di mana berbagai bentuk spiritualitas bisa saja masuk ke dalam dua kategori tersebut; dengan kata lain, kategorisasinya masih sangat longgar. Di sini kita bisa saja menggunakan kategori yang dibuat Wuthnow sebagai frame besarnya – mengingat karakternya yang sangat longgar – sementara tipologi yang diajukan oleh Carrette dan King sebagai kategori yang lebih spesifik. Walaupun demikian, tipologi yang diajukan Carrette dan King tampaknya harus sedikit diberi tambahan; terkait dengan beberapa hal pada fase gerakan asketik.
Dengan merujuk dan mengembangkan karya Principe, Carrete dan King menguraikan bagaimana pemaknaan terhadap istilah spiritualitas di dalam sejarah:


  • Pertama, istilah ini memiliki makna the moral sense of life; hal ini ditemukan di dalam the early biblical usage, khususnya terkait dengan istilah Yunani pneuma (roh). Di sini pneuma memiliki arti life in the Spirit of God – maknanya sejajar dengan the moral sense of life – yang dipertantengkan dengan life of the 'flesh' (Yunani: sarx ‘daging’). Istilah pneuma pada fase ini tidak dapat diartikan sebagai dualisme antara tubuh dan jiwa, sebagaimana ditemukan pada para filusuf Yunani dan para penulis Kristen sebelum abad pertengahan (late Antiquity); sebagaimana disinggung oleh Carrete dan King:37 ... but refers ... to a moral order or way of life ... that is the controlling of unrestrained desires”. Carrette dan King tidak menggunakan sebuah istilah untuk membahasakan corak spiritualitas ini. Dalam rangka kebutuhan akan analisa terhadap spiritualitas, kita bisa saja menggunakan istilah the early biblical spirituality; dalam rangka tipologi tentunya.


Kedua, fase di mana istilah spiritualitas mendapat makna dualistik. Ini berlangsung dibawah pengaruh kristen-helenistik, misalnya berbagai gerakan Gnostik Kristen yang melakukan penekanan dualistik terhadap the realm of 'the spiritual' (Yunani: pneumatikos) dan the world of matter (Yunani: hyl̩). Sampai sebelum abad pertengahan (late Antiquity), dibawah pengaruh berbagai aliran pemikiran Neo-Platonis dan Hermetik (ajaran-ajaran Hermes Trismegistus yang berkembang pada abad ke-3), corak dualistik terus bergulir, misalnya yang ditemukan dalam pemikiran Candidus dari Fulda (abad ke-9); bahkan pada permulaan Abad-abad Pertengahan dapat ditemukan juga dalam pemikiran Gilbert dari Poitiers, salah satu tokoh yang mempopulerkan istilah spiritualitas Рdengan corak dualistik Рdi Barat.38 Di sini kita mungkin bisa menggunakan istilah ascetic spirituality, mengingat corak seperti ini menghasilkan gerak asketis sebagai cita-cita ideal.
Ketiga, pada fase ini istilah spiritualitas cenderung terkait dengan ecclesiastical jurisdiction and property yang umumnya berkembang pada abad pertengahan. Pembedaan dilakukan dengan memberi penekanan pada istilah spiritual dan temporal, baik berhubungan dengan orang maupun wewenang (property). Hal ini mendorong munculnya ungkapan yang menekankan pembedaan antara 'Lords spiritual' [wewenang (property) yang dimiliki gereja] dan the 'Lords temporal' [wewenang (property) yang dimiliki raja]; ini dipengaruhi oleh pembedaan yang dilakukan oleh Origenes mengenai makna temporan dan makna abadi dari Alkitab.39 Dalam konteks ini, spiritualitas memiliki makna ecclesiastical; di sini kita bisa menggunakan istilah ecclesiastical spirituality.
Keempat, pada abad pertengahan Ignatius Loyola (1491-1556) mengeluarkan buku yang kemudian lebih dikenal dengan judul The Spiritual Exercises of Ignatius of Loyola; memuat tuntunan bagaimana menjalani kehidupan kontemplatif berdasarkan roh. Karya Loyola ini kemudian menjadi semacam pengantar bagi munculnya pemaknaan spiritualitas pada abad ke-17 di Prancis; bersamaan dengan terbentuknya istilah spiritualité dalam bahasa Prancis yang memiliki makna the devout or contemplative life in general. Pada masa ini muncul gerakan Reformasi yang menempatkan relasi antara manusia dengan Allah sebagai relasi yang tidak dapat dimediasi secara institusional dan penekanannya terhadap the importance of an interior faith; Carrete dan King menilai kemunculan ini sebagai the first steps towards the privatisation of religion. Selain itu, pada abad ke17 juga muncul sebuah sensasi baru yang menekankan interior life of the individual soul, khususnya dipengaruhi oleh Madame Guyon (1648-1717). Guyon sangat menekankan pencapaian interiorised knowledge or experience of the divine. Dalam rangka ini, dia mendorong apa yang disebut practice of orison, yakni mendiamkan seluruh aktivits mental dan meninggalkan (abandonment) diri untuk mengalami sang ilahi di dalam diri.40 Dalam rangka mengamati perkembangan ini, rasanya menarik melihat pandangan Bruneau, sebagaimana dikutip oleh Carrette dan King:41 “Against the dogmatic tyranny of the established churches .... and against the claims of reason in matters of faith, a new religious conscience emerged in Europe at the end of the seventeenth century. This new spirit understood religion in terms of individual conscience and lived experience for all people, rather than for only a few .... the hierarchical Church ceased to be conceived as a structure allowing a communication between Heaven and Earth, and collective adherence came to be replaced by individual conscience. The idea arose that religion could no longer be identified with a particular confession, whether Catholic or Protestant.” Di sini kita bisa menggunakan istilah non-ecclesiastical spirituality untuk mengkategorikan fase ini.
Gerak spiritualitas yang semakin non-institusional ini, seolah membuka jalan bagi fase berikutnya dalam pemaknaan terhadap spiritualitas. Fase ini disebut Carrette dan King sebagai the first privatisasion of spirituaity, di mana terjadi aksentuasi yang sangat kuat terhadap the individual self dalam memaknai istilah spiritualitas. Fase ini mendapat momentum yang kuat pasca Perang Dunia II – khususnya periode 1950 s/d 1980-an – seiring dengan berlangsungnya capitalist reorganisation di Eropa dan Amerika Utara.
Proses ini diawali dengan perkembangan yang muncul pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, yakni munculnya gerakan Romantik; sebuah gerakan yang memberikan reaksi terhadap semangat pencerahan yang menempatkan supremasi rasio. Ekses dari meletusnya revolusi Prancis dan meredupnya pengaruh filsafat Imanuel Kant, makin mempercepat kemunduran dari pencerahan. Ini membuka jalan bagi gerakan Romantik yang memberi penekanan terhadap emosi, individual imagination dan pengalaman-pengalaman yang membangkitkan keterkaguman (awe experience). Semangat ini terlihat jelas pada pernyataan J.J. Rousseau (1712-1778), filusuf Prancis yang memberikan pengaruh kepada semangat Romantik, yakni: “I felt before I thought.” Dalam konteks ini juga, Friedrich Schleiermacher (1768-1834) – dalam karyanya The Christian Faith –memproklamirkan Allah sebagai “a 'feeling of absolute dependence'”.42 Di sini sumber supremasi dan independensi individu diletakkan pada emosi dan pengalaman-pengalaman individu; pembebasan emosi/pengalaman (sentiment) individu dari belenggu institusi.
Pada saat bersamaan, khususnya abad 19 dan 20, proses kolonialisasi Barat (Eropa) telah menghasilkan pertemuan yang tidak terduga antara Barat dengan eksotisme Asia. Hal ini menghasilkan gerak yang menarik, sebagaimana diungkapkan oleh Carrette dan King: 43 “....Romanticism often expressed itself in terms of a preoccupation with Asian 'mystical' traditions and culture”. Ketertarikan Barat terhadap eksotisme Timur semakin berkembang dengan munculnya karya-karya dari para orientalis Barat yang mengangkat berbagai misteri dari Timur. Bersamaan dengan itu, pada abad 19 dan 20 – di negara-negara berbahasa Inggris – berkembang kegairahan terhadap spiritualime (1840-an s/d 1920-an); gejala keagamaan yang menekankan bahwa roh-roh orang mati bisa dikontak melalui medium tertentu, roh-roh ini dipercaya dapat memberi tuntunan bagi kehidupan di dunia ini maupun setelahnya (afterlife).44 Dengan corak yang sedikit berbeda, dunia Barat pada abad ke-19 juga memunculkan tokoh seperti Helena Petrovna Blavatsky; tokoh yang kemudian menggunakan istilah Theosofi untuk membahasakan pandangan keagamaannya yang cenderung bercorak dualistik, dengan aksentuasi pada pengalaman mistik (ekstasi) secara individual. Mendapat pengaruh dari tradisi keagamaan Asia (seperti Buddhisme), Blavatsky memahami manusia secara dualistik; dikotomi antara higher nature (mind, soul, and spirit) dan lower nature (physical and other) dalam siklus yang bersifat evolutif, yakni proses reinkarnasi yang merupakan medium purifikasi untuk mencapai penyatuan dengan ‘san absolut’. Dengan demikian, setiap manusia pada esensinya (higher nature) adalah sama; karena itu Theosofi cenderung menekankan universal brotherhood. Terkait dengan agama, Blavatsky memandang agama sebagai upaya manusia (individu) untuk mendekati ‘sang absolut’; dengan demikian setiap agama memiliki bagian di dalam kebenaran tersebut.45
Baik Theosofi maupun Spiritualisme banyak terlibat dalam gerakan anti-kolonial di India dan Inggris, anti-kemapanan (terkait dengan kelas pekerja), dan berbagai tuntutan yang berkaitan dengan economic and social justice. Sekalipun ada corak sosial di dalamnya, gerakan-gerakan seperti ini sebenarnya sedang memproklamirkan independensi individu yang berelasi dengan pengalaman-pengalaman asketis. Carrete dan King memberikan catatan menarik mengenai tren ini:46
Such an orientation is clearly not in itself incompatible with a socially engaged perspective, but it becomes so once 'the individual' is conceived as an independent, autonomous and largely self-contained entity within society. Such closure, establishing the impermeable boundaries of the modern, individual self, undermines an awareness of interdependence and erodes our sense of solidarity with others.
Dalam proses ini, istilah spiritualitas bergerak tumpang tindih dengan istilah mistik. Kedua istilah ini telah menjadi bingkai konseptual bagi berbagai gerakan yang memperjuangkan atomisasi manusia dalam masyarakat dengan penekanan pada emosi, intuisi dan pengalaman-pengalaman eksotis. Walaupun tumpang-tindih ini masih berlangsung sampai akhir 1980-an, namun dalam masa itu istilah mistik secara berangsur-angsur mulai ditinggalkan. Istilah spiritualitas kemudian lebih mendapat tempat, khususnya pada masyarakat Barat. Hal ini terkait dengan perkembangan yang terjadi pasca Parang Dunia II, yakni: capitalist reorganisation di Eropa dan Amerika Utara, munculnya the modern consumerist lifestyle dan ‘booming’ psikologi – Carrete dan King mengaitkan ini dengan humanistic psychology – yang berperan mengisi kebutuhan masyarakat seperti ini. Istilah mistik dipandang cenderung memiliki konotasi other-worldly, ekultisme dan berbasis pada tradisi keagamaan tertentu, hal ini membuat istilah tersebut tidak klop dengan berkembangnya semangat baru yang berelasi dengan capitalist reorganisation di Barat. Sebaliknya, istilah spiritualitas justru diminati dalam tatanan (semangat) baru tersebut, mengingat istilah ini dipandang memiliki konotasi de-tradisionalisasi – termasuk de-institusionalisasi – dan berorientai pada dunia ini (this-worldly).47
konsolidasi terhadap proses atomisasi manusia dalam masyarakat ini kemudian terajut dengan berkembangnya ‘booming’ psikologi yang teribat dalam the new way of life yang muncul dari tatanan baru tersebut (capitalist reorganisation). Di sini humanistic psychology yang muncul sebagai the third force dalam psikologi pada tahun 1950-an; alternatif terhadap behaviorism (the first force) dan psychoanalysis (the second force). Dengan menyoroti kurangnya perhatian psikologi terhadap conception of human nature secara holistik, psikolog seperti Abraham Maslow, Carl Rogers, and Clark Moustakas dsb. – terkait dengan pertemuan di Detroit, Michigan – memberikan perhatian terhadap isu-isu unik mengenai manusia; isu-isu tersebut mencakup the self, self-actualization, health, hope, love, creativity, nature, being, becoming, individuality, and meaning. Penekanan ini menghasilkan model terapi yang bertujuan agar individu mencapai pertumbuhan personal (personal growth) dan makna di dalam hidup; salah satunya adalah client-centered therapy yang dikembangkan oleh Carl Rogers. Oleh pengkritiknya, seperti Seligman dan Csikszentmihalyi, humanistic psychology dipandang mempromosikan self-centeredness. Kritikan ini menarik, mengingat dalam gagasan hierarchy of needs dari Maslow, self-actualization mendapat tempat yang sangat tinggi sebagai the ultimate state of personal fulfillment.48 Corak atomisasi manusia dalam masyarakat dapat dilihat pada penekanan terhadap konsep self, sebagaimana bisa ditangkap dari pernyataan Carrete dan King:49 “....psychology have played a major part in maintaining control in late capitalist societies in the West by creating a privatised and individualised conception of reality.”
Pada era 1950-an, istilah spiritualitas menjadi kosa kata yang diminati di Barat. Berkembangnya minat terhadap istilah tersebut muncul bersamaan dengan capitalist reorganisation pasca Perang Dunia II, yang pada gilirannya melahirkan the modern consumerist lifestyle. Gerak self-centeredness dalam ‘booming’ psikologi pada masa ini kemudian membentuk semacam rajutan dengan lifestyle yang lahir dari gerak capitalist reorganisation; sebuah lifestyle yang menempatkan individu sebagai choser – meminjam istilah Bauman di atas. Tren ini menghasilkan apa yang disebut Bauman sebagai demand for identity-experts. Terapi-terapi psikologi/konseling kemudian memiliki arti penting, mengingat terapi-terapi tersebut menawarkan cure bagi setiap individu (choser) untuk membangun pertumbuhan personal dan menggapai makna hidup; sama sekali tidak mempertanyakan tatanan yang ada. Di sini menarik memperhatikan kritik lainnya, yang diajukan oleh salah Isaac Prilleltensky, terhadap humanistic psychology; Prilleltensky memandang humanistic psychology cenderung memberikan afirmasi terhadap status-quo dan berdiam diri terhadap perubahan sosial.50
Dalam proses yang disebut Carrete dan King sebagai the first privatitation of spirituality ini, kegairahan terhadap istilah spiritualitas berkembang dalam rajutan consumerist lifestyle yang terkait dengan capitalist reorganisation dan self-centeredness dalam ‘booming’ psikologi pada abad ke-20. Di sinilah muncul corak spiritualitas berikutnya, Carrete dan King menyebutnya sebagai consumer-oriented spirituality.51 Dalam konteks ini, istilah spiritualitas telah menjadi sebuah konsep yang sifatnya non religious atau tidak memiliki persentuhan dengan region of transcendental (meminjam istilah jane dan Clive Erricker). Spiritualitas lebih merupakan konsep yang memiliki konotasi individual (choser) self-affirmation akan pertumbuhan personal dan makna hidup.
Pada era 1980-an ke atas, consumer-oriented spirituality – sebagai the first privatitation of spirituality – kemudian mengalami tumpang tindih (overlap) the second privatitation of spirituality, yakni apa yang disebut Carrete dan King sebagai “....the tailoring of spiritual teachings to the demands of the economy and of individual self-expression to business success.”52 Hal ini terkait dengan gejala yang berkembang pada era 1980-an ke atas, di mana spiritualitas menjadi istilah umum yang digunakan dalam berbagai sektor publik, serta berkembangnya berbagai literatur yang membahas spiritualitas. Kegairahan terhadap istilah spiritualitas pada era ini berkembang di tengah berlangsungnya proses de-regulasi pasar yang merupakan artikulasi dari ideologi neo-liberalisme; sebuah ideologi yang disefenisikan McChesney – sebagaimana dikutip oleh Carrete dan King – sebagai, “....the defining political economic paradigm of our time - it refers to the policies and processes whereby a relative handful of private interests are permitted to control as much as possible of social life in order to maximise their personal profit.”53 Dalam semangat inilah corporate capitalism54 – terkadang disebut juga dengan istilah monopoly capitalism – berkembang dan mendominasi berbagai sektor publik dengan aksentuasi pada profit, reduce international barriers to exploitation by big corporations dan the need for a flexible and compliant workforce.55 Terkait dengan agama, gerak ini menghasilkan apa yang disebut Carrete dan King sebagai:56 “....commodification of religion, that is the selling-off of religious buildings, ideas and claims to authenticity in service to individual/corporate profit and the promotion of a particular worldview and mode of life, namely corporate capitalism.” Berbagai artikulasi budaya dan agama dikemas dalam berbagai produk yang kemudian disirkulasikan di pasar; Carrette dan King memberikan uraian yang menarik di sini: “From the branding of perfumes using ancient Asian concepts and the idea of the spiritual ('Samsara' perfume, 'Zen' deodorant, 'Spiritual' body-spray) to clothe the product in an aura of mystical authenticity, to the promotion of management courses offering 'spiritual techniques' for the enhancement of one's work productivity and corporate business-efficiency, the sanitized religiosity of 'the spiritual' sells.”
Suka atau tidak, apa yang disebut spiritualitas pada era kontemporer saat ini, pada dasarnya merupakan artikulasi dari the culture of measurement and efficiency seperti ini. Dalam dunia pendidikan, salah satu contoh yang dapat dilihat adalah munculnya istilah spiritualitas pada revisi kurikulum pendidikan nasional di Inggris (1988). Di sini Carrete dan King memunculkan salah satu komentar dari David Lambourn yang rasanya menarik untuk diperhatikan:57 “School pupils are encouraged to appreciate a 'sense of awe, wonder and mystery' as part of a programme of study. Paradoxically, the very instruction to cultivate such experiences as part of a prescribed national curriculum undermines the likelihood of success.”
Carrete dan King menggunakan istilah capitalist spirituality untuk mengkategorikan pemaknaan spiritualitas pada era ini (kontemporer); sebuah spiritualitas yang merupakan artikulasi dari the culture of measurement and efficiency yang berelasi dengan produktifitas dan sukses individu. Walaupun demikian, istilah capitalist spirituality sebaiknya dipahami dalam empat spektrum spiritualitas yang brekembang dalam relasi dengan kapitalisme; mulai dari posisi resistensi sampai akomodatif. Keempat spektrum tersebut dapat diuraikan sebagai berikut:58


  1. Revolutionary or Anti-Capitalist Spiritualities: corak spiritualitas yang menolak ideologi neo-liberalisme dan ambisi mengejar profit dengan memanfaatkan dimensi spiritual, keagamaan dan etika. Kelompok ini berasal dari berbagai tradisi keagamaan yang mendasarkan komitmen pada this-worldly dan keadilan sosial. Biasanya kelompok ini mengangkat tradisi-tradisi keagamaa yang memuat kritik sosial, misalnya tradisi yang berbicara mengenai kritik dari nabi-nabi Israel, gagasan Islam mengenai ekonomi yang adil dan persaudaraan universal, gagasan Buddha tentang pencerahan untuk menghapuskan penderitaan sesama, gerakan-gerakan ekologi atau berbagai gerakan egalitarian di India.




  2. Business-Ethics/Reformist Spiritualities: corak spiritualitas ini cenderung berusaha untuk melakukan semacam sintesa antara antara tradisi keagamaan (etika keagaman) dengan values of business and consumer culture. Oleh karena itu berlangsung apa diuraikan oleh Carrete dan King:59 “Such approaches accept, with some ethical modification, the status quo of the market and business world, and do not seek to question the underlying basis of its ideology. The emphasis is upon the integration of ethical values into the dominant culture .... The ideology of neoliberalism is never placed under radical scrutiny in these forms of spirituality which therefore, in many respects, provide indirect support for a consumerist culture.” Salah satu contoh yang diangkat Carrete dan King adalah kegiatan bisnis yang berorintasi etis dari kelompok Quaker; contoh lainnya adalah pernyataan Tom Beaudoin – dalam karyanya Consuming Faith – yang menjelaskan bahwa “... We live out our relation to our ultimate meaning through what and how we buy. Let the integration of faith and economy be the mark of the true spiritual seeker today, a consuming faith.”60


Individualist/Consumerist Spiritualities: corak spiritualitas ini merupakan representasi dari apa yang disebut ‘Prosperity Religion’ yang berkembang dalam setting de-tradisionalisasi. Corak ini (‘Prosperity Religion’) berkembang pada abad ke-19 sebagai respon terhadap revolusi Industri dan berkembangnya kapitalisme modern. Kelompok ini cenderung bekerjasama (complicitous) dengan sistim kapitalis, sambil membangun link dengan tradisi keagamaan. Di sini pernyataan Woodhead dan Heelas – sebagaimana dikutip Carrete dan King – menarik untuk diperhatikan: “Prosperity religion .... is bound up with what would appear to be an ever-more significant feature of modern times: the growth of consumer culture and the associated 'ethicality' - if that is the right term - of people intent on satisfying their consumeristically driven desires. It could well be the case that prosperity religion is (characteristically) about the sacralisation of utilitarian individualism.” Pada abad 20, 'Prosperity Religion' berkembang dalam bentuk individualist or consumerist spirituality’; bercorak postmodern, tampak pada penekanan terhadap eclecticism, individualist experimentation and a 'pick and mix' approach to religious traditions. New Age dan gerakan pengembangan diri (Personal Development) merupakan contoh yang diangkat oleh Carrete dan King. Selain itu, kelompok neo-evangelical yang muncul sekitar tahun 1960-an dan 1970-an, rasanya bisa dimasukan dalam kategori ini. Roof dalam pembahasannya menganai spiritualitas, menekankan bahwa kelompok ini cenderung mengakomodasi middle-class culture; karena itu, kategori-kategori psikologis seperti self, fulfillment, individuality, journey, walk, growth menjadi dominan dalam retorika – memadukan legitimate self dengan narasi keagamaan Amerika yang sangat menekankan the benefits of faith.61
Capitalist Spiritualities: corak ini merupakan hasil asimilasi dari nilai-nilai bisnis ke dalam penalaran (rationale), hasilnya adalah pemanfaatan tema-tema keagamaan untuk mencapai corporate-oriented profit; menjadikan individu (pekerja atau konsumer) berfungsi efektif untuk mendorong profit perusahaan. Spiritualitas ini muncul sebagai respon (akselerasi) terhadap global finance capitalism; gejala yang ada pada kapitalisme yang berkembang akhir-akhir ini. Corak postmodern tetap tampak pada gerakan ini – mengingat corak ini berasal dari ‘individualist or consumerist spirituality’ – sebagaimana dikatakan Carrete dan King:62 “....grounded in an information age and the transfer of electronic data across national boundaries, they tend to disavow explicit association with traditional religions, promoting instead a highly eclectic, disengaged and detraditionalised spirituality.”
*****
Pada bagian sebelumnya, sempat disinggung menganai ascetic spirituality yang menempatkan cita-cita asketis sebagai tujuan yang ideal. Kategori ini rasanya masih terlalu luas, mengingat gerak kehidupan asketis merupakan sesuatu tidak singular. Gerak asketis merupakan corak yang sebenarnya sudah hidup jauh sebelum berkembangnya corak monastik di dalam kekristenan, bahkan telah berkembang dalam berbagai tradisi non-kristen. Istilah monastik [Yunani: monachos ‘menjalani hidup seorang diri, jauh dari keramaian’ (solitary)] yang umumnya dikenal, pada dasarnya merupakan gerak asketis dengan menarik diri dari kehidupan masyarakat dan masuk dalam kesunyian (tempat terpencil). Semangat ini memiliki akar pada upaya meneruskan perjuangan para martir dalam melawan kekuasaan Roma, termasuk meneruskan penderitaan dan pengorbanan Kristus sebagai tujuan ideal; diterjemahkan dengan cara menempuh jalan penderitaan, yakni mengasingkan diri dari dunia dan masuk dalam kehidupan kontemplatif (Thomas E. Helm menggunakan istilah martyrdom of conscience untuk membahasakan corak ini). Pada abad ke-4, gerak asketis berkembang ditengah situasi yang berbeda; penganiayaan telah berakhir dan gereja telah diterima secara sosial. Dalam kondisi ini, gereja kemudian berkembang menjadi sesuatu yang berpengaruh dalam masyarakat, bahkan gereja-gereja lokal menjelma menjadi penguasa-penguasa tanah (substantial landowners). Di sini gerak asketis – dalam bentuk cenobite monasticism63 (bercorak komunal) – berkembang menjadi counterbalance terhadap berkembangnya gereja yang telah menjadi kekuatan riil di dalam masyarakat.64
Mengingat gerak asketis tidak tampil dalam model yang singular, di sini ada baiknya kita meminjam pengelompokkan yang dibuat oleh Newman Nahas. Nahas mengajukan beberapa model asketis, namun secara umum dia kemudian membuat pengelompokkan berdasarkan motif dari gerak asketis tersebut. Ada dua tema yang diajukan Nahas yang mempengaruhi motif asketis, yakni:65


  • Pertama, motif yang terkait dengan pengakuan bahwa tidak ada – termasuk keluarga, kepemilikan, bahkan hidup kita sendiri – yang lebih berharga dari pada kesatuan dengan Tuhan (union with the Lord). Dari motif ini, lahir kehidupan asketis yang melakukan penolakan (renunciation) terhadap dunia; dunia dipandang memiliki status sekunder.


Kedua, motif yang terkait dengan cita-cita untuk kembali pada keadaan semula, sebelum kejatuhan dalam dosa. Melalui cita-cita ini, para rahib (monk) bukan hanya ingin mencari penebusan bagi dirinya, melainkan juga bagi dunia. Argumentasinya kira-kira demikian, “Since through man that the created world fell, through man the created world can be restored.” Mereka melakukan antisipasi terhadap pembaharuan yang total kelak, yakni pada masa parousia. Di sini perjuangan asketis yang mereka lakukan merefleksikan keyakinan bahwa dunia seharusnya tidak seperti yang tampak sekarang ini, sehingga dibutuhkan gerak restoratif, yakni dengan jalan asketis. Di sinilah kutipan yang diangkat Nahas menjadi penting, “....they formed the counterbalance to an established Christendom.”
Kedua motif ini tetap mengekspresikan karakter teologis yang bercorak mistik, namun dalam pemaknaan yang berbeda. Pada motif kedua inilah, Nahas kemudian menggunakan istilah the monastic life. Dalam semangat ini, kita bisa merasakan kritikan Bernard dari Clairvaux – sebagaimana disinggung di atas – terhadap ambisi kekuasaan di dalam gereja, korupsi dan campur tangan penguasa politik sekuler dalam kehidupan gereja; Bernard juga melakukan pembelaan terhadap para petani yang tertindas. Demikian juga dengan inovasi yang berkembang pada abad ke-13, di mana muncul gerakan monastik yang kemudian dilembagakan dengan nama Order of Fratrers Minores (OFM = Ordo Saudara-saudara Hina) oleh Paus Innocentus III; tokohnya adalah Fransiskus dari Assisi, yang mengajarkan “....christlike love, especially for the sick, the leper, and the outcast, and to practice absolute poverty .... for true reptance and geniune peace.”66 Gerakan monastik ini muncul ditengah-tengah kemiskinan yang semakin melebar seiring berkembangnya ekspansi perdagangan dan munculnya kota-kota besar di Italy. Dengan demikian, gerakan ini tampil sebagai counterbalance terhadap realitas saat itu; gerakan-gerakan yang menghadirkan the monastic life - meminjam istilah Nahas - di mana terjadi persentuhan dengan kitab suci, gereja dan berbagai macam prosesi liturgis dalam terang menjalani penderitaan sebagai jalan memperoleh kasih Kristus. Oleh karena itu, mungkin tidak berlebihan apabila Anthony Russell menyimpulkan spiritualitas yang berkembang pada abad pertengahan:67 “Medieval spirituality….was essentially public, communal and 'ecclesial' in nature and focused in the liturgy of the Church, the Bible and the cult of the saints.” Dalam terang ini, kita bisa memasukan dua corak spiritualitas – sebagai perluasan terhadap ascetic spirituality – yakni, ascetic spirituality (bermakna renunciation of the present world) dan monastic spirituality (bermakna redemption of the created world).
Dari semua proses yang berlangsung ini – agar membantu kita untuk melihat secara garis besar – kita dapat menggambarkan keseluruhan model spiritualitas tersebut sebagai berikut:

Bagan ini tentunya tidak bisa diterjemahkan sebagai fixed categories. Hal ini mengingat realitas sosio-kultural sangatlah kompleks, bahkan seringkali – dalam konteks fluidity of boundaries – bergerak intersectional.

==========================
1 Clive Erricker dan Jane Erricker, “Introduction,” dalam Contemporary Spiritualities, Social and Religious Contexts, eds. Cliver Erricker dan Jane Erricker (London - New York: Continuum, 2001), xvi.
2 Ibid., xv.
3 Ibid.
4 Ibid.
5 Jeremy Carrette & Richard King, Selling Spirituality, the silent takeover of religion, 1st edition (London & New York: Routledge, 2005), 3.
6 Ibid., xviii.
7 Zygmunt Bauman, “Postmodern Religion?,” dalam Religion, Modernity and Postmodern-ity, ed. Paul Heelas (Oxford: Blackwell, 1998), 66.
8 Proses ini menurut Bauman telah berlangsung semenjak modenitas bergulir yang kemudian menghasilkan rational adjustmentdi mana human willmenjadi sentral, sementara agama praktis tidak memiliki ruang. Dalam market-led consumer society, akselerasi ekonomi dan pasar menempatkan sentralitas pada consumer willyang bertumpu pada peran yang menekankan pleasuredan sensationdalam proses pasar yang sangat fluktuatif (., 61, 62, 69) .
9 Bdk. Ibid., 72, 73.
10 Ibid., 73.
11 Ibid., 67, 68, 69.
12 Ibid., 68.
13 Wade Clark Roof, “ Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis,” dalam Handbook of the Sociology of Religion, ed. Michele Dillon (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 137
14 Carrette & King, Selling Spirituality, 53.
15 Clive Erricker dan Jane Erricker, “Introduction”, xviii.
16 Nancy T. Ammerman, “Religious Identities and Religious Institutions,” dalam Handbook of the Sociology of Religion, ed. Michele Dillon (Cambridge: Cambridge University Press, 2003) 215-221.
17 Ibid., 220.
18 Carrette & King, Selling Spirituality, 14
19 Ammerman, “Religious Identities and Religious Institutions”, 218-219.
20 Ibid., 221.
21 Roof, “Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis,” 143.
22 Ammerman, “Religious Identities and Religious Institutions,” 214.
23 Ibid.
24 Carrette & King, Selling Spirituality, 47.
25 Ursula King, “ Spirituality,” dalam A New Handbook of Living Religions, new edition, ed. John R. Hinnells (London: Penguin Books, 1998), 668, 669, 678.
26 Pada bagian ke-3 dari duabelas diktumnya, Candidus dengan tegas menolah fisik/tubuh (bodies) sebagai kenyataan sesungguhnya (true), apa yang sesungguhnya (truth) adalah a quality of immortal beings (Wikipedia Encyclopedia, “Candidus” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://www.newadvent.org/cathen/03245a.htm; internet); Carrette & King, Selling Spirituality, 35.
27 Corak dualistik ini juga diterapkannya dalam pembahasan mengenai Trinitas. Bagi Gilbert, Allah adalah pure being yang tidak terdifrensiasi; dia tidak dapat dikategorikan dengan apa pun. Di bawah Allah terdapat ideas atau essences of things yang pada dirinya sendiri tidak memiliki relasi dengan the accidents of things, setelah itu baru terdapat substances yang memiliki karakter dualistic; hal ini mengingat substance adalah essence yang melekat/terkurung di dalam objek (Wikipedia Encyclopedia, “Gilbert de la Porrée” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Gilbert_of_Poitiers; internet); Carrette & King, Selling Spirituality, 36.
28 Roof, “Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis”, 138.
29 Cistercian adalah gerakan yang berusaha merealisasikan cita-cita asketis. Gerakan ini muncul seiring dengan meredupnya gerakan Cluny di Prancis − dalam perjalanannya, gerakan Cluny justru semakin terlibat dengan urusan kekuasaan dan kekayaan, mereka misalnya banyak menerima hibah dari para tuan tanah. Dalam kondisi tersebut, muncul berbagai gerakan yang bertujuan merevitalisasi semangat monastik di Eropa, di sini gerekan Cistercian dipandang sebagai yang utama. Gerakan ini menekankan kesederhanaan yang sangat keras (strict poverty). Hal ini bisa dilihat dari cara mereka berpakaian maupun dalam beribadah − ornamen-ornamen dan jubah dalam beribadah diupayakan sesederhana mungkin. Gerakan ini juga memberikan waktu yang banyak untuk doa-doa pribadi, serta sangat mengutamakan kemandirian secara ekonomi dan menolak ketergantungan dari luar lingkaran biara. [Kenneth Scott Latourette, A History of Christianity, Vol. I, Beginings to 1500 (New York: Harper & Row, 1975), 418-419; Helm, The Christian Religion, 90]
30 Sebuah posisi yang menegaskan bahwa Paus adalah wakil Kristus di dunia dan berkuasa atas semua bangsa. [Tony Lane, Runtut Pijar, Sejarah Pemikiran Kristiani, cet. ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 94-96.].
31 Latourette, A History of Christianity, Vol. I, 422-425; H. Berkhof dan I. H. Enklaar, Sejarah Gereja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 84-86; Lane, Runtut Pijar, 94-96.
32 F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh Dalam Gereja, cet. ke-3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 49.
33 Neo-Platonisme pada dasarnya menempatkan semesta kosmik dalam harmoni hirarkis. Dunia dan segala hal yang ada di dalamnya dipahami sebagai sesuatu yang memiliki asal mula pada the ultimate ground/the One sebagai asas pertama (the first principle). Di bawah asas pertama, terdapat asas kedua (the second principle) yang disebut nous atau the divine mind yang merupakan manifestasi the ultimate ground. The divine mind merupakan intuisi diri (self-intuition) dari the One, sekaligus merupakan potensi dari segala keberadaan (being). Setelah asas kedua terdapat asas ketiga (the third principle) yang disebut the soul/the world soul dan menjadi penghubungan antara the divine mind dengan realitas jasmani. The world soul inilah yang kemudian mengaktualisasikan diri di dalam jiwa-jiwa individu sehingga memungkinkan adanya kehidupan. Oleh karena itu, asas ketiga disebut juga sebagai the principle of life. Tempat segala sesuatu dalam hirarki ini diatur oleh logos. Dalam Neo-Platonis, istilah logos pada dasarnya menunjuk pada the divine mind itu sendiri, yakni dimensi rasional dari the divine mind. Dalam harmoni hirarkis ini, keselamatan berkaitan dengan kerinduan jiwa untuk kembali pada asal mulanya. Hal ini ditempuh melalui proses penyucian dengan jalan kontemplasi/asketis (tahap pertama), yang kemudian membuka jalan bagi tercapainya penerangan mistik yang berhubungan dengan the divine mind (tahap kedua) dan akhirnya mencapai kesatuan dengan the One melalui fase ekstasis (tahap ketiga). Pada tahap ini kekuatan ilahi dari sang tunggal (the One = first principle) menyambar jiwa/kesadaran (hal ini dibahasakan sebagai the grace) sehingga jiwa kembali menyatu dengan asal mulanya. Hal ini dilukiskan sebagai “the flight of the one to the One” [Paul Tillich, A History of Christian Thought, from its Judaic and Hellenistic Origins to Existentialism, ed. Carl E. Braaten (New York: A Touchstone Book, 1997), 53-55; Karen Amstrong, History of God, The 4.000 – Year Quest of Judaism, Christianity and Islam (New York: Ballantine Books, 1994), 101-103; Bdk. Karl Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 18-19].
34 Carrette & King, Selling Spirituality, 10.
35 Roof, “Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis,” 139.
36 Ibid., 138.
37 Carrette & King, Selling Spirituality, 34.
38 Ibid., 35-36.
39 Ibid., 36.
40 Ibid., 36, 37.
41 Ibid., 37
42 Ibid., 38; Helm, The Christian Religion, 183; Wikipedia Encyclopedia, “Romanticism” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki; internet; Microsoft Encarta Encyclopedia 2000, "Romanticism (Literature)" [CD-ROM] (Redmond: Microsoft Corporation, 1993-1999).
43 Carrette & King, Selling Spirituality, 43.
44 Ibid., 39; Wikipedia Encyclopedia, “Spiritualism” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Spiritualism; internet. Bnd. Microsoft Encarta Encyclopedia 2000, "Spiritualism" [CD-ROM] (Redmond: Microsoft Corporation, 1993-1999).
45 Carrette & King, Selling Spirituality, 40-41; Wikipedia Encyclopedia, “Theosphy” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Theosophy; internet. Bnd. Microsoft Encarta Encyclopedia 2000, “Theosophy” [CD-ROM] (Redmond: Microsoft Corporation, 1993-1999).
46 Carrette & King, Selling Spirituality, 41.
47 Ibid., 41-43.
48 Ibid., 41-42; Microsoft Encarta Encyclopedia 2000, “Humanistic Psychology: The Third Force” [CD-ROM] (Redmond: Microsoft Corporation, 1993-1999); Wikipedia Encyclopedia, “Humanistic Psychology” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Theosophy; internet.
49 Carrette & King, Selling Spirituality, 26.
50 Ibid., 41-42; Wikipedia Encyclopedia, “Humanistic Psychology” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Theosophy; internet.
51 Carrette & King, Selling Spirituality, 44.
52 Ibid., 44.
53 Ibid., 2.
54 Corporate capitalism merupakan salah satu bentuk di dalam kapitalisme di mana penguasaan ekonomi berpusat pada a small number of powerful corporations (Wikipedia Encyclopedia, “Corporate Capitalism” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: ://en.wikipedia.org/wiki/Corporate_capitalism; internet.).
55 Carrette & King, Selling Spirituality, 44-46; Thomas Detwyler, “Corporate Capitalism” [Sumber on-line]; terdapat pada: http://www.uwsp.edu/geo/courses/geog340/About_Capitalism.htm; internet.
56 Carrette & King, Selling Spirituality, 15.
57 Ibid., 48.
58 Ibid., 17-20.
59 Ibid., 18.
60 Ibid., 19.
61 Roof, “Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis,” 140.
62 Ibid., 20.
63 Pada awalnya, para pertapa (hermit) menempuh jalan asketis seorang diri di padang gurun dan gua-gua. Belakangan, berkambang gerak asketis yang bercorak komunal, yakni apa yang disebut cenobite monasticism; Pachomius (299 – 346), seorang Mesir, dipandang sebagai pelopor model cenobite tersebut. Di Barat, model cenobite masuk melalui John Cassian (360 435); model ini kemudian diadopsi serta dikembangkan oleh St. Benedictus (– 550). Oleh karena itu, tidak mengherankan kalau karya-karya Cassian menjadi bacaan yang penting bagi komunitas monastik yang dibangun oleh St. Benedictus. Cassian sendiri adalah seorang biarawan yang memberikan penekanan pada tiga jalan mistik, yakni: Purgatio, Illuminatio dan Unitio. Menarik di sini, katiga jalan tersebut dapat juga ditemukan pada filsafat Neo-Platonis (filsafat mistik yang berkembang sekitar abad ke-3. Filsafat ini – menurut Evelyn Underhill –merupakan campuran antara filsafat Platonik dengan kultus dan filsafat Timur yang kemudian mempengaruhi Pseudo-Dionysius dan Agustinus dari Hippo). Aturan-aturan yang dibangun oleh St. Benedictus pada gilirannya menjadi aturan klasik bagi spiritualitas monastik di Barat. Aturan-aturan tersebut tetap membawa cita-cita kehidupan kontemplatif yang berakar di gurun pasir Mesir, yakni: penyerahan diri secara total dengan jalan menjauhkan diri dari kehidupan dunia, berdoa, bergumul melawan keinginan badani dan mengupayakan kehidupan secara bersama-sama. Janji yang harus diucapkan seorang biarawan – yakni: to be poor, to obey, to remain chaste – menunjukan dengan jelas cita-cita tersebut [Thomas E. Helm, The Christian Religion, an Introduction (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1991), 84-88; Owen Chadwick, A History of Christianity (London: Phoenix Illustrated Orion Publishing Group, 1997), 76-78; Bdk. Wikipedia Encyclopedia, “John Cassian” [Encyclopedia on-line]; terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/John_Cassian"; internet; Evelyn Underhill, Mysticism, A Study in The Nature and Development of Spiritual Consciousness.]..
64 Thomas E. Helm, The Christian Religion, an Introduction (New Jersey: Prentice-Hall, Inc., 1991), 84-85; Nahas, The Origins and Motivations of Monasticism [Sumber on-line]; terdapat pada: http://www.monachos.net/monasticism/monastic_beginnings.shtml; internet.
65 Newman Nahas, The Origins and Motivations of Monasticism.
66 Thomas E. Helm, The Christian Religion, an Introduction,91
67 Anthony Russell, “Sociology and the Study of Spirituality,” dalam The Study of Spirituality, eds. Cheslyn Jones & Geoffrey Wainwright Edward Yarnold (Oxford: Oxford University Press, 1986), 36.