Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

Bumi sebagai Tubuh Kehidupan

 (Seminar Agama-agama PGI ke-32 - Banjarmasin, 11-14 Januari 2017)


Frasa “bumi sebagai tubuh kehidupan” sesungguhnya hendak merefleksikan keterhubungan segala sesuatu di muka bumi. Dan karena itu, persoalan ekologi tidak bisa dibaca lepas dari pergumulan di wilayah keadilan sosial dan ekonomi.  Hal ini menjadi sorotan Seminar Agama-agama (SAA) ke-32 yang diadakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dari tanggal 11-14 Januari 2017 di Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Sorotan ini membuat agama-agama, khususnya gereja-gereja di Indonesia, perlu membaca kembali relasi manusia dengan bumi dalam rangka merawat kehidupan yang berpusat di muka bumi. Dalam pembacaan Pdt. Gomar Gultom (Sekum PGI), perspektif Kristen mengharuskan gereja-gereja membaca manusia dalam kesatuan dengan bumi; manusia dibentuk dari bumi (debu tanah; Kej 2:7) dan hidup dari bumi (Kej 3:19). Hal ini juga yang membuat PGI memberi perhatian pada keadilan ekologis, sebagaimana digariskan dalam sidang raya PGI di Nias (2014).
Apa yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom pada dasarnya bisa dibaca secara bersamaan dengan pembacaan agama lain, sekalipun tentu dengan bahasa dan narasi teologi yang berbeda. Kenapa demikian? Karena kerusakan ekologi, yang berjalan bersamaan dengan ketidakadilan sosio-ekonomi, telah membawa agama-agama berada dalam tantangan bersama untuk merefleksikan keberadaanya di tengah bencana ketidakadilan ekologis yang ada. Dari perspektif konghucu misalnya, sebagaimana disampaikan oleh wakil Matakin, manusia dan bumi pada dasarya adalah satu tubuh mengingat individu tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan komunitas dan alam.  Oleh karena itu, melukai alam berarti melukai tubuh itu sendiri, dan sekaligus merefleksikan prilaku yang semakin menjauh dari kebajikan Tuhan. Perspektif yang terfokus pada manusia (anthroposentris), dari sudut pandang Konghucu, dipandang tidak lagi memadai dalam membaca relasi manusia dengan alam. Posisi ini sesungguhnya di sadari juga oleh agama-agama lain, dan ini sekaligus menggambarkan bagaimana agama-agama bergelut untuk menemukan bahasa yang tepat dalam memahami kembali relasi manusia dengan alam.
Di dalam Islam, menurut Mochammad Maksum Machfoedz (wakil NU), dikenal relasi segitiga antara Allah (sang pencipta), sesama manusia dan alam. Relasi ini harus dijaga manusia (sebagai khalifah) mengingat Allah dipahami telah menetapkan segala sesuatu sesuai ukuran dan tempatnya. Apabila relasi ini terusik, keseimbangan yang ada pun akan terganggu. Inilah yang dipandang sebagai penyebab kerusakan, atau bahkan kehancuran, lingkungan hidup. Oleh karena itu, di dalam Islam, manusia tidak bisa memahami dirinya di luar tanggungjawab mengelola keseimbangan alam. Bahkan, menurut Mochammad Maksum Machfoedz, mengelola keseimbangan alam adalah ibadah yang harus dijalani manusia sebagai khalifah.
Di sini kita bisa melihat bahwa agama-agama memiliki titik berangkat yang sama di mana alam (bumi) tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang eksternal dari kehidupan manusia. Sebaliknya, keduanya saling terhubung satu dengan yang lain dalam konteks sustainability of life. Dalam bahasa Pdt. Martin Sinaga (salah satu pemakalah), posisi ini disebut “eko-spiritualitas” di mana manusia membaca dirinya dalam harmoni dengan alam.  Pembacaan seperti ini, bisa dikatakan, memperlihatkan terjadinya dialog agama-agama dengan kearifan lokal. Hal ini mengingat dalam agama lokal, sebagaimana digambarkan oleh Pdt. Marko Mahin (Dayak Kaharingan) dan Mijak (wakil suku anak dalam), siklus hidup manusia dipahami secara dialogis dengan siklus alam. Dan karena itu, keseimbangan relasi antara manusia dan alam menjadi penting dalam menopang sustainability of life.  
Apabila relasi tersebut (alam dan manusia) rusak, bencana ekologis menjadi tak terhindarkan. Di dalamnya terjadi kerusakan segitiga, yakni: alam, manusia (termasuk dunia sosio-budayanya) dan infrastruktur penopang kehidupan manusia. Hal ini bisa dilihat pada hasil penelitian Litkom PGI (2016) mengenai “Pergumulan dan Keterlibatan Gereja dalam Keadilan Ekologis”. Penelitian tersebut mencatat bahwa:
1.    Setidaknya 62% daratan di Indonesia (hingga 2015) telah dikapling oleh sektor pertambangan, perkebunan dan kehutanan;
2.    Berkembangnya konflik horizonal yang menggambarkan: rusaknya tatanan sosio-budaya masyarakat (termasuk hak sosio-budaya masyarakat), adanya ketimpangan kepemilikan atau penguasaan lahan, expansi modal dan ketidakmampuan pemerintah menjamin keselamatan rakyat (berdiri bersama rakyat);
3.    Terjadi 449 bencana banjir dan 131 bencana longsor. Dampak dari semua peristiwa tersebut, 60 orang meninggal dunia akibat banjir dan 166 orang longsor (data catatan WALHI tahun 2015); 
4.    Kebakaran hutan yang hampir terjadi di seluruh Indonesia, khususnya (terbanyak) di Sumatera, Kalimantan dan sebagian di pulau Jawa;
5.    Air tercemar karena pembuangan limbah;
6.    Dislokasi masyarakat sebagai akibat penguasaan hutan untuk industri ekstraktif;
7.    Kemampuan fungsi hutan sebagai penahan dan penangkap air menurun drastis, bencana longsor dan banjir mengancam setiap saat di musim penghujan;
8.    Naiknya angka kematian sebagai akibat bencana asap sebagai akibat praktek land clearing, dengan cara membakar, untuk kepentingan perkebunan;
9.    Berkembangnya prostitusi di wilayah-wilayah industri ekstraktif;
10. Terjadinya kemiskinan di daerah-daerah di mana industri ekstraktif berlangsung.
Di sini gereja-gereja berhadapan dengan tantangan yang rumit mengingat persoalan-persoalan tersebut terjadi di hadapan gereja-gereja. Dari penelitian yang ada, umumnya gereja-gereja merespon persoalan ini dengan bermain di wilayah pengajaran (khotbah, katekisasi, penerbitan materi-materi pengajaran mengenai lingkungan hidup), penanaman pohon dan tanggap darurat. Di luar ini, ada sedikit gereja yang bergerak di wilayah advokasi yang digalang secara lintas iman. Advokasi “Save Aru” menjadi contoh bagaimana gereja, dalam jaringan lintas iman, mengadvokasi salah satu isu ketidakadilan ekologis di Maluku. Dalam konteks “Save Aru”, ada beberapa hambatan yang sebenarnya juga dijumpai dalam pergumulan gereja-gereja di sejumlah tempat, yakni hambatan terkait cara berpikir intitusional, ketidaksiapan kapasitas gereja dan ketidakmampuan gereja berhadapan dengan penguasa ekonomi dan politik. Di luar ini, sebagaimana ditangkap dalam penelitian Litkom PGI, terdapat hambatan lain seperti:
1.    Adanya konflik kepentingan di internal gereja, yakni terkait keterlibatan anggota jemaat – dan bahkan gereja secara institusi – dalam industri ekstraktif;
2.    Hampir tidak ada aktivitas bersama lintas gereja dalam rangka pendataan dan kajian ketidakadilan ekologis;
3.    Ada cara pandang bahwa gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintah, misalnya terkait pemberian izin;
4.    Adanya pemisahan isu lingkungan hidup dari isu keadilan sosio-ekonomi dalam kegiatan gereja. Ini tampak dari fokus gereja - baik dalam pengajaran maupun aksi - yang lebih tertuju hal klasik dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya anjuran atau arahan agar tidak merusak lingkungan, aksi penanaman pohon, membuat lubang biopori, daur ulang sampah dan sebagainya.
Dalam catatan Pdt. Jacky Manuputty, advokasi “Save Aru” sesungguhnya menunjukan bahwa gereja memiliki kemampuan untuk bergerak lebih jauh, yakni sampai ke wilayah advokasi dalam merespon isu keadilan ekologis. Namun, hal ini menuntun kemauan dan keberanian gereja bergerak bersama-sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil.


Penulis: Beril Huliselan

********