Apakah PGI Masih Dibutuhkan?

-----------------------------------------------------------------------------------------
Tulisan ini pernah dimuat dalam buku Orang Muda Bicara Oikumene. 
Namun, dalam buku tersebut terdapat dua halaman yang hilang atau terpotong. 
Oleh karena itu, versi lengkapnya saya masukan di sini.
-----------------------------------------------------------------------------------------


 Beril Huliselan


Sejujurnya, judul ini merupakan usulan yang dilontarkan sdr. Trisno Sutanto dalam percakapan kami di kantin STT Jakarta. Sekalipun hanya sebuah usulan, saya sebenarnya agak terusik dengan pertanyaan tersebut. Di satu sisi, tulisan ini hendak menjawab pertanyaan tersebut; semoga saya bisa melakukannya. Namun di sisi lain, tulisan ini juga terkait dengan kegelisahan yang muncul saat saya melakukan wawancara di beberapa jemaat.

Saya tidak akan mengawali tulisan ini dengan uraian yang panjang-lebar, sebaliknya saya ingin langsung menjawab pertanyaan tersebut. Setelah itu, baru saya memberikan argumentasinya. Jadi, “apakah PGI masih dibutuhkan?” Ini pertanyaan yang sulit bagi saya, tapi toh saya ingin sekali menjawabnya. Untuk itu, saya mempunyai dua jawaban. Jawaban pertama, dengan segala permohonan maaf kepada berbagai pihak yang sudah berjuang keras dalam perjalanan PGI, saya harus mengatakan bahwa “PGI memang sudah tidak dibutuhkan lagi”. Dengan kata lain, apabila PGI dilihat sebagai sebuah lembaga  lengkap dengan struktur birokrasinya  maka saya berani mengatakan: “sesungguhnya PGI sudah tidak dibutuhkan lagi”. Pernyataan ini tidak muncul dari abstraksi teoritis yang rumit-rumit, tapi sebaliknya justru muncul dari keluh-kesah yang saya jumpai di beberapa jemaat. PGI praktis telah menjadi lembaga yang asing bagi jemaat, apalagi kalau mau bicara tentang Dokumen Keesaan Gereja (DKG), walah hualam. Hal ini mengingatkan saya pada apa yang dulu (1990-an) pernah disinggung Christian de Jonge. Di satu sisi, de Jonge menilai DGI/PGI memelopori pokok-pokok penting dalam perjalanan keesaan di Indonesia. Namun, beliau langsung menambahkan: “.... timbul bahaya bahwa DGI/PGI … menjadi wadah di samping gereja-gereja anggota, bukan lagi wadah dari gereja-gereja anggota, singkatnya mulai hidup sendiri, dengan kepentingan-kepentingan tersendiri.”1 De facto, bahaya itu sudah menjadi kenyataan. Bukan baru sekarang, jauh-jauh hari Eka Darmaputera pun sudah mengatakan “.... selama 47 tahun ini satu hal yang dapat kita lihat dengan jelas adalah betapa gerakan oikumene kita semakin tidak bergerak. Lumpuh. Kena serangan 'stroke'.”2

Sampai sekarang, PGI masih menyelenggarakan baik sidang raya maupun sidang MPL (Majelis Pekerja Lengkap), namun sejujurnya saya harus mengatakan bahwa jemaat tidak lagi “mengenal” apa itu PGI; ingat bahwa PGI yang terpotret di tengah jemaat adalah PGI-W (PGI Wilayah), sekalipun tidak menutup kemungkinan bahwa potret tersebut juga terkait dengan PGI di Jl. Salemba. Bukan cuma jemaat, pemerintah setempat – di mana jemaat berada – pun tidak lagi melirik PGI. Jemaat dan pemerintah setempat praktis lebih mengenal lembaga-lembaga antargereja maupun forum antaragama yang berada di luar PGI, dan tentunya lebih aktif berhubungan mereka. Berlahan namun pasti, lembaga dan forum seperti ini mulai menggusur keberadaan PGI. Lebih memprihatinkan lagi, di tengah kondisi seperti ini, para pendeta malah ramai-ramai terjun bebas menjadi Caleg (calon legislatif). Dan dalam pengalaman jemaat, euphoria ini turut menyeret PGI di tingkat wilayah sehingga timbul antipati dari jemaat. Pertemuan-pertemuan yang ada di tingkat wilayah pun dianggap membosankan, tidak jelas arahnya, pengelolaannya tidak profesional, eksklusif, regenerasi tidak berjalan, diboncengi kepentingan politik tertentu dan diselingi transaksi jual-beli barang-barang tertentu; jangan-jangan ada arisan juga. Berbagai kritikan ini bisa dikatakan menggumpal pada satu pertanyaan besar, yakni pertanyaan mengenai sense of destination dari PGI. Dalam konteks ini, ijinkanlah saya mengutip  dengan tetap merahasiakan sumbernya  salah satu komentar mengenai PGI yang muncul di jemaat. Komentar tersebut berbunyi demikian: “.... PGI praktis tidak berbuat apa-apa. Oleh karena itu .... persoalan yang muncul adalah baik anggota jemaat dan penatua merasa mereka tidak tahu PGI itu ngapain saja ....” Hal ini menyisakan satu pertanyaan pada saya, “ke mana semangat keesaan yang dulu pernah menyala-nyala itu?” walah hualam, benar-benar sudah kena stroke.

Apabila jawaban pertama menekankan bahwa PGI tidak dibutuhkan, jawaban kedua justru sebaliknya. Untuk jawaban kedua, saya terus terang harus mengatakan bahwa “PGI sungguh-sungguh masih dibutuhkan oleh gereja-gereja”. Saya sepenuhnya menyadari bahwa sudah muncul berbagai lembaga antargereja maupun forum antaragama yang di tingkat jemaat setempat mulai menggusur peran PGI. Namun saya toh harus mengatakan, dengan segala permohonan maaf kepada berbagai pihak yang sudah bekerja keras untuk mewujudkan lembaga atau forum tersebut, bahwa lembaga-lembaga tersebut pada hakikatnya belum bisa menggantikan keunikan PGI. Dengan kata lain, apabila dilihat dari spirit yang melahirkan DGI/PGI, sesungguhnya DGI/PGI belum tergantikan untuk saat ini. Sekali lagi, saya tidak berbicara dari abstraksi teoritis yang rumit-rumit. Sebaliknya, saya berbicara dari pengalaman yang dijumpai di beberapa jemaat. Lembaga-lembaga tersebut lebih terkesan sebagai wadah koordinasi dengan orientasi yang cenderung pragmatis; pada saat gereja berhadapan dengan persoalan perijinan maka minimal ada wadah untuk berjuang secara bersama-sama, termasuk juga koordinasi dalam rangka pembagian bantuan sosial sampai pengamanan gedung gereja pada saat pelaksanaan hari raya gerejawi. Lebih memprihatinkan lagi, kadang ada kecurigaan bahwa lembaga antargereja ini diboncengi oleh kelompok Kristen tertentu yang melakukan “kristenisasi” terhadap gereja-gereja lain yang juga menjadi bagian dari lembaga tersebut; maksudnya, membuat warna mereka (gereja tertentu) lebih dominan di dalam lembaga tersebut.

Sejujurnya, saya sangat berterimakasih pada lembaga-lembaga seperti ini mengingat perjumpaan antargereja maupun antaragama bisa tetap berlangsung dan semoga dapat menghasilkan transformasi kultural bagi kehidupan bersama. Sekalipun demikian, saya tetap pada pendirian semula bahwa di dalam semangatnya, PGI sungguh belum tergantikan. Apabila saya harus merumuskan semangat yang melandasi lahirnya DGI di tahun 1950, saya akan memilik satu kata saja, yakni rekonsiliasi.

Selain terdapat beberapa perkembangan  pengaruh gerakan keesaan di dunia internasional, penjajahan Jepang yang memaksa gereja-gereja untuk mandiri, berkembangnya nasionalisme dan munculnya gerakan pemuda – satu hal yang tidak bisa dilupakan adalah realitas kehancuran yang dialami masyarakat dan gereja-gereja sebagai akibat perang berkepanjangan. Kondisi ini diperburuk lagi dengan tersekmentasinya gereja-gereja dalam garis dominasi masing masing, plus bentuk kekristenan – sebagaimana disinggung oleh L.A. Hoedemaker – yang sekedar dicangkokkan pada masyarakat sesuai dengan garis kesukuan.3 Alhasil, kekristenan tidak mengakar di dalam kebudayaan yang hidup di masyarakat (tidak menghasilkan perjumpaan). Sebaliknya, justru struktur kesukuan yang menonjol. Sekmentasi ini tentunya membuat gereja tidak bisa bergerak optimal, sebagaimana dikatakan Weinata Sairin: “Gereja-gereja saat itu hidup terserak-serak di berbagai wilayah Nusantara, dalam lingkungan denominasi sendiri, dan sebab itu hampir tidak pernah mampu menampilkan peran yang memadai di tengah kecamuk dunia.”4

Pembenahan terhadap kehancuran dan pergumulan mengenai misi dalam konteks yang baru (Indonesia merdeka) mendapat sorotan pasca pendudukan Jepang (1942-1945); tentunya di dahului semakin tereksposnya kalangan Kristen dalam semangat nasionalisme di tanah air dan gerakan keesaan di dunia internasional. Dalam pergumulan pasca pendudukan Jepang, peranan gereja dalam merawat umat manusia muncul dan dipahami sebagai bentuk keesaan yang holistik, komperhensif dan mengakar dalam kesadaran akan satu tubuh (Kristus).5 Dalam konteks inilah, rasanya kita harus memahami dukungan dari gereja-gereja maupun lembaga-lembaga antargereja di tingkat regional terhadap pembentukan Dewan Gereja-gereja di tingkat nasional. Di sini semangat rekonsiliasi bukan sekedar menghargai perbedaan yang ada atau sekedar kerjasama yang pragmatis. Lebih dari itu, rekonsiliasi menjadi semangat gereja-gereja untuk bergerak melampaui sekat-sekat yang selama ini memisahkan mereka dan mewujudkan kesatuan yang nyata (visible) dalam merawat dunia yang compang-camping. Rekonsiliasi bukan persoalan teknis yang terkait dengan upaya-upaya koordinasi belaka. Sebaliknya, rekonsiliasi adalah persoalan teologis yang langsung menjadi jantung dari pemberitaan Injil dan terhubung dengan dua peristiwa penting, yakni: salib dan kebangkitan. Terkait dengan hal ini, Thomas E. Fitzgerald memberikan catatan penting dalam ecumenical imperative yang diyakininya merefleksikan apa yang dipegang oleh gereja-gereja:

…. the churches point to the coming of Jesus Christ as the great event of reconciliation. He has come into human history in order to restore humanity and all creation to communion with God. The churches declare that this was expressed in Christ's teaching about God and the human person as well as in his healing, miracles and especially through his death and resurrection.6

Upaya gereja-gereja di Indonesia untuk menempatkan keesaan dalam konteks merawat umat manusia dan berakar di dalam keyakinan akan satu tubuh paling tidak memperlihatkan semangat keesaan yang sangat mendasar. Semangat inilah yang membawa saya tetap pada keyakinan bahwa, di dalam semangatnya, PGI sungguh belum tergantikan dan gereja-gereja di abad ini harus berjuang keras untuk merealisasikan semangat tersebut. Gereja-gereja tidak bisa sekedar “melempar batu” kepada PGI, sebaliknya gereja-gereja harus bercermin dan bertanya pada diri sendiri: “mengapa semangat ini telah meredup dan gerakan keesaan akhirnya terkena stroke?” Keesaan adalah milik gereja-gereja, oleh karena itu kelumpuhan pada gerakan keesaan adalah kelumpuhan pada gereja-gereja itu sendiri. Kita jangan cuma bisa menertawakan PGI, tetapi bercerminlah dan malu pada diri sendiri. Gereja-gereja harus bertanya: “di manakah semangat Ut Omnes Unum Sint (Yoh. 17:21) yang pernah mewarnai gerakan keesaan di Indonesia?” Sesungguhnya, saya tidak berada dalam posisi untuk membela PGI sebagai sebuah lembaga dengan struktur birokrasinya. Apa yang saya bela adalah semangat yang dulu pernah menyala-nyala dan kemudian melahirkan DGI/PGI.

Dalam konteks  sekali lagi meminjam apa yang pernah dikatakan oleh Eka  gerakan keesaan yang mengalami kelumpuhan, tidak bergerak dan Kena serangan stroke, gereja-gereja di Indonesia toh tetap akan menghadapai tantangan keesaan di abad 21. Suka atau tidak suka, tantangan itu akan datang dan gereja-gereja harus menjawabnya dalam kondisi yang sedang terkena stroke. Dalam pertemuannya di Brazil (2009), Continuation Committee mencatat beberapa hal mengenai contemporary challenges bagi gerakan keesaan, seperti: (1) dampak globalisasi (ekonomi, politik, budaya dan agama) yang menghasilkan pergeseran identitas personal dan institusional; (2) ketidakadilan yang terkait dengan persoalan distribusi kekuasaan; (3) persoalan gender; (4) berkembangnya market logic (barang lebih penting dibandingkan manusia); (5) perubahan iklim yg berdampak pada kehidupan manusia, termasuk menghasilkan konflik, migrasi, serta persoalan bioteknologi; (6) pergeseraran komunikasi manusia yang dipengaruhi oleh perkembangan teknologi dan (7) berkembangnya religion-national fundamentalism, relativism, privatization and market ideologies.7 Hal-hal ini bisa kita sandingkan dengan apa yang pernah dicatat oleh Geoffrey Wainwright mengenai tantangan keesaan di abad 21:

…. it seems likely that ecumenism in the twenty-first century will have to take into account an increased international interdependence in economics, politics, a worldwide web of information and communication, a series of technological advances affecting the beginning, shaping, and ending of life, and clash of civilization on a quasi-religious basis. Internally, progress toward Christian unity will correspondingly face the challenges and opportunities of finding theological and practical agreement in the areas of justice and peace, truth-telling, bioethics, and relation to other religions.8

Tantangan-tantangan seperti ini rasanya terlalu canggih bagi gerakan keesaan di Indonesia. Sepertinya, tantangan-tantangan tersebut akan berlalu begitu saja dan kita tidak bisa memberikan arah saat menghadapinya, yah maklum sedang kena stroke. Kondisi ini tepat seperti apa yang jauh-jauh hari sudah dikatakan oleh Eka:

Yang terjadi adalah perubahan-perubahan yang terjadi di luar itu berlangsung begitu independen, tanpa sedikit pun peran gereja dalam mempengaruhinya, apalagi mengarahkannya .... gereja hanya bisa tergagap-gagap, terperanjat, dan kemudian berjalan terantuk-antuk, oleh karena apa yang terjadi di sekitarnya itu terjadi melampaui yang dapat dibayangkan dan diharapkan gereja.9

Pada bagian awal saya sempat menyinggung mengenai berbagai kritik yang muncul di tengah jemaat terhadap PGI. Kritikan yang pada dasarnya mengarah pada pertanyaan mengenai sense of destination dari PGI. Memang, DGI/PGI telah menghasilkan Dokumen Keesaan yang perlu dihargai oleh semua pihak mengingat dokumen tersebut minimal memancarkan tiga hal yang juga menjadi bagian dari pergumulan keesaan, yakni: (1) kesadaran akan satu iman; (2) kesadaran akan satu tugas panggilan bersama; (3) kesadaran bahwa sesungguhnya setiap gereja merupakan perwujudan gereja Tuhan yang esa. Namun toh, kenyataannya gerakan keesaan sudah terlanjur terkena stroke. Mengurai benang kusut gerakan keesaan di Indonesia merupakan persoalan yang sangat rumit buat saya. Sekalipun demikian, sesungguhnya saya merasa tertantang untuk melakukan hal tersebut. Untuk sementara, saya tunda dulu keinginan tersebut mengingat dibutuhkan kajian sosial-budaya yang mendalam untuk melakukan otopsi terhadap gerakan keesaan yang sudah berjalan 59 tahun (1950-2009); di sini saya tidak bermaksud mengidentikan gerakan keesaan dengan DGI/PGI, tapi saya hanya fokus pada gerakan keesaan sebagaimana tampak pada perjalanan DGI/PGI.

Begitu kusutnya gerakan keesaan di Indonesia sampai-sampai hal yang konyol pun bisa terjadi. Istilah Oikmas (Oikumene dan Masyarakat) misalnya, kadang diterjemahkan gereja – tanpa bermaksud melakukan generalisasi – ke dalam dua bentuk yang saling berhadap-hadapan. Istilah 'oikumene' misalnya dihubungkan dengan bentuk kegiatan yang minimal memperlihatkan adanya kerjasama antargereja; entah bantuan tertentu bagi gereja lain atau mengisi paduan suara di gereja lain. Lalu, istilah 'masyarakat' diterjemahkan dalam bentuk kegiatan yang minimal memperlihatkan pelayanan sosial gereja bagi masyarakat. Alhasil, istilah 'oikumene' ditempatkan dalam posisi yang saling berhadap-hadapan dengan istilah 'masyarakat'. Hal ini bukan saja aneh, tapi sungguh memprihatinkan. Pertama, 'aneh' karena secara teologis merupakan kekeliruan menempatkan 'oikumene' dan 'masyarakat' dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Oikumene bukan sekedar kerjasama antargereja. Oikumene sesungguhnya berakar pada karya penyelamatan Kristus bagi dunia, sekaligus menjadi tugas dan tanggungjawab yang dipercayakan Kristus bagi gereja untuk merawat dunia di mana gereja ditempatkan. Hal inilah yang menjadi semangat dari gerakan keesaan. Gereja tidak berada dalam posisi menerima atau menolak keesaan mengingat keesaan adalah tugas dan panggilan gereja. Hal ini dilukiskan dengan baik oleh continuation committee:

The ecumenical movement would not exist without the churches’ commitment to the search for visible unity and a common witness to the world. This commitment was and continues to be a task the churches cannot choose or reject (John 17:21). Churches are called to participate in the reconciling and healing mission of God who "was pleased to reconcile to himself all things, weather on earth or in heaven through Jesus Christ (Kol. 1:20/Ef. 1:10). The goal for which the churches are striving is first of all a gift of God's love for creation and all humanity. The fellowship among the churches (koinonia) and the sharing of gifts they have received reflect the relational reality of the triune God, Father, the Son and the Holy Spirit.10

Kedua, 'memprihatinkan' karena setelah 59 tahun perjalanan gerakan keesaan  sebagaimana nampak dalam perjalanan DGI/PGI – kita masih menjumpai kekonyolan seperti ini. Mau dikemanakan perjalanan yang sudah berlangsung selama 59 tahun itu?

Terkait dengan berbagai kritikan mengenai sense of destination, saya ingin memberikan sedikit catatan yang mungkin bisa menjadi perhatian kita bersama; tentu bukan suatu hal yang sama sekali baru. Sebagaimana yang saya katakan sebelumnya, di sini saya tidak mulai dari abstrasi teoritis yang rumit-rumit. Catatan yang saya berikan lebih terkait dengan harapan yang muncul dari jemaat terhadap PGI. Sekalipun jemaat melakukan kritik terhadap PGI, sesungguhnya mereka menaruh harapan yang besar terhadap PGI. Saya tidak mengatakan ini dari textbook tertentu, tetapi dari pengalaman yang saya jumpai langsung di lapangan. Menariknya, hal ini pun sudah jauh-jauh hari diingatkan Eka:

.... bagi saya yang paling unik (dan paling sedikit untuk sementara irreplaceable dan indispensable) adalah, bahwa dengan segala keterbatasannya PGI masih diakui oleh masyarakat Kristiani maupun oleh masyarakat luas di Indonesia, sebagai pembawa suara umat Kristen Protestan di tingkat nasional.11

Saya ingin merumuskan catatan tersebut dengan sebuah pertanyaan: “mana yang paling “gemuk” strukturnya, apakah PGI di Jl, Salemba atau PGI di tingkat wilayah?” Sejujurnya, saya tidak memiliki banyak data mengenai hal ini. Namun, secara umum saya mendapat kesan bahwa PGI di Jl. Salemba jauh lebih “gemuk” dibandingkan PGI di tingkat wilayah yang praktis dikeluhkan jemaat sebagai lembaga yang tidak memiliki kegiatan. Padahal, sesungguhnya PGI di tingkat wilayahlah yang langsung berada di tengah-tengah pergumulan gereja-gereja. Di sini saya tidak memahami PGI – di Jl. Salemba dan di wilayah – secara hirarkis, dan memang bukan demikian relasinya. Apa yang hendak saya katakan adalah, persentuhan jemaat dengan PGI justru berada di tingkat wilayah. Oleh karena itu, PGI di Jl. Salemba seharusnya lebih ramping dibandingkan PGI di tingkat wilayah. Sekaligus, PGI di tingkat wilayah dapat berfungsi sebagai cultural reservoir di mana berbagai pergumulan (sosial-politik), tradisi gereja, kebudayaan, hasil-hasil perjalanan gerakan keesaan selama puluhan tahun dan berbagai kekayaan gereja berjumpa dan didiskusikan dalam kehidupan bersama (menghasilkan ketegangan). Ketegangan ini − dialog antara iman Kristen dengan dunia − penting untuk terus dijaga sehingga kekristenan bisa mengakar di dalam kebudayaan dan pergumulan riil yang ada di tengah dunia, tidak sekedar produk cangkokan; ini bukan sekedar persoalan masa lalu, lihat saja derasnya arus budaya konsumeristik yang pada akhirnya membuat agama tidak lebih sebagai cangkokan pada manusia-manusia modern. Harapan saya, dalam cultural reservoir ini berkembang ecumenical narratives yang akan berfungsi sebagai building blocks bagi common basis dari gerakan keesaan. Hal ini sekaligus menempatkan jemaat-jemaat sebagai center dari gerakan keesaan.

Pertanyaan berikutnya, “lalu siapa yang harus melakukan ini?” Dari awal berkembangnya gerakan keesaan yang kemudian menghasilkan World Council of Churches (WCC), jauh-jauh hari sudah ditekankan bahwa keesaan adalah tugas dari gereja-gereja sendiri. Gereja-gereja lah yang harus bekerja keras untuk mewujudkannya karena hal tersebut merupakan tugas dan panggilan yang diberikan Kristus kepada gereja-Nya yang esa. Apabila tidak, gereja tak ubahnya perkumpulan orang-orang semata. Di sini Michael Root memberikan penekanan yang menarik:

…. unity (along with holiness, catholicity, and apostolicity) is an essential characteristic of the church. To say that it is essential is to say that it must be characteristic of anything that might be called church. If no body possesses such unity, then the church has ceased to exist.12

Oleh karena itu, kita semua harus bertobat dan memikul bersama-sama tugas dan tanggungjawab yang telah dipercayakan oleh Kristus. Ingatlah apa yang dikatakan oleh Walter kasper: “There is no ecumenism without conversion, and there is no future at all without conversion.”13


Februari 2010

---------------------------------------
1 Chr. de Jonge, Menuju Keesaan Gereja:Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis, cet. ke-3 (Jakarta: BKP Gunung Mulia, 1996), 88
2 Eka Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, dalam: Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera, eds. Martin L. Sinaga, Trisno S. Sutanto et al. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 476.
3 L.A. Hoedemaker, “Keesaan dan Kemandirian”, dalam: Konteks Berteologi di Indonesia, ed. Eka Darmaputera, cet. ke-2 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), 329-330.
4 Weinata Sairin, “55 Tahun Gerakan Oikoumene PGI”,http://artikel.sabda.org/55_tahun_gerakan_oikoumene_pgi (diakses Oktober 2009).
5 de Jonge, Menuju Keesaan Gereja:Sejarah, Dokumen-dokumen dan Tema-tema Gerakan Oikumenis, 85; P.D. Latuihamallo, “Teologi dan Nasionalisme”, dalam: Tabah Melangkah: Ulang Tahun ke-50 STT Jakarta, ed. S.W. Wahono, P.D. Latuihamallo et al. (Jakarta: STT Jakarta, 1984), 89; Jan S. Aritonang, “ The Ecumenical Movement”, dalam: A History of Christianity, eds. Jan S. Aritonang & Karel Steenbrink (Leiden: Brill, 2008), 828-829, 832.
6 Thomas E. Fitzgerald, The Ecumenical Movement: An Introductory History (London: Praeger, 2004), 5-6.
7 WCC, "Report on the second meeting of the Continuation Committee: Continuation Committee on Ecumenism in the  21st Century: Report on the second meeting of the committee in Belém, Brazil", http://www.oikoumene.org/resources/documents/wcc-commissions/continuation-committee-on-ecumenism-in-the-21st-century/17-01-09-report-on-the-2nd-meeting-of-the-continuation-committee.html (diakses Oktober 2009).
8 Geoffrey Wainwright, “The Global Structure of Ecumenism”, dalam: The Ecumenical Future, eds. C.E. Braaten & R.W. Jenson (Michigan/Cambridge: Eerdmans Publishing Company, 2004), 27.
9 Eka Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, 480.
10 WCC, "Report on the second meeting of the Continuation Committee: Continuation Committee on Ecumenism in the 21st Century: Report on the second meeting of the committee in Belém, Brazil", http://www.oikoumene.org/resources/documents/wcc-commissions/continuation-committee-on-ecumenism-in-the-21st-century/17-01-09-report-on-the-2nd-meeting-of-the-continuation-committee.html (diakses Oktober 2009).
11 Eka Darmaputera, “Supaya Mereka Menjadi Satu”, 486.
12 Michael Root, “Essential Unity and Lived Communion”, dalam: The Ecumenical Future, eds. C.E. Braaten & R.W. Jenson (Michigan/Cambridge: Eerdmans Publishing Company, 2004), 108.
13 Kasper, "The Ecumenical Movement in the 21st Century - A Contribution from the PCPCU", www.questia.com (diakses Februari 2008).