Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

On The Jewish Question: Works of Karl Marx 1844

 (Beril Huliselan)



On The Jewish Question merupakan karya Karl Marx yang sering dikelompokkan ke dalam, atau menjadi bagian dari, tulisan-tulisan awal Marx (Marx's Early Wiritings) yang diproduksi pada tahun 1840-an. Beberapa penulis, seperti Dennis K. Fischman dalam bukunya yang berjudul Political Discourse in Exile: Karl Marx and the Jewish Question, menyandingkan On The Jewish Question dengan tulisan Marx lainnya (bersama Frederick Engels) yang berjudul  The Holy Family or Critique of Critical Criticism. Bagi Fischman, kedua tulisan tersebut memperlihatkan bagaimana persoalan yang terkait dengan kalangan Yahudi (masalah emansipasi) memiliki kontribusi penting bagi keyakinan Marx mengenai emansipasi umat manusia. Fischman bahkan mengatakan:

Marx chooses the Jewish question as his battlefield ... he draws a tight connection between Jewish vulgarism and the ability to see the meaning of real human freedom. [1]

Pernyataan ini bisa kita bandingkan dengan argument  A. Toscano, dalam tulisan berjudul Rethinking Marx and Religion, yang menyatakan bahwa: 

... The Holy Family elaborate on this conviction that it is necessary to step outside an obsessive confrontation with ‘religious representations’, precisely in order to examine and transform the very conditions of possibility for these representations, for their seemingly autonomous, ‘spectral’ existence.[2]

Selain Toscano, argument Fischman juga bisa kita sandingkan dengan analisis yang dibuat oleh Yoav Peled (seorang pengajar dari universitas Tel Aviv) terhadap tulisan On The Jewish Question. Bagi Peled, “On The Jewish Question” merupakan contribusi Marx terhadap persoalan emansipasi kalangan Yahudi di Jerman, dan sekaligus dijadikan Marx sebagai kesempatan untuk mengembangkan philosophical advances-nya, khususnya mengenai emansipasi umat manusia.[3] Argumen ini diajukan Peled untuk merespon dua cara pembacaan yang menurutnya keliru. Pertama, pembacaan yang menempatkan On The Jewish Question sebagai dokumen anti Semit (anti-semitic document). Pembacaan seperti ini, bagi Peled, mengabaikan jawaban yang diberikan Marx sebagai respon terhadap persoalan emansipasi Yahudi di Jerman. Sedangkan kekeliruan kedua, terletak pada argument bahwa On The Jewish Question sama sekali tidak berhubungan dengan persoalan emansipasi Yahudi; Marx dipandang tidak menaruh minat pada hal tersebut. Dengan kata lain, On The Jewish Question seolah-olah berbicara mengenai sesuatu yang lain, dan tidak terkait dengan catatan Marx terhadap emansipasi Yahudi itu sendiri. Bagi Peled, pembacaan seperti ini keliru karena: “This interpretation requires a radical separation between the philosophical first part of the essay and its ‘anti-semitic’ second part.”[4] Marx menggunakan bahasa yang menyinggung sensitivitas para pembaca di era pasca holocaust. Ini terlihat dari tindakan Marx menyamakan istilah Judentum (Yudaisme) dengan uang dan egoisme; sebagaimana tampak pada bagian kedua On The Jewish Question. Hal seperti ini membuat orang, khususnya para pendukung Marx, berusaha menyelamatkan On The Jewish Question dari apa yang disebut Peled sebagai anti-semitic shell. Dan karena itu, bagi Peled, mereka seperti hendak memisahkan secara radikal muatan filosofis On The Jewish Question dari anti-semitic shell-nya.[5]

Analisis Peled sesungguhnya bisa dipahami mengingat catatan kritis Marx terhadap persoalan emansipasi Yahudi dirumuskan dalam bahasa yang terkesan kasar, khususnya untuk pembaca masa kini. Namun, bahasa yang digunakan Marx bisa dikatakan bukan hal yang baru pada masa itu. Di sini kita bisa membandingkan rumusan yang digunakan Marx dan Moses Hess (orang yang pernah menjadi sahabat Marx):

Karl Marx
Moses Hess
We recognize in Judaism, therefore, a general anti-social element of the present time, an element which through historical development – to which in this harmful respect the Jews have zealously contributed – has been brought to its present high level, at which it must necessarily begin to disintegrate. In the final analysis, the emancipation of the Jews is the emancipation of mankind from Judaism.[6]
The Jews, whose world historical role in the social world has been to develop the predator out of mankind, have finally accomplished this role ... equal predators now mutually suck blood from each other. In the Goldstate, the state of free competition, ... [a]ll human animals exercise their common natural rights, their common qualities as predators, bloodsuckers, Jews, gold-wolves...[7]

Gaya bahasa di atas bisa disandingkan juga dengan catatan Fischman mengenai penyamaan Judentum (Yudaisme) dengan uang dan egoisme yang dilakukan oleh pada Ludwig Feurbach:

... Feurbach goes even further ... states that the Jewish god in "the most practical principle in the world - namely, egoism: and moreover egoism in the form of religion. Egoism is the God who will not let his servants come to shame. Furthurmore, he accises the Jews of "the alimentary view of theology.[8]

Dalam pengamatan Peled, gaya Bahasa seperti ini lebih menggambarkan suasana di kalangan Hegelian muda yang umumnya diisi oleh anak-anak muda yang berada dalam konfrontasi dengan apa yang disebut Peled sebagai lofty Hegelian idealism.

On The Jewish Question dibuka dengan uraian Marx mengenai apa yang tengah dipersoalkan Bruno Bauer, yakni tuntutan emansipasi politik kalangan Yahudi di Jerman; tepatnya di wilayah kerajaan Prussia yang saat itu luasnya mencakup sebagian besar wilayah utara Jerman dan bagian barat Polandia. Bauer adalah salah satu tokoh penting dalam gerakan Hegelian muda, yakni gerakan yang melakukan kritik terhadap  mainstream right Hegelians. Kalangan ini (mainstream Right Hegelians) memandang bahwa filsafat dialektika Hegel telah mencapai kulminasi dalam perkembangan sosial masyarakat Prussia saat itu; berkembangnya industrialisasi, penyerapan tenaga kerja, munculnya berbagai universitas dan sistim layanan publik. Dengan kata lain, freedom dan reason telah mencapai kulminasi di dalam yang aktual. Sementara bagi kalangan Hegelian muda, freedom dan reason belum sepenuhnya tercapai dalam masyarakat Prussia mengingat kebebasan tetap menjadi masalah pada saat itu (berkaitan dengan tindakan sensor yang dilakukan pemerintah Prussia), masalah kemiskinan dan agama (Lutheranism) digunakan oleh para pejabat negara untuk memperkuat legitimasi mereka. Kelompok Hegelian muda dipandang semakin radikal setelah pemerintah, di tahun 1840-an, semakin menghambat kebebasan masyarakat Prussia, dan hal ini berjalan bersamaan dengan penggunaan agama sebagai basis legitimasi. Oleh karena itu, kritik terhadap realitas politik menjelma menjadi kritik terhadap basis legitimasi politik, yaitu agama.[9] Di luar ini, ada catatan dari Emmanuel Renault yang dapat dipertimbangkan untuk menangkap cara berpikir kalangan Hegelian muda. Dalam tulisannya yang berjudul The Early Marx and Hegel: the Young-Hegelian Mediation, Renault mencatat bahwa pada kalangan Hegelian muda terdapat cara berpikir yang menekankan bahwa diskursus filosofis seharusnya tidak sekedar menangkap rational core dari representasi kebudayaan dan agama, lalu menerjemahkannya ke dalam kerangka konseptual. Namun, diskursus filosofis juga harus melakukan kritik terhadap muatan irrasional dari representasi tersebut. Bagi mereka (kalangan Hegelian muda), cara berpikir seperti ini harus diterapkan pada semua masyarakat dan kebudayaan.[10] Dalam konteks irrasionalitas tersebut, penting diingat bahwa Bauer memandang agama sebagai irrasionalitas yang berperan untuk melegitimasi orientasi sektarian dan kepentingan material.[11]

Alur di atas membantu kita memahami mengapa Bauer, sebagaimana dimuat dalam On The Jewish Question,  melakukan kritik yang keras terhadap agama, khususnya Yudaisme. Bagi Bauer, emansipasi politik tidak akan pernah tercapai tanpa penghapusan religious privileges dari ruang publik; penghapusan religious privileges pada gilirannya akan menghasilkan penghapusan agama itu sendiri. Ini tampak pada penegasan Bauer, sebagaimana dikutip oleh Marx:

There is no longer any religion when there is no longer any privileged religion. Take from religion its exclusive power and it will no longer exist.[12]

Oleh karena itu, bagaimana mungkin orang Yahudi di satu sisi menuntut emansipasi politik, sementara di sisi lain mereka tidak berjuang untuk penghapusan religious privileges. Di sini Bauer mengatakan:

No one in Germany is politically emancipated. We ourselves are not free. How are we to free you? You Jews are egoists if you demand a special emancipation for yourselves as Jews. As Germans, you ought to work for the political emancipation of Germany, and as human beings, for the emancipation of mankind, and you should feel the particular kind of your oppression and your shame not as an exception to the rule, but on the contrary as a confirmation of the rule.[13]

Bauer bahkan memandang kalangan Yahudi tidak bisa membebaskan diri mereka dari Yudaisme karena prejudice mereka sebagai orang Yahudi (the chosen people) lebih kuat dibandingkan human and political obligations. Kritik Bauer sesungguhnya tidak hanya terkait dengan Yudaisme, namun juga mencakup kritik terhadap agama. Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan, apakah Marx menolak sepenuhnya (100%) pandangan Bauer? Jawabnya “tidak”. Dalam On The Jewish Question, Marx jelas memandang bahwa keberadaan agama adalah cacat (the existence of defect) dan tuntutan emansipasi kalangan Yahudi, tanpa membebaskan diri secara manusiawi (humanly), adalah pendekatan setengah hati (half-hearted approach). Namun, Marx memiliki fokus analisis yang berbeda dari Bauer. Apabila Bauer terlihat asik dengan kritik terhadap agama (irrasionalitas), Marx justru mengambil jalan yang berbeda, yakni fokus pada analisis sosio-historis untuk menemukan sumber dari irrasionalitas tersebut. Ini terlihat dari kritik Marx terhadap argumen Bauer mengenai emansipasi politik:

We no longer regard religion as the cause, but only as the manifestation of secular narrowness ... We do not assert that they must overcome their religious narrowness in order to get rid of their secular restrictions, we assert that they will overcome their religious narrowness once they get rid of their secular restrictions. We do not turn secular questions into theological ones.[14]

Dalam pengamatan Peled, Marx sesungguhnya menggeser perdebatan mengenai emansipasi Yahudi dari wilayah teologi ke wilayah sosiology, dan sekaligus membuka jalan bagi Marx untuk melakukan kritik terhadap economic alienation.[15] Ini sejalan dengan pendapat Peled sebelumnya bahwa On The Jewish Question merupakan upaya Marx merespon isu emansipasi Yahudi, dan menggunakan isu tersebut untuk masuk lebih jauh ke dalam perbincangan mengenai emansipasi manusia; tentunya dengan memberi perhatian pada analisis sosio-historis.

Apabila kita perhatikan On The Jewish Question, kita akan menemukan bahwa tulisan tersebut terdiri dari dua bagian. Bagian pertama memuat pandangan Marx mengenai kerterbatasan emansipasi politik dan masalah kewarganegaraan di dalam Negara modern. Ini merupakan respon Marx terhadap argument Bauer bahwa emansipasi politik menuntun penghapusan agama yang adalah irrasionalitas di dalam negara modern. Sementara bagian kedua, lebih memperlihatkan analisis sosio-historis – dengan memberi perhatian pada analisis ekonomi – yang menjadi dasar bagi argumen Marx mengenai kemampuan emansipasi kalangan Yahudi di dalam Negara modern. Bagian ini merupakan respon Marx terhadap pendapat Bauer bahwa kalangan Yahudi pada dirinya (dalam konteks Yudaisme) tidak bisa menyingkirkan agama (Yudaisme) dari ruang publik, kemudian mengurungnya sebagai purely private matter. Perdebatan seperti ini perlu dibaca juga bersamaan dengan beberapa hal yang mewarnai suasana saat itu:

  1. Pengaruh pandangan Moses Mendelssohn terhadap Bauer. Bagi Mendelssohn, Yudaisme adalah sistim hukum yang bersumber dari divine legislation. Karena itu, Yudaisme hanya mengenal perintah-perintah yang harus dijalankan untuk mencapai kebahagiaan. Peled menjelaskan implikasinya terhadap Bauer sebagai berikut: “As a sovereign system of law, he maintained, Judaism could not coexist in the same state with another legal system claiming sovereignty over the Jews as citizens … Moreover, the specific content of Jewish law, according to Bauer, was designed precisely to ensure the Jews’separateness and exclusivity from the Gentiles. This was evident in the idea of a chosen people, in the Jews’messianic  expectations and in the laws governing behaviour on the Sabbath and the consumption of food and drink."[16]
  2. Emansipasi Yahudi merupakan persoalan yang sensitif pada awal abad ke-19 sebagai buntut pergesekan orang Yahudi dengan non-Yahudi di Eropa. Fischman mencatat bahwa pada awal abad ke-19, kalangan Yahudi mengalami diskriminasi terkait hak-hak mereka sebagai warga negara. Namun, mengingat kontribusi mereka bagi penerimaan pemerintah dan jaringan internasional yang mereka miliki, pemerintah Jerman tetap mendukung kalangan Yahudi untuk menetap di Jerman – sekalipun tanpa hak-hak sebagai warga negara – sehingga dapat memfasilitasi aktivitas perdagangan. Dalam catatan Fischman, kadang terjadi konflik antara orang Yahudi dengan para pedagang Kristen yang berbuntut kerusuhan. Di era Napoleon, orang Yahudi Jerman akhirnya mendapat pengakuan (status) sebagai warga negara dan hak-hak mereka dijamin oleh hukum. Namun setelah era tersebut, pembatasan kembali terjadi terhadap berbagai aktivitas orang Yahudi; baik dalam ekonomi, hukum (pengacara), larangan mengajar di universitas. Hal ini mengakibatkan berkembangnya tuntutan emansipasi Yahudi di Jerman. Pada saat itu, emansipasi dipahami oleh kalangan Yahudi sebagai pengembalian hak-hak mereka tanpa syarat oleh pemerintah Jerman. Dalam situasi seperti ini, istilah emansipasi Yahudi memiliki konotasi yang negatif karena dikaitkan – oleh masyarakat saat itu – dengan rezim Napoleone yang pernah menduduki Jerman; istilah emansipasi Yahudi kemudian disamakan dengan tirani. Kondisi ini diperumit dengan benturan budaya antara orang Yahudi dan orang Eropa, terkait norma-norma di dalam masyarakat, serta masih hidupnya gambaran miring mengenai orang Yahudi; mereka (orang Yahudi) dipandang sebagai orang yang berorientasi pada uang, riba dan egois. Menariknya, menurut Fischman, gambaran seperti ini juga hidup di dalam kelompok Hegelian muda, termasuk Marx; Fischman: “Marx also accepts the stock picture of the Jewish moneyman, right down to the the term Judentum for "commerce."[17] Namun, Marx memiliki fokus analisis yang berbeda.
  3. Adanya upaya pemerintah Jerman, pada tahun 1840-an, untuk meregulasi status orang Yahudi dengan melokalisir mereka berdasarkan batas teritori. Bagi pemerintah, upaya ini akan memberikan ruang bagi orang Yahudi (lokalisir) tanpa membahayakan Christian state.[18] Bagian ini bisa dibaca bersamaan dengan poin no. 2 di atas, yakni terkait aktivitas perdangan dan hubungan internasional yang dimiliki oleh kalangan Yahudi.
  4. Berdasarkan catatan Fischman, populasi orang Yahudi di Jerman pada masa Marx adalah sekitar 12.000 orang; apabila dikaitkan dengan On The Jewish Question, berarti sekitar tahun 1840-an. Populasi penduduk di Jerman pada tahun 1816 mencapai 33 juta orang, kemudian di tahun 1865 naik menjadi 52 juta orang.[19] Apabila kita perkirakan populasi penduduk di Jerman pada tahun 1840-an ada sekitar 40 juta orang maka persentase orang Yahudi, dibanding populasi nasional, tidak sampai dari satu persen. Sekalipun populasinya tidak besar, namun orang Yahudi memiliki peran penting dalam perdagangan; khususnya dalam bidang ritel, grosir, kredit dan expor-impor. David Sorkin, sebagaimana dikutip oleh Peled, menjelaskan bahwa pada tahun 1848-1849, 44.7% aktivitas perdagangan dan kredit di wilayah Prussia diisi oleh orang Yahudi. kemudian, 52.2% di wilayah Württemberg dan 51.2% di wilayah Bavaria. Di tahun 1861, khusus di wilayah Prussia, persentasenya naik mencapai 58%.[20] Selain perdagangan, perputaran ekonomi dalam dunia pertunjukan (teater) juga banyak diisi oleh orang Yahudi.[21]
Berbagai persoalan di atas menunjukan bahwa emansipasi Yahudi, dalam konteks Jerman saat itu, merupakah persoalan yang kompleks. Di sini Marx memberikan kontribusi – sebagaimana disinggung oleh Peled − terhadap perdebatan mengenai isu tersebut, sekaligus menjadi pijakan bagi progress yang dibuat oleh Marx. Di sini kita bisa memperhatikan penilaian Fischman bahwa: "... although Marx rejects its theological underpinnings, he shares the common assessment of Jewish religion."[22] Marx tidak menolak penilaian yang berkembang saat itu terhadap Yudaisme, namun Marx menolak melihat akar persoalannya pada wilayah teologi; sebagaimana dilakukan oleh Bauer. Di sini Marx berhutang pada Feuerbach yang memasukan gagasan antropologis dalam menganalisis agama; agama dipandang sebagai proyeksi dari kepentingan dan keterasingan manusia. Namun, Marx bergerak melampaui Feuerbach dengan masuk pada analisis historis mengenai kondisi sosio-ekonomi manusia; Feuerbach, dipandang Marx, memahami manusia secara abstrak (teoritis).[23]

Porsi terbesar analisis Marx mengenai kondisi sosio-ekonomi terlihat menonjol pada bagian kedua dari On The Jewish Question. Sementara pada bagian pertama, Marx lebih fokus pada keterbatasan emansipasi politik itu sendiri. Dalam argument Baeur, perjuangan kalangan Yahudi seharusnya bukan emansipasi Yahudi, tetapi penghapusan religious privileges dari ruang publik. Apabila religious privileges bisa dihapus maka agama akan lenyap dengan sendirinya. Inilah syarat yang penting, bagi Bauer, untuk memperjuangkan emansipasi politik. Karena itu, Bauer menuduh kalangan Yahudi sebagai orang yang egois karena tidak memperjuangkan emansipasi politik bagi seluruh Jerman, tetapi hanya bagi kelompok mereka sendiri. Dengan tidak memperjuangkan penghapusan religious privileges  dari ruang publik, kalangan Yahudi sama saja mengakui dan membenarkan rezim penindasan di Jerman. Oleh karena itu, Bauer mengatakan:

… do the Jews demand the same status as Christian subjects of the state? In that case, they recognize that the Christian state is justified and they recognize, too, the regime of general oppression. Why should they disapprove of their special yoke if they approve of the general yoke? Why should the German be interested in the liberation of the Jew, if the Jew is not interested in the liberation of the German?

In wanting to be emancipated from the Christian state, the Jew is demanding that the Christian state should give up its religious prejudice. Does he, the Jew, give up his religious prejudice? Has he, then, the right to demand that someone else should renounce his religion?

By its very nature, the Christian state is incapable of emancipating the Jew; but, adds Bauer, by his very nature the Jew cannot be emancipated. So long as the state is Christian and the Jew is Jewish, the one is as incapable of granting emancipation as the other is of receiving it.[24]

Secara singkat bisa dikatakan bahwa selama Jerman masih menjadi Christian state (religious privileges) maka Jerman hanya bisa bersikap terhadap kalangan Yahudi berdasarkan karakternya sebagai Christian state; menekan dan memisahkan orang Yahudi dari masyarakat karena keberadaan mereka adalah oposisi terhadap agama yang dominan. Demikian juga sebaliknya, selama orang Yahudi tidak memperjuangkan penghapusan religious privileges maka mereka hanya bisa bersikap terhadap negara sebagai orang Yahudi; memandang negara sebagai sesuatu yang asing serta mengambil sikap yang bertentangan dengan nasionalitas dan hukum riil di dalam Negara (tetap berpegang pada nasionalitas dan hukum yang ada dalam imaginasi mereka sebagai orang Yahudi). Bahkan, Bauer melanjutkan: “by putting his trust in a future which has nothing in common with the future of mankind in general, and by seeing himself as a member of the Jewish people, and the Jewish people as the chosen people.[25]

Pandangan Bauer sebenarnya memperlihatkan kemiripan dengan pandangan Marx di mana emansipasi yang diperjuangkan kalangan Yahudi dipandang marx sebagai pendekatan setengah hati (half-hearted approach). Namun, bedanya, Marx tidak melihat akar persoalannya pada wilayah teologi, tetapi pada wilayah sosio-ekonomi. Pada bagian pertama On The Jewish Question, Marx memperlihatkan keterbatasan analisis Bauer mengenai emansipasi politik dan kewarganegaraan di dalam Negara modern. Bagi Marx, emansipasi politik sama sekali tidak mensyaratkan penghapusan agama mengingat emansipasi politik bukanlah bentuk emansipasi manusia. Terkait perbedaan kedua bentuk emansipasi tersebut, Peled memberi kesimpulan yang menarik:

The former meant the granting of citizenship rights in the truly political, that is, democratic state. The latter referred to emancipation not in the political state but rather from that state and from its presuppositions in civil society.[26]

Dalam On The Jewish Question, Marx memperlihatkan bahwa emansipasi politik dalam dunia modern merupakan pengakhiran old civil society (feodalisme) dan munculnya independent individuals. Dalam masyarakat lama (feodal), relasi individu bertumpu pada privilege yang mengambil bentuk dalam: (1) penguasaan tanah oleh bangsawan, (2) sistim kepemilikan (estates) dan (3) perserikatan (corporations); seluruh elemen dalam masyarakat lama – kepemilikan, keluarga dan model produksi – diikat dalam relasi sosio-economi seperti ini. Alhasil, individualitas pun tenggelam di dalam kehidupan politik yang bertumpu pada tiga hal di atas, sebagaimana dikatakan Marx: 

“…they secluded the individual from the state as a whole and they converted the particular relation of his corporation to the state as a whole into his general relation to the life of the nation...[27]

Ini berbeda dengan emansipasi politik dalam dunia modern di mana independent individuals diberi tempat yang menonjol dan dijamin oleh hukum. Di sini political nature masyarakat lama (feodal) – yang mengakibatkan terjadinya segregasi sosial – dihancurkan sehingga political spirit tidak bercampul baur dengan civil life, namun menjelma dalam the general concern of nation yang independen terhadap elemen-elemen civil life. Karena itu, Marx mengatakan: “A person’s distinct activity and distinct situation in life were reduced to a merely individual significance ... Political emancipation was, at the same time, the emancipation of civil society from politics, from having even the semblance of a universal content.”[28]

Dalam konteks kehancuran masyarakat lama, Marx memberi catatan bahwa emansipasi politik yang muncul dalam dunia modern sesungguhnya tidak menjelma menjadi kritik yang radikal terhadap civil society, yakni wilayah yang dicirikan oleh egoistic life di mana manusia tereduksi menjadi alat dan permainan alien power. Bagi Marx, species-life – atau dalam Economic and Philosophic 1844 disebut species-being[29] – hanya ada di dalam The perfect political state, bukan di dalam civil society:

The perfect political state is, by its nature, man’s species-life, as opposed to his material life. All the preconditions of this egoistic life continue to exist in civil society outside the sphere of the state, but as qualities of civil society.

Kenyataan ini membuat emansipasi politik sesungguhnya dibangun atas dasar egoistic spirit yang menjadi bagian dari civil society. Karena itu, dalam emansipasi politik, kemerdekaan tidak lain dari pengakuan akan egoistic man yang muncul dalam bentuk hak-hak manusia (rights of man). Bagi Marx, hal-hak manusia – atau mungkin lebih tepat disebut hak-hak individu – merupakan bentuk kerterasingan manusia dari keberadaannya sebagai a species-being:

None of the so-called rights of man, therefore, go beyond egoistic man ... In the rights of man, he is far from being conceived as a species-being; on the contrary, species-life itself, society, appears as a framework external to the individuals, as a restriction of their original independence. The sole bond holding them together is natural necessity, need and private interest, the preservation of their property and their egoistic selves.[30]

Dengan demikian, emansipasi di dalam political state sesungguhnya tidak dibangun atas kesadaran mengenai manusia sebagai a species-being. Dan karena itu, yang terjadi dalam emansipasi politik bukanlah penghapusan agama, melainkan kebebasan beragama (religious freedom); padahal, bagi Marx, agama adalah sphere of egoism yang membuat manusia terpisah dari sesama dan komunitasnya. Demikian juga dalam bidang ekonomi, manusia (individu) mendapat kebebasan untuk mengejar hak milik dan kepentingan bisnis. Ini semua (kebebasan individu) kemudian dijamin di dalam hukum yang berfungsi untuk mengatur hubungan antarindividu dan memisahkan mereka satu dengan yang lain agar tidak saling menghancurkan. Dalam konteks ini, kita bisa memahami pendangan Marx bahwa:

Security is the highest social concept of civil society ... expressing the fact that the whole of society exists only in order to guarantee to each of its members the preservation of his person, his rights, and his property.
The concept of security does not raise civil society above its egoism. On the contrary, security is the insurance of egoism.[31]

Dalam uraiannya, Marx membuat perbandingan baik dengan apa yang berlangsung di Amerika Utara dan Prancis, maupun dengan beberapa deklarasi yang muncul pada abad ke-18. Perbandingan ini diangkat untuk menunjukan bahwa emansipasi politik tidak mensyaratkan baik penghapusan agama, maupun orientasi manusia untuk mengejar kepentingan ekonomi; terkait penguasaan hak milik (property) dan bisnis. Oleh karena itu, Marx berkeyakinan bahwa:

political emancipation is not a form of human emancipation which has been carried through to completion and is free from contradiction.
The limits of political emancipation are evident at once from the fact that the state can free itself from a restriction without man being really free from this restriction, that the state can be a free state [on word Freistaat, which also means republic] without man being a free man.[32]

Selain masalah emansipasi politik, persoalan berikutnya yang direspon Marx adalah pandangan bahwa kalangan Yahudi pada dasarnya – dalam konteks Yudaisme – tidak akan pernah bisa menjadi bagian dari real nation; mereka hanya menghidupi komunitas irrasional yang bertentangan dengan real nation. Marx terlihat merespon persoalan ini pada bagian kedua dari On The Jewish Question. Dalam argumennya, Marx terlihat seperti tidak meladeni argumen Bauer mengingat dia (Marx) tidak masuk dalam penelusuran teologi untuk memperlihatkan kelemahan tuduhan Bauer terhadap Yudaisme. Bahkan, sebagaimana disinggung sebelumnya, Marx juga mengakui bahwa tuntutan emansipasi Yahudi adalah langkah setengah hati yang dilakukan oleh kalangan Yahudi. Persoalannya, Marx memotret emansipasi Yahudi dari perspektif sosio-ekonomi, sambil memperlihatkan keterbatasan emansipasi politik itu sendiri:

If you Jews want to be emancipated politically, without emancipating yourselves humanly, the half-hearted approach and contradiction is not in you alone, it is inherent in the nature and category of political emancipation. If you find yourself within the confines of this category, you share in a general confinement.[33]

Dengan fokus analisis seperti ini, Max kemudian mengajak Bauer untuk tidak berbicara Yudaisme tidak dalam bingkai Sabbath Jew, melainkan practical Jew (everyday Jew): “Let us not look for the secret of the Jew in his religion, but let us look for the secret of his religion in the real Jew”.[34] Di sini Marx menggunaka dua istilah untuk menggambarkan practical Jew, yakni uang dan berdagang (Huckstering). Bagi Marx, allah yang disembah oleh orang Yahudi adalah uang, sementara agama mereka adalah berdagang. Oleh karena itu, memperjuangkan emansipasi berarti berjuang menghapuskan apa yang disebut Marx sebagai preconditions for huckstering. Dalam konteks ini, kita bisa memahami pernyataan Marx bahwa: “... the emancipation of the Jews is the emancipation of mankind from Judaism.”[35] Di sini Marx hendak mengatakan bahwa emansipasi manusia harus diletakkan pada koreksi terhadap practical need dan egoism yang telah melahirkan political state:

The monotheism of the Jew, therefore, is in reality the polytheism of the many needs, a polytheism which makes even the lavatory an object of divine law. Practical need, egoism, is the principle of civil society, and as such appears in pure form as soon as civil society has fully given birth to the political state. The god of practical need and self-interest is money.[36]

Koreksi inilah yang dibutuhkan dalam rangka emansipasi manusia (a species-being). Marx dalam On The Jewish Question jelas membedakan emansipasi politik dari emansipasi manusia. Bagi Marx, emansipasi politik adalah pengakuan akan pratical need dan egoism – karakter dari civil society – yang muncul dalam bentuk hak-hak individu dan dijamin oleh hukum. Menurut Marx, Yudaisme (practical jew) pada dasarnya merupakan refleksi dari realitas sosio-ekonomi tersebut, dan ini hanya dapat terjadi di dalam Christian state di mana civil society (pratical need dan egoism) mencapai kesempurnaan di dalam political state:

Judaism could not create a new world; it could only draw the new creations and conditions of the world into the sphere of its activity, because practical need, the rationale of which is self-interest, is passive and does not expand at will, but finds itself enlarged as a result of the continuous development of social conditions.

Judaism reaches its highest point with the perfection of civil society, but it is only in the Christian world that civil society attains perfection. Only under the dominance of Christianity, which makes all national, natural, moral, and theoretical conditions extrinsic to man, could civil society separate itself completely from the life of the state, sever all the species-ties of man, put egoism and selfish need in the place of these species-ties, and dissolve the human world into a world of atomistic individuals who are inimically opposed to one another.[37] 

Practical need dan egoism menjadi poin yang digunakan Marx untuk menggambarkan bagaimana Yudaisme tersekularisasi di dalam dunia, khususnya dalam Christian state. Ini sekaligus menjadi pijakannya untuk menggambarkan bagaimana kekristenan dan Yudaisme pada akhirnya bertemu pada medan yang sama. Marx merumuskan hal ini dalam permainan kata yang menarik: “Christianity sprang from Judaism. It has merged again in Judaism. From the outset, the Christian was the theorizing Jew, the Jew is, therefore, the practical Christian, and the practical Christian has become a Jew again.”[38]

Analisa seperti ini memperlihatkan bagaimana Marx, dalam perdebatan saat itu, bergerak melampaui beberapa pentolan Hegelian muda seperti Baur maupun Feurbach. Selain itu, On The Jewish Question juga memperlihatkan bagaiman Marx mendobrak cara berpikir saat itu melalui kritiknya baik terhadap Bauer maupun terhadap kalangan Yahudi karena mereka tidak bergerak dalam bingkai emansipasi manusia. Karena itu, Marx memberi catatan: “if the Jew recognizes that this practical nature of his is futile and works to abolish it, he extricates himself from his previous development and works for human emancipation as such and turns against the supreme practical expression of human self-estrangement.”[39] 
  
Juni 2014

*******************



[1] Dennis K. Fischman, Political Discourse in Exile: Karl Marx and the Jewish Question (Massachusetts: The University of Massachusetts Press, 1991), h. 31.
[2] A. Toscano, “Rethinking Marx and Religion”, dalam: http://www.marxau21.fr/index.php?option=com_content&view=article&id=5:rethinking-marx-and-religion&catid=65:religion&Itemid=88.
[3] Yoav Peled, “From Theology to Sociology: Bruno baur and karl Marx on the Question on Jewish Emancipation”, dalam History of Polical Thought, vol. XIII, no. 3 (1992): 464-465
[4] Peled, h. 464.
[5] Peled, h. 464, 465, 477, 478.
[6] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[7]  Peled, h. 481
[8] Fischman, h. 29.
[9] bdk. "Young Hegelian", dalam: http://knowledgerush.com/encyclopedia/Young_Hegelian/; "Young Hegelians", dalam: http://en.wikipedia.org/wiki/Young_Hegelians.
[10] Emmanuel Renault,  “The Early Marx and Hegel: the Young-Hegelian Mediation”,  dalam: https://docs.google.com/viewer?url=http%3A%2F%2Fmarxandphilosophy.org.uk%2Fassets%2Ffiles%2Fsociety%2Fword-docs%2Frenault2012.doc.
[11] "Bruno Bauer", dalam: http://plato.stanford.edu/entries/bauer/.
[12] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[13] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[14] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[15] Peled, h. 465.
[16] Peled, h. 468.
[17] Fischman, Political Discourse in Exile: Karl Marx and the Jewish Question, h. 26, 27, 29; Gerhard Falk, "Napoleon & Jewish Emancipation", dalam: http://jbuff.com/c070104.htm.
[18] Peled, h. 465-466.
[19] Fischman, h. 29-30; “Life in Germany During the 19th Century, Society and Population”, dalam: http://www.countriesquest.com/europe/germany/history/nationalism_and_unification_1792-1871/life_in_germany_during_the_19th_century/society_and_population.htm
[20] Peled, h. 478-479;
[21] Frederick R. Lachman, "European Jewish Theatre: From 1600 To The 20th Century", dalam: http://www.myjewishlearning.com/culture/2/Theatre_and_Dance/Theatre/Europe.shtml?p=3.
[22] Fischman, h. 28.
[23] Peled, h. 476-477; Fischman, h. 25, 29.
[24] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[25] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[26] Peled, h. 471.
[27] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[28] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[29] Istilah Species-being digunakan Marx dalam Economic & Philosophic 1844 untuk merujuk pada manusia sebagai mahkluk yang universal dan bebas, sekaligus membedakannya dengan hewan (Karl Marx, Economic & Philosophic Manuscripts of 1844 (Moscow: Progress Publishers, 1959), h. 31.).
[30] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[31] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[32] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[33] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[34] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[35] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[36] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[37] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[38] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/
[39] Karl Marx, "On The Jewish Question", dalam: http://www.marxists.org/archive/marx/works/1844/jewish-question/