Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

Pendidikan Multikultural adalah Soal Cinta



 (Hari Ketiga SAA PGI 2014)


"Tidak ada yang lebih tinggi dari cinta", begitulah keyakinan Farha Ciciek yang – bersama suaminya – menghidupkan komunitas Tanoker di Ledokombo (Jawa Timur). Komunitas yang lahir dari keinginan mambantu anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena harus bekerja sebagai tenaga kerja (TKI) di luar negeri, kemudian berkembang menjadi titik pertemuan lintas budaya dan agama. Di dalamnya, proses belajar dan bermain dihidupi dalam suasana yang terbuka bagi kemajemukan serta penghargaan atas kekayaan lokal. Bagi Cicie, dalam hari ketiga pelaksanaan SAA 2014, menemukan sesuatu yang lokal sangat penting dalam pendidikan multikultural. Dan karena itu, permainan egrang maupun aktivitas seni seperti menyatu dalam kehidupan komunitas Tanoker. Bahkan, proses belajar dan bermain pun berlangsung melalui perjumpaan anak-anak dengan komunitas dari berbagai agama dan bangsa yang datang untuk saling belajar satu dengan yang lain.

Dalam konteks menemukan yang lokal, menarik membaca pernyataan Cicie bahwa melalui komunitas Tanoker dia sesungguhnya ingin menerjemahkan semangat pela gandong – yang menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Maluku – dalam kehidupan anak-anak di Ledokombo. Di sini persilangan budaya sepertinya menjadi jiwa dari komunitas Tanoker tersebut. Bagi Cicie, semua ini dimungkinkan karena cinta; sambil merujuk Jalaludin Rumi. Dan rasanya, cinta juga yang membuat seorang Weilin Han – salah satu pembicara dalam SAA 2014 – memberi perhatian untuk menjembatani anak-anak dari kalangan menengah ke atas (secara ekonomi) dengan komunitas di sekitar yang berbeda status ekonomi dan agama. Dalam uraiannya, Weilin seolah-olah hendak menekankan bahwa pendidikan multikultural membutuhkan keberanian untuk keluar dari ghetto di mana kecurigaan, prasangka dan kebencian antarkelompok/etnis dipelihara di dalamnya.

Dalam menggumuli rencana tindak lanjut, dengan memperhatikan berbagai masukan dan pengalaman di lapangan, para peserta seminar SAA 2014 membuat surat terbuka yang ditujukan kepada rumah transisi Jokowi-JK. Surat tersebut berisi permintaan kepada pemerintah baru agar memberi perhatian yang besar pada nilai-nilai kebhinekaan yang belakangan ini mengalami kemerosotan dalam dunia pendidikan dan berbagai kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Selain itu, para peserta juga menggariskan perlunya perhatian – dari keluarga, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan  pemerintah – untuk mendorong: (1) sosialisasi nilai-nilai multikultural, (2) mengintensifkan perjumpaan lintas agama, (3)memberi perhatian pada kearifan lokal, (4) menghilangkan pemberlakuan simbol-simbol agama secara diskriminatif di sekolah-sekolah umum, (5) adanya monitor terhadap tayangan/informasi diskriminatif yang disiarkan media dan (6) meninjau kembali peraturan-peraturan yang menabrak semangat kebhinekaan. Para peserta yakin bahwa sesungguhnya kita di Indonesia memiliki potensi (opportunity) untuk mendorong pendidikan multikultural di sekolah, lembaga agama dan keluarga. Hal ini mengingat Indonesia memiliki kearifan lokal yang tersebar di berbagai daerah, budaya gotong royong, komunitas lintas agama yang tersebar di berbagai tempat serta tentunya memiliki Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, para peserta SAA 2014 meyakini bahwa pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang mungkin dilaksanakan karena, dengan memperhatikan kondisi riil yang ada, Indonesia memiliki potensi (opportunity) yang bisa dimanfaatkan, dan apa yang dilakukan oleh Cicie dan Weilin sesungguhnya memperlihatkan hal tersebut.







Pendidikan Multikultural untuk Keadilan dan Perdamaian

(Hari kedua SAA PGI 2014)


Mencari pendidikan multikultural a la Indonesia, sebagaimana disinggung oleh Jimmy Paat pada hari kedua pelaksanaan SAA 2014, menjadi poin krusial mengingat berkembangnya persoalan ketidakadilan dan pendominasian ruang pendidikan di dalam masyarakat. Bagi Paat, pendidikan di Indonesia sesungguhnya masih belum tuntas menggumuli arah pendidikan dalam konteks mencerdaskan bangsa dan memperkuat identitas sebagai sebuah bangsa. Bahkan, data empiris mengenai kondisi riil pendidikan di Indonesia saja masih minim. Kondisi ini semakin diperumit dengan persoalan rendahnya kualitas guru dan terhisapnya pendidikan ke dalam arus liberalisasi sehingga standarisasi dan penyeragaman kurikulum kemudian muncul ke permukaan; termasuk tereduksinya proses belajar naradididk ke dalam ujian nasional yang hanya menonjolkan aspek kognitif dari beberapa mata pelajaran.

Pembacaan Paat terhadap persoalan pendidikan di Indonesia terasa menarik mengingat praktisi pendidikan seperti Retno Listyarti dan Anis Fakhrihatin, pembicara yang juga tampil dalam hari kedua pelaksanaan SAA 2014, memperlihatkan betapa praksis pendidikan di Indonesia seperti menjauh dari cita-cita pendidikan untuk mencerdaskan dan membangun karakter bangsa. Eksploitasi identitas agama telah menguasai dunia pendidikan yang, pada saat bersamaan, sedang babak belur akibat praktek korupsi yang sudah berurat akar selama bertahun-tahun. Dalam konteks ini, Listyarti memandang kurikulum 2013 muncul bagaikan "obat" yang keliru karena tidak memberikan solusi terhadap persoalan pendidikan di Indonesia. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia telah terperosok menjadi negara dengan sistem pendidikan terburuk; berdasarkan The Learning Curve 2014 yang dirilis Pearson. Sejalan dengan Listyarti, Fakhrihatin menilai kurikulum 2013 gagal membangun karakter naradidik dan memperkuat visi kebangsaan. Bahkan, kurikulum 2013 seperti membenamkan dunia pendidikan ke dalam kompetensi religius yang formalistik dan simbolik, serta dominasi aspek kognitif yang begitu kuat. Dalam konteks ini, carut-marut pendidikan terasa semakin lengkap dengan komplikasi yang ditimbulkan oleh UU No. 14 tahun 2005 - sebagaimana disinggung oleh Fakhrihatin - di mana guru akhirnya terjebak dalam formalitas untuk memenuhi ketentuan jam mengajar dan berbagai persoalan administratif demi mengejar tunjangan profesi.

Ketiga pembicara di atas memandang perbaikan guru sebagai hal yang penting dalam rangka pembenahan persoalan pendidikan mengingat: (1) dengan kualitas guru yang semakin baik maka berbagai kelemahan dalam pendidikan dapat dibaca secara kritis oleh para guru dan pada gilirannya melahirkan perbaikan kualitas pendidikan, (2) guru yang kreatif dapat menyiasati kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem pendidikan dan (3)guru sesungguhnya adalah kurikulum itu sendiri karena merekalah yang berada di garis terdepan dalam pelaksanaan pendidikan. Namun sayangnya, pemerintah tidak memperbaiki persoalan guru, tetapi yang dilakukan malah mengeluarkan kurikulum 2013 yang justru menimbulkan komplikasi. Ini belum lagi ditambah persoalan kekerasan terhadap anak, sebagaimana disinggung oleh Agus Hartono dari Yayasan Pemantau Hak Anak, yang terjadi di sejumlah sekolah. Bahkan, kekerasan di sekolah menduduki peringkat kedua tertinggi setelah kekerasan dalam rumah tangga; kekerasan tersebut (di sekolah) mengambil bentuk kekerasan emosional, verbal, fisik dan seksual. Ini semua membuat sekolah tidak lagi menjadi tempat yang aman bagi anak.

Sejumlah persoalan yang diangkat oleh beberapa pembicara juga dirasakan oleh utusan gereja-gereja yang hadir dalam SAA 2014. Kelemahan dukungan sekolah-sekolah, dalam konteks policy sekolah dan mindset guru-guru, untuk menghadirkan pendidikan multikultural berjalan bersamaan dengan: (1) kebijakan pemerintah (pusat dan daerah) yang dirasakan mempersulit berkembangnya pendidikan multikultural, (2) tidak tersosialisasinya nilai-nilai multikultural dalam keluarga dan (3) persoalan sosio-budaya yang kadang menghampat interaksi multikultural di tengah masyarakat.

Dalam konteks pergumulan di atas, rasanya apa yang disinggung oleh Paat menjadi penting, yakni pendidikan multikultural untuk keadilan dan perdamaian merupakan satu-satunya jalan untuk mengubah ketimpangan dan ketidakadilan dalam dunia pendidikan.

Menilai Pendidikan Multikultural (Lintas Agama) di sekolah dan keluarga

Merayakan kehidupan sebagai rumah bersama bagi semua orang menjadi pesan yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom (sekretaris umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) dalam Seminar Agama-agama yang diadakan PGI, berlangsung dari tanggal 23-26 September 2014, dengan tema "Memupuk Nilai Multikultural di Sekolah dan Keluarga: Prospek dan Tantangan Pendidikan Multikultural". Dalam pandangannya, kehadiran agama seringkali mempersempit ruang sukacita bagi semua orang. Bahkan, pendidikan pun dibajak/diprofokasi oleh agama untuk mempersempit ruang bersama tersebut. Akibatnya, agama kehilangan kemampuan untuk menghadirkan rahmat di dalam kehidupan. Bagi Gultom, dengan merujuk pada misi Yesus, pendidikan seharusnya bergerak untuk memanusiakan manusia. Dan di sini, pendidikan multikultural menjadi keharusan.

Pembacaan Gultom terasa menarik bila disandingkan dengan apa yang diutarakan oleh Prof. DR. Abdul Munir Mulkhan (dosen pascasarjana IAIN Sunan kalijaga) yang menengarai terjadinya perselingkuhan elite agama dan politik yang membuat pendidikan menjadi ruang yang terbatas di mana dikotomi antara surga dan neraka atau kafir dan mukmin menjadi begitu menonjol. Hal seperti ini membuat guru dan naradidik tidak memiliki pilihan lain selain terjebak dalam dikotomi sempit tersebut. Akibatnya, baik dan buruknya pendidikan diukur dengan melihat bagaimana dikotomi surga dan neraka atau kafir dan mukmin dikontraskan dalam dunia pendidikan. Bagi Mulkhan, hal seperi ini memperlihatkan menguatnya cara berpikir simbolik formalistis berbasis fiqih. Kurikulum 2013 merupakan contoh cara berpikir ritualistik dan reduktif di mana selain guru beserta naradidik tidak menjadi subjek dari pendidikan, pengukuran kompetensi pun sangat menekankan aspek formalistik keagamaan.

Tantangan yang kemudian muncul adalah, menurut Mulkhan, "apakah sosialisasi doktrin agama di dalam Islam dapat berjalan beriringan dengan memperkuat harmoni dalam kehidupan yang multikultur? Di sini Mulkham memandang tanggungjawab kemanusiaan dalam masyarakat sesungguhnya menjadi poin penting di dalam sosialisasi nilai-nilai keagamaan, dan karenanya pendidikan multikultural menjadi satu-satunya cara untuk memperkuat kerjasama tersebut. Dengan merujuk pada Canadian Act, Mulkham menekankan bahwa keragaman budaya dan kesetaraan menjadi syarat yang penting bagi pendidikan multikultural. Agama dapat memiliki arti apabila hidup dalam realitas yang plural. Oleh karena itu, merawat keragaman menjadi kata kunci untuk memberi arti bagi agama itu sendiri. Mulkham mencontohkan, membangun Islam harus dilakukan dengan memelihara keragaman karena dalam keragamana tersebut Islam memiliki arti. Hal serupa juga berlaku bagi agama-agama lain.

Di tingkat pelaksanaan, persoalan yang muncul kadang terasa dilematis mengingat - menurut Pdt. Dien Sumiyatiningsih - realitas multikultural kadang dijadikan alat untuk meng-exclude-kan mereka yang berbeda mengingat agama kadang tampil dalam wajah yang kejam dan membeku dalam kelompoknya sendiri. Selain itu, aspek kognitif dalam pendidikan terasa begitu menonjol dan lemahnya tekanan pada learning to live together dalam bentuk pengalaman. Kondisi ini juga diperumit dengan lemahnya SDM (guru-guru) untuk mengembangkan pendidikan multikultural. Catatan Sumiyatiningsih bisa dibaca bersamaan dengan beberapa tantangan yang diajukan Gultom, yakni: (1) semakin homogennya pergaulan naradidik dalam sekolah-sekolah berbasis agama, (2) berlangsungnya agamanisasi pendidikan melalui UU Sisdiknas, (3) adanya kerancuan seolah-olah agama dapat menyelesaikan segala hal di dalam masyarakat, (4) dunia pendidikan berkembang menjadi komoditas dan (5) eksploitasi identitas agama di dalam dunia pendidikan.

Bagi Sumiyatiningsih, lembaga seperti keluarga memiliki peran yang penting untuk mendorong pendidikan multikultural, baik untuk bounding (memperkuat nilai-nilai agama) maupun reaching (menjangkau mereka yang berbeda dengan bertolak dari perspektif multikultura). Di sini keluarga tidak boleh berdiri sendiri, namun harus ada interkoneksi dengan lembaga lain seperti lembaga pendidikan dan lembaga keagamaan. Ini mengingat pengembangan diri anak selalu terhubung dengan ketiga lembaga tersebut. Dengan demikian, pendidikan multikultural - yang bertujuan melahirkan masyarakat yang beradab melampaui orientasi simbolik dan formalistik di dalam agama - akan hidup dalam gerak bersama antara ketiga lembaga tersebut; tidak ada yang berdiri sendiri.

Selain pemaparan dari beberapa narasumber di atas, Fajar Riza Ul-Ha dari Maarif Institute memberikan uraian yang menarik di mana terjadinya dominasi para mentor dalam kegiatan Rohis (Rohani Islam); mereka (para mentor) bahkan lebih didengar oleh naradidik dibandingkan guru maupun orangtua. Namun, sekolah tampaknya tidak memberi perhatian terhadap persoalan dominasi para mentor di Rohis, sekalipun mereka (para mentor) memiliki kontribusi terhadap berkembangnya fanatisme agama. Tantangan ini masih ditambah lagi dengan: (1) kurikulum dan materi pendidikan agama yang tidak mengalami pembaharun sehingga nilai-nila hak asasi manusia (HAM) dan keragaman justru tidak mendapat tempat dalam pengajaran agama, (2) guru-guru agama umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan guru agama (fakultas Tarbiyah dan Keguruan) dan (3) kuatnya orientasi fiqih yang bergerak hitam putih. Dalam konteks ini, Maarif Institute coba menggeser paradigma lama - yang berorientasi fiqih - melalui pembaruan kurikulum dan materi pendidikan agama yang mendialogkan nilai-nilai Islam dengan isu-isu HAM dan kewarganegaraan sehingga menghasilkan reinterpretasi terhadap ajaran dan tradisi keagamaan. Dengan demikian, agama tidak menjadi penghalang untuk memperkuat nilai-nilai HAM dan kewarganegaraan. Upaya seperti ini, menurut Fajar, harus dibarengi dengan (1) memperhatikan lingkungan pergaulan, misalnya membawa pembaruan kurikulum dan materi pendidikan agama ke dalam kelompok Rohis, (2) pentingnya SDM yang memiliki latarbelakang pendidikan guru agama, dan (3) mengupayakan pendekatan struktural agar terjembataninya kebijakan pendidikan nasional dengan aktivitas pendidikan yang berlangsung di tengah masyarakat. Pengalaman dari Maarif Institute rasanya bisa dilengkapi dengan pengalaman PGI, yakni: (1) pentingnya peran keluarga (khususnya peran ibu) dalam memperkuat kemampuan komunikasi multikultural anak (salah satu poin penelitian multikultur (lintas agama) yang diadakan PGI), (2) peran PGI dalam mendukung pendidikan lintas agama yang diadakan ICRP (Indonesian Conference on Religion and Peace), (3) kegiatan meja lintas iman (membaca teks suci dari berbagai perspektif agama), (4) mendorong penghargaan terhadap holy sites (gereja, mesjid dan sebagainya) serta (5) mendorong pendidikan alternatif untuk mendukung peningkatan kualitas pendidikan naradidik di daerah.