-----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pernah dimuat dalam buku Orang Muda Bicara Oikumene.
Namun, dalam buku tersebut terdapat dua halaman yang hilang
atau terpotong.
Oleh karena itu, versi lengkapnya saya masukan di sini.
Oleh karena itu, versi lengkapnya saya masukan di sini.
-----------------------------------------------------------------------------------------
Beril Huliselan
Sejujurnya,
judul ini merupakan usulan yang dilontarkan sdr. Trisno Sutanto dalam
percakapan kami di kantin STT Jakarta. Sekalipun hanya sebuah usulan, saya
sebenarnya agak terusik dengan pertanyaan tersebut. Di satu sisi, tulisan ini
hendak menjawab pertanyaan tersebut; semoga saya bisa melakukannya. Namun di
sisi lain, tulisan ini juga terkait dengan kegelisahan yang muncul saat saya
melakukan wawancara di beberapa jemaat.
Saya
tidak akan mengawali tulisan ini dengan uraian yang panjang-lebar, sebaliknya
saya ingin langsung menjawab pertanyaan tersebut. Setelah itu, baru saya
memberikan argumentasinya. Jadi, “apakah PGI masih dibutuhkan?” Ini pertanyaan
yang sulit bagi saya, tapi toh saya ingin sekali menjawabnya. Untuk
itu, saya mempunyai dua jawaban. Jawaban pertama, dengan segala permohonan maaf
kepada berbagai pihak yang sudah berjuang keras dalam perjalanan PGI, saya
harus mengatakan bahwa “PGI memang sudah tidak dibutuhkan lagi”. Dengan kata
lain, apabila PGI dilihat sebagai sebuah lembaga – lengkap
dengan struktur birokrasinya – maka saya berani mengatakan:
“sesungguhnya PGI sudah tidak dibutuhkan lagi”. Pernyataan ini tidak muncul
dari abstraksi teoritis yang rumit-rumit, tapi sebaliknya justru muncul dari
keluh-kesah yang saya jumpai di beberapa jemaat. PGI praktis telah menjadi
lembaga yang asing bagi jemaat, apalagi kalau mau bicara tentang Dokumen
Keesaan Gereja (DKG), walah
hualam. Hal ini mengingatkan saya pada apa yang dulu (1990-an) pernah
disinggung Christian de Jonge. Di satu sisi, de Jonge menilai DGI/PGI
memelopori pokok-pokok penting dalam perjalanan keesaan di Indonesia. Namun, beliau
langsung menambahkan: “.... timbul bahaya bahwa DGI/PGI … menjadi wadah di
samping gereja-gereja anggota, bukan lagi wadah dari gereja-gereja anggota,
singkatnya mulai hidup sendiri, dengan kepentingan-kepentingan tersendiri.”1 De facto, bahaya itu sudah
menjadi kenyataan. Bukan baru sekarang, jauh-jauh hari Eka Darmaputera pun
sudah mengatakan “.... selama 47 tahun ini satu hal yang dapat kita lihat
dengan jelas adalah betapa gerakan oikumene kita semakin tidak bergerak.
Lumpuh. Kena serangan 'stroke'.”2
Sampai
sekarang, PGI masih menyelenggarakan baik sidang raya maupun sidang MPL
(Majelis Pekerja Lengkap), namun sejujurnya saya harus mengatakan bahwa jemaat
tidak lagi “mengenal” apa itu PGI; ingat bahwa PGI yang terpotret di tengah
jemaat adalah PGI-W (PGI Wilayah), sekalipun tidak menutup kemungkinan bahwa
potret tersebut juga terkait dengan PGI di Jl. Salemba. Bukan cuma jemaat, pemerintah
setempat – di mana jemaat berada
– pun tidak lagi melirik PGI. Jemaat
dan pemerintah setempat praktis lebih mengenal lembaga-lembaga antargereja
maupun forum antaragama yang berada di luar PGI, dan tentunya lebih aktif
berhubungan mereka. Berlahan namun pasti, lembaga dan forum seperti ini mulai
menggusur keberadaan PGI. Lebih memprihatinkan lagi, di tengah kondisi seperti
ini, para pendeta malah ramai-ramai terjun bebas menjadi Caleg (calon
legislatif). Dan dalam pengalaman jemaat, euphoria ini turut menyeret PGI di tingkat
wilayah sehingga timbul antipati dari jemaat. Pertemuan-pertemuan yang ada di
tingkat wilayah pun dianggap membosankan, tidak jelas arahnya, pengelolaannya
tidak profesional, eksklusif, regenerasi tidak berjalan, diboncengi kepentingan politik tertentu dan
diselingi transaksi jual-beli barang-barang tertentu; jangan-jangan ada arisan
juga. Berbagai kritikan ini bisa dikatakan menggumpal pada satu pertanyaan
besar, yakni pertanyaan mengenai sense
of destination dari PGI.
Dalam konteks ini, ijinkanlah saya mengutip – dengan tetap merahasiakan sumbernya – salah
satu komentar mengenai PGI yang muncul di jemaat. Komentar tersebut berbunyi
demikian: “.... PGI praktis tidak berbuat apa-apa. Oleh karena itu ....
persoalan yang muncul adalah baik anggota jemaat dan penatua merasa mereka
tidak tahu PGI itu ngapain saja ....” Hal ini menyisakan satu
pertanyaan pada saya, “ke mana semangat keesaan yang dulu pernah menyala-nyala
itu?” walah hualam,
benar-benar sudah kena stroke.
Apabila
jawaban pertama menekankan bahwa PGI tidak dibutuhkan, jawaban kedua justru
sebaliknya. Untuk jawaban kedua, saya terus terang harus mengatakan bahwa “PGI
sungguh-sungguh masih dibutuhkan oleh gereja-gereja”. Saya sepenuhnya menyadari
bahwa sudah muncul berbagai lembaga antargereja maupun forum antaragama yang di
tingkat jemaat setempat mulai menggusur peran PGI. Namun saya toh harus mengatakan, dengan segala
permohonan maaf kepada berbagai pihak yang sudah bekerja keras untuk mewujudkan
lembaga atau forum tersebut, bahwa lembaga-lembaga tersebut pada hakikatnya
belum bisa menggantikan keunikan PGI. Dengan kata lain, apabila dilihat dari spirit yang melahirkan DGI/PGI, sesungguhnya
DGI/PGI belum tergantikan untuk saat ini. Sekali lagi, saya tidak berbicara
dari abstraksi teoritis yang rumit-rumit. Sebaliknya, saya berbicara dari
pengalaman yang dijumpai di beberapa jemaat. Lembaga-lembaga tersebut lebih
terkesan sebagai wadah koordinasi dengan orientasi yang cenderung pragmatis;
pada saat gereja berhadapan dengan persoalan perijinan maka minimal ada wadah
untuk berjuang secara bersama-sama, termasuk juga koordinasi dalam rangka
pembagian bantuan sosial sampai pengamanan gedung gereja pada saat pelaksanaan
hari raya gerejawi. Lebih memprihatinkan lagi, kadang ada kecurigaan bahwa
lembaga antargereja ini diboncengi oleh kelompok Kristen tertentu yang
melakukan “kristenisasi” terhadap gereja-gereja lain yang juga menjadi bagian
dari lembaga tersebut; maksudnya, membuat warna mereka (gereja tertentu) lebih
dominan di dalam lembaga tersebut.
Sejujurnya,
saya sangat berterimakasih pada lembaga-lembaga seperti ini mengingat
perjumpaan antargereja maupun antaragama bisa tetap berlangsung dan semoga
dapat menghasilkan transformasi kultural bagi kehidupan bersama. Sekalipun
demikian, saya tetap pada pendirian semula bahwa di dalam semangatnya, PGI sungguh
belum tergantikan. Apabila saya harus merumuskan semangat yang melandasi
lahirnya DGI di tahun 1950, saya akan memilik satu kata saja, yakni
rekonsiliasi.
Selain
terdapat beberapa perkembangan – pengaruh gerakan keesaan di dunia
internasional, penjajahan Jepang yang memaksa gereja-gereja untuk mandiri,
berkembangnya nasionalisme dan munculnya gerakan pemuda – satu hal yang tidak bisa dilupakan
adalah realitas kehancuran yang dialami masyarakat dan gereja-gereja sebagai
akibat perang berkepanjangan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan
tersekmentasinya gereja-gereja dalam garis dominasi masing masing, plus bentuk kekristenan – sebagaimana
disinggung oleh L.A. Hoedemaker – yang sekedar dicangkokkan pada masyarakat
sesuai dengan garis kesukuan.3 Alhasil, kekristenan tidak mengakar di
dalam kebudayaan yang hidup di masyarakat (tidak menghasilkan perjumpaan).
Sebaliknya, justru struktur kesukuan yang menonjol. Sekmentasi ini tentunya
membuat gereja tidak bisa bergerak optimal, sebagaimana dikatakan Weinata
Sairin: “Gereja-gereja saat itu hidup terserak-serak di berbagai wilayah
Nusantara, dalam lingkungan denominasi sendiri, dan sebab itu hampir tidak
pernah mampu menampilkan peran yang memadai di tengah kecamuk dunia.”4
Pembenahan
terhadap kehancuran dan pergumulan mengenai misi dalam konteks yang baru
(Indonesia merdeka) mendapat sorotan pasca pendudukan Jepang (1942-1945);
tentunya di dahului semakin tereksposnya kalangan Kristen dalam semangat
nasionalisme di tanah air dan gerakan keesaan di dunia internasional. Dalam
pergumulan pasca pendudukan Jepang, peranan gereja dalam merawat umat manusia
muncul dan dipahami sebagai bentuk keesaan yang holistik, komperhensif dan
mengakar dalam kesadaran akan satu tubuh (Kristus).5 Dalam konteks inilah, rasanya kita
harus memahami dukungan dari gereja-gereja maupun lembaga-lembaga antargereja
di tingkat regional terhadap pembentukan Dewan Gereja-gereja di tingkat
nasional. Di sini semangat rekonsiliasi bukan sekedar menghargai perbedaan yang
ada atau sekedar kerjasama yang pragmatis. Lebih dari itu, rekonsiliasi menjadi
semangat gereja-gereja untuk bergerak melampaui sekat-sekat yang selama ini
memisahkan mereka dan mewujudkan kesatuan yang nyata (visible) dalam
merawat dunia yang compang-camping. Rekonsiliasi bukan persoalan teknis yang
terkait dengan upaya-upaya koordinasi belaka. Sebaliknya, rekonsiliasi adalah
persoalan teologis yang langsung menjadi jantung dari pemberitaan Injil dan
terhubung dengan dua peristiwa penting, yakni: salib dan kebangkitan. Terkait
dengan hal ini, Thomas E. Fitzgerald memberikan catatan penting dalam ecumenical imperative yang diyakininya merefleksikan apa
yang dipegang oleh gereja-gereja:
…. the churches point to the coming of
Jesus Christ as the great event of reconciliation. He has come into human
history in order to restore humanity and all creation to communion with God.
The churches declare that this was expressed in Christ's teaching about God and
the human person as well as in his healing, miracles and especially through his
death and resurrection.6
Upaya
gereja-gereja di Indonesia untuk menempatkan keesaan dalam konteks merawat umat
manusia dan berakar di dalam keyakinan akan satu tubuh paling tidak
memperlihatkan semangat keesaan yang sangat mendasar. Semangat inilah yang
membawa saya tetap pada keyakinan bahwa, di dalam semangatnya, PGI sungguh
belum tergantikan dan gereja-gereja di abad ini harus berjuang keras untuk
merealisasikan semangat tersebut. Gereja-gereja tidak bisa sekedar “melempar
batu” kepada PGI, sebaliknya gereja-gereja harus bercermin dan bertanya pada
diri sendiri: “mengapa semangat ini telah meredup dan gerakan keesaan akhirnya
terkena stroke?” Keesaan adalah milik gereja-gereja, oleh karena itu kelumpuhan
pada gerakan keesaan adalah kelumpuhan pada gereja-gereja itu sendiri. Kita
jangan cuma bisa menertawakan PGI, tetapi bercerminlah dan malu pada diri
sendiri. Gereja-gereja harus bertanya: “di manakah semangat Ut Omnes Unum Sint (Yoh. 17:21) yang pernah mewarnai
gerakan keesaan di Indonesia?” Sesungguhnya, saya tidak berada dalam posisi
untuk membela PGI sebagai sebuah lembaga dengan struktur birokrasinya. Apa yang
saya bela adalah semangat yang dulu pernah menyala-nyala dan kemudian
melahirkan DGI/PGI.
Dalam
konteks − sekali lagi meminjam apa yang pernah
dikatakan oleh Eka − gerakan keesaan yang mengalami
kelumpuhan, tidak bergerak dan Kena serangan stroke,
gereja-gereja di Indonesia toh tetap akan menghadapai tantangan
keesaan di abad 21. Suka atau tidak suka, tantangan itu akan datang dan
gereja-gereja harus menjawabnya dalam kondisi yang sedang terkena stroke. Dalam pertemuannya di
Brazil (2009), Continuation
Committee mencatat beberapa
hal mengenai contemporary
challenges bagi gerakan
keesaan, seperti: (1) dampak globalisasi (ekonomi, politik, budaya dan agama)
yang menghasilkan pergeseran identitas personal dan institusional; (2)
ketidakadilan yang terkait dengan persoalan distribusi kekuasaan; (3) persoalan
gender; (4) berkembangnya market
logic (barang lebih penting
dibandingkan manusia); (5) perubahan iklim yg berdampak pada kehidupan manusia,
termasuk menghasilkan konflik, migrasi, serta persoalan bioteknologi; (6)
pergeseraran komunikasi manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi
dan (7) berkembangnya religion-national
fundamentalism, relativism, privatization and market ideologies.7 Hal-hal ini bisa kita sandingkan
dengan apa yang pernah dicatat oleh Geoffrey Wainwright mengenai tantangan
keesaan di abad 21:
…. it seems likely that ecumenism in
the twenty-first century will have to take into account an increased
international interdependence in economics, politics, a worldwide web of
information and communication, a series of technological advances affecting the
beginning, shaping, and ending of life, and clash of civilization on a
quasi-religious basis. Internally, progress toward Christian unity will
correspondingly face the challenges and opportunities of finding theological
and practical agreement in the areas of justice and peace, truth-telling,
bioethics, and relation to other religions.8
Tantangan-tantangan
seperti ini rasanya terlalu canggih bagi gerakan keesaan di Indonesia.
Sepertinya, tantangan-tantangan tersebut akan berlalu begitu saja dan kita
tidak bisa memberikan arah saat menghadapinya, yah maklum sedang kena stroke. Kondisi ini tepat
seperti apa yang jauh-jauh hari sudah dikatakan oleh Eka:
Yang terjadi adalah perubahan-perubahan
yang terjadi di luar itu berlangsung begitu independen, tanpa sedikit pun peran
gereja dalam mempengaruhinya, apalagi mengarahkannya .... gereja hanya bisa
tergagap-gagap, terperanjat, dan kemudian berjalan terantuk-antuk, oleh karena
apa yang terjadi di sekitarnya itu terjadi melampaui yang dapat dibayangkan dan
diharapkan gereja.9
Pada
bagian awal saya sempat menyinggung mengenai berbagai kritik yang muncul di
tengah jemaat terhadap PGI. Kritikan yang pada dasarnya mengarah pada
pertanyaan mengenai sense of
destination dari PGI. Memang,
DGI/PGI telah menghasilkan Dokumen Keesaan yang perlu dihargai oleh semua pihak
mengingat dokumen tersebut minimal memancarkan tiga hal yang juga menjadi
bagian dari pergumulan keesaan, yakni: (1) kesadaran akan satu iman; (2)
kesadaran akan satu tugas panggilan bersama; (3) kesadaran bahwa sesungguhnya
setiap gereja merupakan perwujudan gereja Tuhan yang esa. Namun toh, kenyataannya gerakan
keesaan sudah terlanjur terkena stroke. Mengurai benang kusut gerakan keesaan
di Indonesia merupakan persoalan yang sangat rumit buat saya. Sekalipun
demikian, sesungguhnya saya merasa tertantang untuk melakukan hal tersebut.
Untuk sementara, saya tunda dulu keinginan tersebut mengingat dibutuhkan kajian
sosial-budaya yang mendalam untuk melakukan otopsi terhadap gerakan keesaan
yang sudah berjalan 59 tahun (1950-2009); di sini saya tidak bermaksud
mengidentikan gerakan keesaan dengan DGI/PGI, tapi saya hanya fokus pada
gerakan keesaan sebagaimana tampak pada perjalanan DGI/PGI.
Begitu
kusutnya gerakan keesaan di Indonesia sampai-sampai hal yang konyol pun bisa
terjadi. Istilah Oikmas (Oikumene dan Masyarakat) misalnya, kadang
diterjemahkan gereja – tanpa
bermaksud melakukan generalisasi – ke dalam dua bentuk yang saling
berhadap-hadapan. Istilah 'oikumene' misalnya dihubungkan dengan bentuk
kegiatan yang minimal memperlihatkan adanya kerjasama antargereja; entah
bantuan tertentu bagi gereja lain atau mengisi paduan suara di gereja lain.
Lalu, istilah 'masyarakat' diterjemahkan dalam bentuk kegiatan yang minimal
memperlihatkan pelayanan sosial gereja bagi masyarakat. Alhasil, istilah
'oikumene' ditempatkan dalam posisi yang saling berhadap-hadapan dengan istilah
'masyarakat'. Hal ini bukan saja aneh, tapi sungguh memprihatinkan. Pertama,
'aneh' karena secara teologis merupakan kekeliruan menempatkan 'oikumene' dan
'masyarakat' dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Oikumene bukan sekedar
kerjasama antargereja. Oikumene sesungguhnya berakar pada karya penyelamatan
Kristus bagi dunia, sekaligus menjadi tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan
Kristus bagi gereja untuk merawat dunia di mana gereja ditempatkan. Hal inilah
yang menjadi semangat dari gerakan keesaan. Gereja tidak berada dalam posisi menerima
atau menolak keesaan mengingat keesaan adalah tugas dan panggilan gereja. Hal
ini dilukiskan dengan baik oleh continuation
committee:
The ecumenical movement would not exist
without the churches’ commitment to the search for visible unity and a common
witness to the world. This commitment was and continues to be a task the
churches cannot choose or reject (John 17:21). Churches are called to
participate in the reconciling and healing mission of God who "was pleased
to reconcile to himself all things, weather on earth or in heaven through Jesus
Christ (Kol. 1:20/Ef. 1:10). The goal for which the churches are striving is
first of all a gift of God's love for creation and all humanity. The fellowship
among the churches (koinonia) and the sharing of gifts they have received
reflect the relational reality of the triune God, Father, the Son and the Holy
Spirit.10
Kedua,
'memprihatinkan' karena setelah 59 tahun perjalanan
gerakan keesaan – sebagaimana nampak dalam perjalanan DGI/PGI – kita masih menjumpai kekonyolan
seperti ini. Mau dikemanakan perjalanan yang sudah berlangsung selama 59 tahun
itu?
Terkait
dengan berbagai kritikan mengenai sense
of destination, saya ingin
memberikan sedikit catatan yang mungkin bisa menjadi perhatian kita bersama; tentu bukan suatu hal yang sama
sekali baru. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, di sini saya tidak mulai
dari abstrasi teoritis yang rumit-rumit. Catatan yang saya berikan lebih
terkait dengan harapan yang muncul dari jemaat terhadap PGI. Sekalipun jemaat
melakukan kritik terhadap PGI, sesungguhnya mereka menaruh harapan yang besar
terhadap PGI. Saya tidak mengatakan ini dari textbook tertentu, tetapi dari pengalaman yang
saya jumpai langsung di lapangan. Menariknya, hal ini pun sudah jauh-jauh hari
diingatkan Eka:
.... bagi saya yang paling unik (dan
paling sedikit untuk sementara irreplaceable dan indispensable)
adalah, bahwa dengan segala keterbatasannya PGI masih diakui oleh masyarakat
Kristiani maupun oleh masyarakat luas di Indonesia, sebagai pembawa suara umat
Kristen Protestan di tingkat nasional.11
Saya
ingin merumuskan catatan tersebut dengan sebuah pertanyaan: “mana yang paling
“gemuk” strukturnya, apakah PGI di Jl, Salemba atau PGI di tingkat wilayah?”
Sejujurnya, saya tidak memiliki banyak data mengenai hal ini. Namun, secara
umum saya mendapat kesan bahwa PGI di Jl. Salemba jauh lebih “gemuk”
dibandingkan PGI di tingkat wilayah yang praktis dikeluhkan jemaat sebagai
lembaga yang tidak memiliki kegiatan. Padahal, sesungguhnya PGI di tingkat
wilayahlah yang langsung berada di tengah-tengah pergumulan gereja-gereja. Di
sini saya tidak memahami PGI – di
Jl. Salemba dan di wilayah – secara
hirarkis, dan memang bukan demikian relasinya. Apa yang hendak saya katakan
adalah, persentuhan jemaat dengan PGI justru berada di tingkat wilayah. Oleh
karena itu, PGI di Jl. Salemba seharusnya lebih ramping dibandingkan PGI di
tingkat wilayah. Sekaligus, PGI di tingkat wilayah dapat berfungsi sebagai cultural reservoir di mana berbagai pergumulan
(sosial-politik), tradisi gereja, kebudayaan, hasil-hasil perjalanan gerakan
keesaan selama puluhan tahun dan berbagai kekayaan gereja berjumpa dan
didiskusikan dalam kehidupan bersama (menghasilkan ketegangan). Ketegangan ini − dialog antara iman Kristen dengan
dunia − penting untuk terus
dijaga sehingga kekristenan bisa mengakar di dalam kebudayaan dan pergumulan
riil yang ada di tengah dunia, tidak sekedar produk cangkokan; ini bukan
sekedar persoalan masa lalu, lihat saja derasnya arus budaya konsumeristik yang
pada akhirnya membuat agama tidak lebih sebagai cangkokan pada manusia-manusia
modern. Harapan saya, dalam cultural
reservoir ini berkembang ecumenical narratives yang akan berfungsi sebagai building blocks bagi common
basis dari gerakan keesaan.
Hal ini sekaligus menempatkan jemaat-jemaat sebagai center dari gerakan keesaan.
Pertanyaan
berikutnya, “lalu siapa yang harus melakukan ini?” Dari awal berkembangnya
gerakan keesaan yang kemudian menghasilkan World Council of Churches (WCC),
jauh-jauh hari sudah ditekankan bahwa keesaan adalah tugas dari gereja-gereja
sendiri. Gereja-gereja lah yang harus bekerja keras untuk mewujudkannya karena
hal tersebut merupakan tugas dan panggilan yang diberikan Kristus kepada
gereja-Nya yang esa. Apabila tidak, gereja tak ubahnya perkumpulan orang-orang
semata. Di sini Michael Root memberikan penekanan yang menarik:
…. unity (along with holiness,
catholicity, and apostolicity) is an essential characteristic of the church. To
say that it is essential is to say that it must be characteristic of anything
that might be called church. If no body possesses such unity, then the church
has ceased to exist.12
Oleh
karena itu, kita semua harus bertobat dan memikul bersama-sama tugas dan
tanggungjawab yang telah dipercayakan oleh Kristus. Ingatlah apa yang dikatakan
oleh Walter kasper: “There is no ecumenism without conversion, and there is no
future at all without conversion.”13
Februari 2010
---------------------------------------
1 Chr.
de Jonge, Menuju Keesaan
Gereja:Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis, cet. ke-3
(Jakarta: BKP Gunung Mulia, 1996), 88
2 Eka
Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, dalam: Pergulatan Kehadiran Kristen di
Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera, eds. Martin L. Sinaga,
Trisno S. Sutanto et al. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 476.
3 L.A.
Hoedemaker, “Keesaan dan Kemandirian”, dalam: Konteks
Berteologi di Indonesia, ed. Eka Darmaputera, cet. ke-2 (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), 329-330.
4 Weinata
Sairin, “55 Tahun Gerakan Oikoumene PGI”,http://artikel.sabda.org/55_tahun_gerakan_oikoumene_pgi (diakses
Oktober 2009).
5 de
Jonge, Menuju Keesaan
Gereja:Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis, 85; P.D.
Latuihamallo, “Teologi dan Nasionalisme”, dalam: Tabah Melangkah: Ulang Tahun ke-50
STT Jakarta, ed. S.W. Wahono,
P.D. Latuihamallo et al. (Jakarta: STT Jakarta, 1984), 89; Jan S. Aritonang, “
The Ecumenical Movement”, dalam: A
History of Christianity, eds. Jan S. Aritonang & Karel Steenbrink
(Leiden: Brill, 2008), 828-829, 832.
6 Thomas
E. Fitzgerald, The Ecumenical
Movement: An Introductory History (London:
Praeger, 2004), 5-6.
7 WCC,
"Report on the second meeting of the Continuation Committee: Continuation
Committee on Ecumenism in the 21st Century: Report on the second meeting
of the committee in Belém, Brazil",
http://www.oikoumene.org/resources/documents/wcc-commissions/continuation-committee-on-ecumenism-in-the-21st-century/17-01-09-report-on-the-2nd-meeting-of-the-continuation-committee.html
(diakses Oktober 2009).
8 Geoffrey
Wainwright, “The Global Structure of Ecumenism”, dalam: The Ecumenical Future, eds.
C.E. Braaten & R.W. Jenson (Michigan/Cambridge: Eerdmans Publishing
Company, 2004), 27.
9 Eka
Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, 480.
10 WCC, "Report on the second meeting
of the Continuation Committee: Continuation Committee on Ecumenism in the 21st
Century: Report on the second meeting of the committee in Belém, Brazil",
http://www.oikoumene.org/resources/documents/wcc-commissions/continuation-committee-on-ecumenism-in-the-21st-century/17-01-09-report-on-the-2nd-meeting-of-the-continuation-committee.html
(diakses Oktober 2009).
11 Eka
Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, 486.
12 Michael
Root, “Essential Unity and Lived Communion”, dalam: The Ecumenical Future, eds.
C.E. Braaten & R.W. Jenson (Michigan/Cambridge: Eerdmans Publishing
Company, 2004), 108.
13 Kasper,
"The Ecumenical Movement in the 21st Century - A Contribution from the PCPCU", www.questia.com (diakses
Februari 2008).