Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

Dibutuhkan Pertobatan

 Lokakarya Pergumulan dan Keterlibatan Gereja
dalam Persoalan Keadilan Ekologis

Kotamobagu (Bolaang Mongondow), 8-10 September 2016


“Dibutuhkan pertobatan” merupakan poin yang diangkat oleh Pdt. DR. Richard Siwu dalam lokakarya keempat “Pergumulan dan Keterlibatan Gereja dalam Persoalan Keadilan Ekologis” di Kotamobagu (Bolaang Mongondow), 8-10 September 2016. Kegiatan ini diselengarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan bertindak sebagai tuan rumah adalah Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM).  Poin yang diangkat Siwu dapat dibaca sebagai refleksi yang menghubungkan berbagai persoalan ekologis dan keadilan sosial yang berlangsung di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo; peserta lokakarya berasal dari kedua wilayah tersebut.
Dalam catatan Prof. DR. Urbanus Naharia (salah satu pembicara), berbagai persoalan ekologis yang berlangsung di level lokal pada dasarnya harus dibaca juga secara global. Hal ini mengingat berbagai kerusakan tersebut, yang berlangsung di berbagai tempat, telah mengubah pola iklim dunia yang pada gilirannya meningkatkan akselerasi kerusakan bumi; misalnya perubahan iklim mengakibatkan rusaknya ekosistem wilayah pesisir, hilangnya pulau, berkembangnya virus di daerah tropis dan terjadi kekeringan di berbagai tempat (naiknya suhu bumi). Nahiria mengaitkan persoalan ini dengan pola produksi ekstraktif yang berlangsung untuk mengisi konsumsi manusia yang tidak terbatas. Deforestasi untuk kepentingan industri misalnya berkontribusi dalam pembentukan gas rumah kaca. Kondisi ini diperparah dengan aktivitas pertambangan yang menghasilkan limbah beracun (mengandung merkuri dan sianida) yang mencemari air dan tanah, konsumsi bahan bakar fosil dalam jumlah besar dan upaya memompa produksi pangan dengan menggunakan pestisida yang berdampak bukan saja pada tanah dan air, namun juga pada produksi gas rumah kaca.
Catatan yang dibuat Nahiria bisa membantu gereja untuk memahami kerusakan lingkungan, sebagaimana diutarakan para peserta lokakarya, dengan bencana ekologis dalam skala global. Di tingkat lokal, masalah kekeringan dan kelangkaan air bersih - dalam pembacaan para peserta lokakarya - merupakan dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak ini terjadi di tengah penghisapan sumber daya alam (SDA) dalam bentuk pertambangan dan deforestasi yang berlangsung tanpa kedali. Dari pemantauan para peserta lokakarya, kepentingan ekonomi dan politik lokal menjadi kekuatan yang bergerak di balik bencana ekologis yang dirasakan masyarakat. Hal seperti ini pada gilirannya juga mengubah prilaku masyarakat, yakni berkembangnya ketergantungan masyarakat pada aktivitas ekstraktif karena dapat menghasilkan uang dengan cepat.
Pada titik ini, gereja tampak kesulitan menghadapi akselerasi kerusakan lingkungan dan ruang hidup manusia. Ini tampak pada lemahnya koordinasi antargereja, tidak adanya wadah kajian antargereja di level lokal yang dapat mendeteksi dengan cepat kerusakan di wilayah kehadiran gereja, ketidakmampuan gereja mengendalikan konsumsi masyarakat, posisi gereja yang lemah baik untuk memediasi masyarakat (yang berhadapan dengan elit ekonomi dan politik) maupun untuk memengaruhi kebijakan publik. Ini belum lagi kesibukan gereja dengan persoalan hukum terkait harta milik gereja dan lemahnya infrastruktur oikoumene di berbagai level. Dengan kata lain, di tengah bencana ekologis yang terjadi di berbagai tempat, gereja sepertinya menghadapai persoalan internal yang rumit. Dan karena itu, sebagaimana disinggung Siwu, dibutuhkan pertobatan baik oleh gereja maupun berbagai komponen masyarakat. 



Penulis: Beril Huliselan

*******



Penguatan Masyarakat Lokal dalam Rangka Keadilan Ekologis

 Lokakarya Pergumulan dan Keterlibatan Gereja 
dalam Persoalan Keadilan Ekologis

Pematangsiantar, 25-27 Agustus 2016



Penguatan masyarakat lokal merupakan tantangan yang penting mendapat perhatian gereja-gereja dalam berhadapan dengan persoalan keadilan ekologis. Hal ini tampak dalam sejumlah isu yang mengemuka dalam kegiatan lokakarya “Pergumulan dan Keterliban Gereja dalam Persoalan Keadilan Ekologis” yang diadakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lokakarya tahap awal ini diadakan untuk gereja-gereja di wilayah Sumatra, dan berlangsung dari tanggal 25-27 Agustus 2016 di Pematangsiantar; Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) bertindak sebagai tuan Rumah. Sejumlah utusan gereja dari Bengkulu, Kep. Riau, Nias, Mentawai, tanah Karo, Simalungun dan Medan menyoroti gerak pembangunan yang berdampak pada masyarakat lokal dan alam sebagai ruang hidup mereka.
Pertambangan dan hutan merupakan isu yang menonjol dan memiliki daya rusak terhadap harmoni manusia dengan alam. Selain itu, sektor pariwisata – khususnya pengembangan wilayah danau Toba – mendapat sorotan khusus mengingat dampaknya terhadap rusaknya alam dan tatanan sosio-budaya yang selama bertahun-tahun menjadi pijakan masyarakat dalam memahami alam dan manusia. Kombinasi besarnya arus modal dan kepentingan politik telah mengubah alam menjadi objek ekstraktif dalam rangka akumulasi modal. Hal ini kemudian diikuti kerusakan sumber hidup manusia, gesekan horizontal (baik antarmasyarakat maupun antara masyarakat dengan kekuatan modal dan politik) serta kerusakan cara pandang masyarakat terhadap alam. Di sini alam seperti kehilangan makna komunalnya, lalu diganti dengan nilai ekonomi (uang). Pergeseran seperti ini pada gilirannya berdampak terhadap relasi sosial, khususnya cara manusia memahami sesamanya.
Penguatan masyarakat lokal membutuhkan keterlibatan gereja-gereja, bersama-sama dengan komponen masyarakat sipil, untuk memperkuat posisi tawar masyarakat dalam berhadapan dengan kekuatan modal dan politik. Hal ini penting mengingat masyarakat lokal sesungguhnya berada di baris terdepan saat berhadapan dengan manuver kepentingan ekonomi yang mengubah alam menjadi objek ekstraktif.
Dalam rangka penguatan masyarakat lokal, gereja perlu mengembangkan percakapan kontekstual dengan berbagai pihak agar masalah ekologi tidak menjadi anonim di mata gereja, sebagaimana disinggung oleh Pdt. Martin Sinaga (salah satu pembicara). Percakapan kontekstual yang juga memampukan gereja dan masyarakat sipil berperan di wilayah kebijakan yang menempatkan keadilan ekologis sebagai pijakan dari berbagai regulasi; baik di level nasional maupun daerah. Sebagaimana di katakan oleh Jhonny Simanjuntak (salah satu pembicara): “hukum lingkungan hidup harus menjadi batang dari peraturan lainnya baik terkait industri, kehutanan, perikanan dan seterusnya”. Bagi para peserta lokakarya, gereja perlu melakukan mainstreaming isu keadilan ekologis, penguatan pendidikan ekologis dan meningkatkan sinergisitas (baik antargereja maupun antara gereja dengan masyarakat sipil) dalam membaca dan merespon persoalan ekologi yang terjadi di tingkat lokal.


*******