Jakarta, 17 Februari 2021
(Beril Huliselan)
Sidang Majelis Pekerja Lengkap
(MPL) Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), berlangsung pada 25-26
Januari 2021, bisa dikatakan unik, paling tidak bagi penulis. Dikatakan unik
karena persidangan ini sepenuhnya berlangsung secara digital dengan peserta yang
berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Dalam beberapa tahun terakhir,
sebelum pandemi, PGI telah berusaha memanfaatkan layanan live streaming dan teknologi cloud untuk distribusi kegiatan dan
materi, baik di sidang MPL PGI maupun Sidang Raya (SR) PGI. Namun kali ini,
mengingat kondisi pandemi, persidangan sepenuhnya berjalan secara
digital, dan bisa dikatakan berjalan dengan baik. Selain PGI, gereja-gereja pun
terlihat cepat beradaptasi dalam menerjemahkan pelayanan maupun kegiatan
persidangan mereka melalui teknologi komunikasi digital. Hal ini perlu
diapresiasi, sekaligus menunjukan bahwa tidak semua gereja berada dalam kondisi gagap
teknologi; tentunya tanpa mengabaikan kenyataan bahwa masih banyak gereja yang belum
memiliki kemewahan tersebut.
Catatan ini dibuat tidak untuk
menilai seluruh rangkaian kegiatan MPL PGI 2021, namun sekedar ingin turut membaca dan menggumuli perjalanan gerakan ekumene sebagaimana
tergambar dalam laporan garis besar pelaksanaan program 2020, disampaikan
oleh Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI dalam sidang MPL PGI 2021. Disebut
catatan awal karena penulis belum memiliki laporan lengkap pelaksanaan program
PGI 2020, termasuk penyesuaian yang dilakukan terhadap Program Kerja Lima Tahun
(Prokelita) PGI 2019-2024. Karena itu, tulisan ini sepenuhnya mengambil
informasi dari laporan garis besar pelaksanaan program yang disampaikan dalam
sidang MPL 2021 dan disiarkan secara live streaming. Dengan catatan,
tulisan yang lebih panjang akan dibuat setelah laporan lengkap diperoleh
penulis. Hal ini juga bisa menjadi catatan bagi PGI agar sebelum persidangan
MPL, laporan pelaksanaan program yang lengkap bisa didistribusikan kepada
kelompok-kelompok studi keesaan agar gerak keesaan di Indonesia bisa dibaca dan
diperkaya dari berbagai sudut pandang. Apalagi, keesaan adalah gerakan umat
sehingga penting untuk membaca laporan tersebut bersama-sama dengan umat. Hal
ini sekaligus mengoreksi posisi yang menekankan bahwa PGI tidak memiliki umat. Posisi
tersebut keliru karena gerakan keesaan justru sedari awal lahir dan digerakan
oleh umat; tanpa umat, tidak mungkin ada meja keesaan yang disebut PGI. Umatlah
yang melahirkan PGI, dan umat juga yang menghidupi PGI. Harapan umat terhadap
PGI juga sangat tinggi, dan itu menunjukan posisi kultural PGI di tengah umat.
Berdasarkan catatan yang
disampaikan Sekum PGI, Prokelita 2019-2024 telah mengalami penyelarasan
mengingat situasi pandemi yang masih berlangsung. Hal ini perlu
diapresiasi mengingat apa yang dipertaruhkan adalah agenda keesaan yang
ditetapkan gereja-gereja dalam SR PGI XVII di Sumba (2019). Ibarat kita
mengendarai mobil dari Jakarta menuju Bandung, kemudian di tengah jalan terjadi
hujan lebat yang mengakibatkan sejumlah pohon tumbang dan kemacetan. Situasi
ini membuat kita harus mencari jalur dan pilihan-pilihan yang tepat agar tetap
tiba di Bandung, dan bukan tiba di Tangerang Selatan.
Dengan kata lain, penyelarasan
tentunya tidak untuk mengubah arah bersama yang tertuang dalam Pokok-Pokok
Tugas Bersama (PPTB) di dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024.
Sebaliknya, justru untuk memastikan bahwa kita akan tiba pada tujuan yang telah
ditetapkan dalam PPTB tersebut, bukan tiba pada tujuan yang lain.
Dalam konteks pandemi, perlu
diingat bahwa persoalan ini (pandemi) bukan sesuatu yang baru sama sekali. Seolah-olah,
hal tersebut muncul begitu saja dan tidak pernah menjadi bagian dalam
percakapan DKG maupul Prokelita; keliru kalau berpikir seperti ini. Bencana
ekologis, di mana pandemi terhisap didalamnya, merupakan isu yang sangat
menonjol dalam percakapan sebelum berlangsung SR PGI XVI di Nias (2014). Isu
ini kemudian memberi warna yang sangat dalam terhadap DKG dan Prokelita yang
lahir setelah SR PGI XVI (Nias) dan SR PGI XVII (Sumba). Bahkan, kelahiran
spiritualitas ugahari pun memiliki akar dalam pergumulan mengenai bencana
ekologis; bencana yang terkait erat dengan ketidakadilan sosial dan ketamakan
manusia. PGI bahkan membuat penelitian khusus mengenai hal ini (ketidakadilan
ekologis) dan berupaya menggaungkan tantangan yang telah menimbulkan bencana di
berbagai daerah, termasuk sejumlah penyakit yang menimbulkan kerusakan permanen
di tubuh manusia. Persoalannya mungkin terletak pada pilihan program dan
strategi yang tidak efektif sehingga upaya tersebut belum berdampak dalam
kerja-kerja keesaan di tingkat lokal dan wilayah.
Sebagaimana diketahui,
Prokelita PGI merupakan penerjemahan PPTB ke dalam program kerja untuk mendorong
gerak misioner gereja-gereja dalam mewujudnyatakan bentuk visible dari
keesaan yang ada dalam DKG. Di sini, Prokelita idealnya tidak sepenuhnya bertumpu
di Salemba 10 (kantor PGI di Jakarta), namun bertumpa pada ecumenical
network (gereja, wadah-wadah ekumene dan mitra) yang tersebar di tingkat
lokal, wilayah dan nasional; terkoneksi (interconnected) satu
dengan yang lain. Karena itu, dalam Prokelita PGI 2019-2024, istilah “transformatif”
diikat dengan istilah “ekumene” yang memiliki akar dalam pergumulan di wilayah ecumenical
network tersebut.
Kedua istilah ini, yakni “transformatif”
dan “ekumene”, bisa dikatakan merangkum apa yang menjadi tujuan (dampak) yang
hendak dicapai dalam Prokelita PGI 2019-2024; keduanya saling terkunci satu
dengan yang lain dan tidak bisa dipahami secara terpisah. Pada titik ini,
penyesuaian dan navigasi terhadap Prokelita – di tengah pandemi yang masih
berlangsung – perlu dijangkarkan agar PGI tiba
pada tujuan yang diharapkan, bukan pada tujuan lain. Di sini peran fasilitasi
PGI diuji dalam menavigasi kerja transformatif dengan bingkai ecumenical
network. Akankah PGI (termasuk gereja-gereja tentunya) dapat bergerak keluar
dari model lama yang telah menjadi bagian dari narasi krisis keesaan?; istilah
ini (krisis keesaan) perlu dielaborasi lebih lanjut dalam tulisan berikutnya.
Apabila diperhatikan, laporan pelaksanaan
program yang disampaikan dalam sidang MPL PGI 2021 belum memperlihatkan
perubahan mendasar; masih berputar dengan model lama. Karena itu, kondisi yang
ada (current state) memperlihatkan besarnya jurang (gap) yang
terbentuk apabila dibandingkan dengan tujuan (dampak) yang diharapkan dalam
PPTB; tujuan tersebut diterjemahkan lebih lanjut dalam rumusan misi dan tujuan
strategis di Prokelita PGI 2019-2024.
Di satu sisi, current state
ini perlu dibaca dalam konteks perjalanan PGI selama 1 tahun setelah SR PGI XVII
di Sumba, serta situasi pandemi yang masih berlangsung. Namun di sisi lain, current
state tersebut memberi gambaran mengenai model navigasi yang sedang digunakan
untuk mencapai tujuan PPTB. Dari sini kita bisa meneropong apakah gerakan
keesaan sedang bergerak keluar dari model yang lama? Kemudian, seberapa jauh berada
on the right track untuk mencapai tujuan PPTB? Jangan sampai, seperti
saya ilustrasikan sebelumnya, kita menjadi seperti orang yang hendak pergi ke
Bandung, tapi tiba di Tangerang Selatan.
Pertanyaannya, mengapa current
state yang ada belum memperlihatkan perubahan mendasar dan masih membentuk gap
yang besar? Pertama, pelaksanaan program dalam gerakan ekumene terlihat
masih berputar sekedar pada produksi event dengan kumpulan outputnya (event terlaksana).
Kumpulan tersebut kemudian dirangkai menjadi sebuah laporan, atau bisa disebut
juga sebagai laporan kumpulan output. Pertanyaannya, apakah produksi event dengan kumpulan outputnya bisa membawa gerakan ekumene ke arah tujuan (dampak) yang
diharapkan dalam PPTB? Itu menjadi soal sekunder, bukan prioritas utama; apalagi kalau sudah bercampur dengan kalkulasi untuk kontestasi di sidang raya.
Model ini memperlihatkan
kesamaan dengan apa yang berkembang beberapa tahun belakangan. Misalnya,
laporan pelaksanaan program PGI 2014-2019, disampaikan dalam SR PGI XVII di
Sumba, sesungguhnya memperlihatkan model tersebut; model yang diisi dengan
kumpulan output, namun sulit mengukur capaian tujuan (dampak) yang diharapkan
dalam dokumen keesaan. Menariknya, dalam SR PGI XVII itu juga, gereja-gereja
menyepakati bahwa telah terjadi krisis keesaan. Ini sebenarnya bukan gejala
baru, tapi sudah dideteksi lama dan menjadi percakapan dalam berbagai diskusi.
Dalam konteks DKG dan Prokelita
2019-2024, PGI (termasuk gereja-gereja) berhadapan dengan agenda pembenahan ecumenical
network, yakni mengurai kemacetan pada simpul-simpul gerakan ekumene – dari level jemaat sampai nasional – yang berkontribusi terhadap krisis keesaan. Berbagai
program PGI 2019-2024, yang lahir dari pergumulan ini, kemudian terangkum dalam tujuan
strategis yang menekankan dialog dan aksi dalam jejaring ekumenis, pengembangan
formasi ekumenis dan diskursus teologi.
Dalam konteks ecumenical
network, laporan pelaksanaan program PGI memperlihatkan
kumpulan output yang sulit digunakan untuk mengukur sudah di mana posisi PGI dalam perjalanan menuju
arah (dampak) yang diharapkan PPTB. Misalnya, harapan akan terdinamisasinya
diskursus teologi, dengan bertumpu pada berbagai simpul gerakan ekumene, hanya
diukur dengan penerbitan Buku Almanak Kristen Indoneia (BAKI). Demikian juga
dengan keinginan untuk terkelolanya relasi ekumenis, dalam dialog dan aksi, yang diukur
dengan kegiatan ibadah rutin. Di luar ini ada diskusi mengenai Papua, namun belum
tergambar pergerakan menuju hasil (dampak) yang hendak dicapai dari Konferensi
Gereja dan Masyarakat (KGM) Papua 2018, dengan ditopang terkelolanya jejaring
lintas gereja dan simpul-simpul ekumene di tingkat lokal dan wilayah.
Pada agenda formasi ekumenis,
sejumlah kegiatan dilaporkan secara umum sehingga sulit melihat bentuk
spesifiknya. Misalnya, kegiatan Interfaith Rainforest (berasal dari
inisiatif internasional untuk kampanye perlindungan perlindungan hutan tropis),
Greenfaith Indonesia (berasal dari inisiatif ICLEI-inisiatif Local
Governments for Sustainability untuk kempanye pengurangan emisi), respons
Pandemi Covid-19 dan advokasi korban SARA. Di sini perlu diingat bahwa formasi
ekumenis lahir dari kebutuhan untuk memperkuat gereja dan wadah ekumene, di
tingkat lokal dan wilayah, untuk masuk dan berperan dalam ruang publik yang
majemuk. Pada titik ini, pertanyaan yang muncul, sudah ada dimanakah posisi PGI
di hadapan arah (dampak) yang hendak dicapai tersebut? Sulit untuk mengukurnya.
Apalagi, terjadi penempatan kegiatan yang tidak tepat. Akibatnya, tidak
berkontribusi dalam mengukur arah (dampak) terkelolanya ecumenical network.
Misalnya, kegiatan Rainforest dan ICLEI yang sebenarnya lebih pas
dimasukan sebagai kegiatan pendukung di dalam tujuan strategis yang menekankan
terkelolanya keadilan ekologis dan konservasi lingkungan.
Selain itu, masih belum
terlihat arah desain pengembangan formasi ekumenis. Perlu diingat, istilah
formasi ekumenis masuk dalam agenda DKG sejak SR PGI XVI di Nias (2014). Akarnya
ada pada pergumulan mengenai terjadinya defisit dalam leadership dan inisiatif
ekumene di tingkat lokal dan wilayah. Karena itu, dibutuhkan arah formasi
ekumenis yang muaranya (dampak) adalah semakin berdayanya berbagai gereja dan
wadah ekumene – di tingkat lokal dan wilayah – untuk masuk dan mewarnai ruang
publik yang majemuk. Dulu PGI memiliki kegiatan Pendidikan Oikoumene Kebangsaan
(POK) yang bisa berkontribusi untuk turut memperkuat formasi ekumenis.
Sayangnya, POK tidak didesain secara berkelanjutan dengan bertumpu pada gereja-gereja
dan jejaring pendidikan teologi. Akibatnya, POK pun sulit berkembang dan
akhirnya macet.
Dalam konteks agenda transformasi,
yang tentunya tidak bisa dipisahkan dengan penguatan ecumenical network,
PGI harus mengelola sejumlah program yang
terkait dengan peran sosial-ekologis dan penguatan kapasitas gereja-gereja
di tengah dampak revolusi teknologi. Apabila dirangkumkan, program-program
tersebut mengarah pada terkelolanya potensi gereja dan wadah ekumene (tingkat
lokal dan wilayah) dalam transformasi sosial di tengah masyarakat. Ini terkait
dengan tantangan pelayanan sosial (kesehatan dan pendidikan), pemberdayaan
ekonomi (dengan perhatian khusus pada Papua, Sumba dan Toraja), keadilan sosial
(daerah tertinggal, masyarakat adat, kelompok rentan dan konflik agraria), keadilan
ekologis (termasuk konservasi lingkungan), jejaring pengurangan resiko bencana,
penguatan partisipasi politik warga gereja, teroptimalisasinya pelayanan hukum
(termasuk advokasi regulasi dan pergumulan kelompok rentan), peran aktif dalam
isu Narkoba dan terkelolanya kepasitas gereja-gereja di tengah tantangan
revolusi teknologi.
Laporan garis besar pelaksanaan
program PGI mengangkat berbagai kegiatan yang masuk dalam kerja transformatif
tersebut; analisis yang lebih panjang perlu dielaborasi dalam tulisan terpisah.
Sementara pada tulisan ini, secara umum bisa dikatakan bahwa kumpulan output
yang ada belum memperlihatkan arah (dampak) terkelolanya kapasitas gereja di
tengah revolusi teknologi dan penguatan peran sosial-ekologis (termasuk dalam
isu HAM dan pemberdayaan ekonomi) yang bertumpu pada jejaring ekumene di
tingkat lokal dan wilayah. Selain itu, arah pendataan dan pemetaan yang
integratif – untuk mendukung agenda kerja
sosial-ekologis, HAM dan ekonomi – juga belum terlihat. Demikian
juga dengan pemberdayaan ekonomi di Papua, Sumba dan Toraja yang tidak muncul
dalam laporan. Padahal, ini mendapat sorotan saat berlangsung SR PGI XVII di
Sumba (2019) dan Sidang MPL-PGI di Lombok (2020).
Sekalipun demikian, perlu
diapresiasi upaya PGI mendorong pemerintah membentuk Tim investigasi dalam
peristiwa pembunuhan di Papua. Bahkan, Komisi Hukum PGI ikut terlibat dalam
proses investigasi tersebut. Selain itu, pemberdayaan ekonomi warga jemaat yang
dilakukan PGI juga merupakan langkah positif, yakni melalui pengembangan situs
belanja daring dan pengembangan sentra produksi di Sulawesi Utara. Namun, dalam
laporan garis besar program, tidak terlihat sejauh mana desain dan pelaksanaan
pemberdayaan ekonomi umat bertumpu pada penguatan institusi gereja dan simpul
ekumene lokal; ini terkait dengan penyiapan kelembagaan, program, sumber daya
manusia, network, daya dukung finansial dan teknologi. Dalam kegiatan situs
belanja daring misalnya, tidak terlihat penguatan institusi gereja untuk menjadi pemegang kendali pemberdayaan ekonomi umat. Padahal, beberapa
gereja memiliki kemampuan. Aktivitas yang ada lebih terlihat bergerak di luar
institusi gereja. Dampaknya, kontinuitas program bisa terganggu dan peran
gereja yang tidak menonjol; saat ini, misalnya, situs belanja daring tersebut (http://openpo.online/)
belum bisa berjalan lagi. Demikian juga dengan pengembangan sentra produksi di
Sulawesi Utara, belum terlihat seperti apa desain penguatan institusi gereja dan
simpul ekumene lokal. Di sini perlu diingat bahwa arah pengelolaan peran
sosial-ekologis, termasuk isu HAM dan pemberdayaan ekonomi, justru harus bertumpu pada penguatan gereja dan wadah ekumene lokal (ecumenical
network).
Dalam gerakan ekumene, pergulatan terbesar kita bukan sekedar pada doing ecumenical things, tapi lebih pada doing things ecumenically. Di sini, gereja-gereja merefleksikan diri dan merumuskan kehadirannya dalam interkoneksi dengan yang lain. Karena itu, ecumenical things harus diletakan dan dibaca dalam bingkai ecumenical network. Di dalamnya, penguatan gereja dan simpul-simpul ekumene berlangsung di berbagai level, serta terjadi proses rethinking yang mendorong gereja-gereja terus memperbarui dirinya.
Hal kedua, terkait current
state yang belum memperlihatkan perubahan mendasar, adalah agenda keesaan dalam
Prokelita PGI masih bertumpu di Salamba 10. Dengan kata lain, masih terjadi
semacam “Salembanisasi” dalam pengelolaan agenda keesaan yang kemudian diterjemahkan ke
dalam Prokelita PGI. Ini bukan hal yang baru, namun sudah berlangsung lama.
Ketiga, Prokelita disusun
dengan meletakkannya pada agenda bersama gereja-gereja dan daya dukung untuk
implementasinya. Karena itu, tidak bisa kegiatan dibongkar pasang atau
dimasukan secara mendadak tanpa melihat alurnya. Setiap program dan tujuan yang ada (dampak), pada dasarnya, terikat dengan indentifikasi dan analisis masalah yang panjang; tidak muncul begitu saja.
Persoalannya, di tengah jalan kadang kegiatan-kegiatan tertentu dimasukan atau
dipindahkan tempatnya tanpa melihat dampaknya terhadap alur desain program. Ini
bisa mempersulit upaya untuk mengukur tujuan (dampak) yang hendak dicapai dalam
PPTB. Misalnya, kegiatan Rainforest dan ICLEI yang saya singgung di atas.
Kemudian, pengembangan situs belanja daring yang sebenarnya terkait dengan
pemberdayaan ekonomi justru tidak ditempatkan dalam tujuan strategis yang
menekankan pemberdayaan ekonomi umat. Demikian juga dengan penanganan khusus Pandemi
Covid-19 (GMC-19) yang dilaporkan secara terpisah dari jalur Pengurangan Resiko
Bencana (PRB). Padahal, Pandemi Covid-19 adalah bencana dan jalurnya sudah ada dalam
Prokelita 2019-2024. Karena itu, penangananya harus diletakkan pada jalur
bencana agar memperkuat PRB dan turut mendukung tujuan terkelolanya jejaring
gereja dalam pengurangan resio bencana.
Keempat, tujuan strategis yang
menekankan penguatan kapasitas kelembagaan dan kinerja struktural PGI tidak
muncul dalam laporan garis besar pelaksanaan program; tidak ada penjelasan
mengenai hal tersebut. Padahal, ini dibutuhkan agar program yang ada ditopang
oleh struktur, mekanisme, skill dan daya dukung finansial yang baik. Sulit
rasanya berbicara mengenai program dan arah (dampak) yang hendak dicapai dalam
PPTB apabila tidak didukung penguatan kapasitas kelembagaan.
Secara umum, bisa dikatakan
bahwa belum terjadi perubahan mendasar dalam pengelolaan gerakan ekumene.
Karena itu, gap yang terbentuk pun masih lebar di hadapan tujuan (dampak) yang
diharapkan dalam dokumen keesaan, khususnya PPTB. Apa yang terlihat baru
sebatas kumpulan event dengan output yang belum bisa mengukur capaian (dampak)
yang diharapkan PPTB.
Saat ini, PGI dan gereja-gereja
sudah melalui tahun pertama pelaksanaan Prokelita 2019-2024. Artinya, masih
tersisa 3 tahun lagi untuk melakukan navigasi menuju harapan (dampak) yang ada dalam
PPTB. Kenapa demikian? Karena biasanya 1 tahun sebelum sidang raya dilaksanakan
(berikutnya pada 2024), waktu yang ada tersita untuk persiapan berbagai kegiatan pra-sidang raya dan sidang
raya itu sendiri, serta tentunya penyiapan sejumlah laporan ke persidangan. Ini belum lagi, 1 tahun menjelang sidang raya, berbagai pihak akan memaksimalkan waktu tersebut untuk melakukan “kampanye” dalam rangka kontestasi pemilihan eksekutif di sidang raya.
*******