(Seminar Agama-agama PGI ke-32 - Banjarmasin, 11-14 Januari
2017)
Frasa
“bumi sebagai tubuh kehidupan” sesungguhnya hendak merefleksikan keterhubungan
segala sesuatu di muka bumi. Dan karena itu, persoalan ekologi tidak bisa
dibaca lepas dari pergumulan di wilayah keadilan sosial dan ekonomi. Hal ini menjadi sorotan Seminar Agama-agama
(SAA) ke-32 yang diadakan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dari
tanggal 11-14 Januari 2017 di Banjarmasin (Kalimantan Selatan). Sorotan ini
membuat agama-agama, khususnya gereja-gereja di Indonesia, perlu membaca
kembali relasi manusia dengan bumi dalam rangka merawat kehidupan yang berpusat
di muka bumi. Dalam pembacaan Pdt. Gomar Gultom (Sekum PGI), perspektif Kristen
mengharuskan gereja-gereja membaca manusia dalam kesatuan dengan bumi; manusia
dibentuk dari bumi (debu tanah; Kej 2:7) dan hidup dari bumi (Kej 3:19). Hal
ini juga yang membuat PGI memberi perhatian pada keadilan ekologis, sebagaimana
digariskan dalam sidang raya PGI di Nias (2014).
Apa
yang disampaikan oleh Pdt. Gomar Gultom pada dasarnya bisa dibaca secara
bersamaan dengan pembacaan agama lain, sekalipun tentu dengan bahasa dan narasi
teologi yang berbeda. Kenapa demikian? Karena kerusakan ekologi, yang berjalan
bersamaan dengan ketidakadilan sosio-ekonomi, telah membawa agama-agama berada
dalam tantangan bersama untuk merefleksikan keberadaanya di tengah bencana
ketidakadilan ekologis yang ada. Dari perspektif konghucu misalnya, sebagaimana
disampaikan oleh wakil Matakin, manusia dan bumi pada dasarya adalah satu tubuh
mengingat individu tidak berdiri sendiri, melainkan menyatu dengan komunitas
dan alam. Oleh karena itu, melukai alam
berarti melukai tubuh itu sendiri, dan sekaligus merefleksikan prilaku yang
semakin menjauh dari kebajikan Tuhan. Perspektif yang terfokus
pada manusia (anthroposentris), dari sudut pandang Konghucu, dipandang tidak lagi memadai dalam
membaca relasi manusia dengan alam. Posisi ini sesungguhnya di sadari juga oleh
agama-agama lain, dan ini sekaligus menggambarkan bagaimana agama-agama
bergelut untuk menemukan bahasa yang tepat dalam memahami kembali relasi
manusia dengan alam.
Di
dalam Islam, menurut Mochammad Maksum Machfoedz (wakil NU), dikenal relasi
segitiga antara Allah (sang pencipta), sesama manusia dan alam. Relasi ini
harus dijaga manusia (sebagai khalifah) mengingat Allah dipahami telah
menetapkan segala sesuatu sesuai ukuran dan tempatnya. Apabila relasi ini
terusik, keseimbangan yang ada pun akan terganggu. Inilah yang dipandang sebagai penyebab kerusakan, atau bahkan kehancuran, lingkungan hidup. Oleh karena
itu, di dalam Islam, manusia tidak bisa memahami dirinya di luar tanggungjawab
mengelola keseimbangan alam. Bahkan, menurut Mochammad Maksum Machfoedz,
mengelola keseimbangan alam adalah ibadah yang harus dijalani manusia sebagai
khalifah.
Di
sini kita bisa melihat bahwa agama-agama memiliki titik berangkat yang sama di
mana alam (bumi) tidak bisa dipahami sebagai sesuatu yang eksternal dari kehidupan
manusia. Sebaliknya, keduanya saling terhubung satu dengan yang lain dalam
konteks sustainability of life. Dalam
bahasa Pdt. Martin Sinaga (salah satu pemakalah), posisi ini disebut
“eko-spiritualitas” di mana manusia membaca dirinya dalam harmoni dengan alam. Pembacaan seperti ini, bisa dikatakan,
memperlihatkan terjadinya dialog agama-agama dengan kearifan lokal. Hal ini
mengingat dalam agama lokal, sebagaimana digambarkan oleh Pdt. Marko Mahin
(Dayak Kaharingan) dan Mijak (wakil suku anak dalam), siklus hidup manusia
dipahami secara dialogis dengan siklus alam. Dan karena itu, keseimbangan relasi
antara manusia dan alam menjadi penting dalam menopang sustainability of life.
Apabila
relasi tersebut (alam dan manusia) rusak, bencana ekologis menjadi tak
terhindarkan. Di dalamnya terjadi kerusakan segitiga, yakni: alam, manusia
(termasuk dunia sosio-budayanya) dan infrastruktur penopang kehidupan manusia. Hal
ini bisa dilihat pada hasil penelitian Litkom PGI (2016) mengenai “Pergumulan
dan Keterlibatan Gereja dalam Keadilan Ekologis”. Penelitian tersebut mencatat
bahwa:
1. Setidaknya
62% daratan di Indonesia (hingga 2015) telah dikapling oleh sektor pertambangan,
perkebunan dan kehutanan;
2. Berkembangnya
konflik horizonal yang menggambarkan: rusaknya tatanan sosio-budaya masyarakat
(termasuk hak sosio-budaya masyarakat), adanya ketimpangan kepemilikan atau
penguasaan lahan, expansi modal dan ketidakmampuan pemerintah menjamin
keselamatan rakyat (berdiri bersama rakyat);
3. Terjadi
449 bencana banjir dan 131 bencana longsor. Dampak dari semua peristiwa
tersebut, 60 orang meninggal dunia akibat banjir dan 166 orang longsor (data
catatan WALHI tahun 2015);
4. Kebakaran
hutan yang hampir terjadi di seluruh Indonesia, khususnya (terbanyak) di Sumatera, Kalimantan dan sebagian di pulau Jawa;
5. Air
tercemar karena pembuangan limbah;
6. Dislokasi
masyarakat sebagai akibat penguasaan hutan untuk industri ekstraktif;
7. Kemampuan
fungsi hutan sebagai penahan dan penangkap air menurun drastis, bencana longsor
dan banjir mengancam setiap saat di musim penghujan;
8. Naiknya
angka kematian sebagai akibat bencana asap sebagai akibat praktek land clearing, dengan cara membakar, untuk kepentingan perkebunan;
9. Berkembangnya
prostitusi di wilayah-wilayah industri ekstraktif;
10. Terjadinya kemiskinan di daerah-daerah di mana industri ekstraktif berlangsung.
Di
sini gereja-gereja berhadapan dengan tantangan yang rumit mengingat
persoalan-persoalan tersebut terjadi di hadapan gereja-gereja. Dari penelitian
yang ada, umumnya gereja-gereja merespon persoalan ini dengan bermain di
wilayah pengajaran (khotbah, katekisasi, penerbitan materi-materi pengajaran
mengenai lingkungan hidup), penanaman pohon dan tanggap darurat. Di luar ini,
ada sedikit gereja yang bergerak di wilayah advokasi yang digalang secara
lintas iman. Advokasi “Save Aru” menjadi contoh bagaimana gereja, dalam
jaringan lintas iman, mengadvokasi salah satu isu ketidakadilan ekologis di
Maluku. Dalam konteks “Save Aru”, ada beberapa hambatan yang sebenarnya juga
dijumpai dalam pergumulan gereja-gereja di sejumlah tempat, yakni hambatan
terkait cara berpikir intitusional, ketidaksiapan kapasitas gereja dan
ketidakmampuan gereja berhadapan dengan penguasa ekonomi dan politik. Di luar
ini, sebagaimana ditangkap dalam penelitian Litkom PGI, terdapat hambatan lain
seperti:
1. Adanya
konflik kepentingan di internal gereja, yakni terkait keterlibatan anggota jemaat – dan bahkan gereja secara institusi – dalam industri ekstraktif;
2. Hampir
tidak ada aktivitas bersama lintas gereja dalam rangka pendataan dan kajian
ketidakadilan ekologis;
3. Ada
cara pandang bahwa gereja tidak boleh ikut campur dalam urusan pemerintah,
misalnya terkait pemberian izin;
4. Adanya
pemisahan isu lingkungan hidup dari isu keadilan sosio-ekonomi dalam kegiatan
gereja. Ini tampak dari fokus gereja - baik
dalam pengajaran maupun aksi - yang
lebih tertuju hal klasik dalam pemeliharaan lingkungan, misalnya anjuran atau
arahan agar tidak merusak lingkungan, aksi penanaman pohon, membuat lubang
biopori, daur ulang sampah dan sebagainya.
Dalam
catatan Pdt. Jacky Manuputty, advokasi “Save Aru” sesungguhnya menunjukan bahwa
gereja memiliki kemampuan untuk bergerak lebih jauh, yakni sampai ke wilayah advokasi
dalam merespon isu keadilan ekologis. Namun, hal ini menuntun kemauan dan keberanian gereja bergerak bersama-sama dengan berbagai elemen masyarakat sipil.
Penulis: Beril Huliselan
Penulis: Beril Huliselan
********