dalam Persoalan Keadilan Ekologis
Kotamobagu (Bolaang Mongondow), 8-10 September 2016
“Dibutuhkan pertobatan”
merupakan poin yang diangkat oleh Pdt. DR. Richard Siwu dalam lokakarya keempat
“Pergumulan dan Keterlibatan Gereja dalam Persoalan Keadilan Ekologis” di Kotamobagu
(Bolaang Mongondow), 8-10 September 2016. Kegiatan ini diselengarakan oleh
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI), dan bertindak sebagai tuan rumah adalah
Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM). Poin yang diangkat Siwu dapat dibaca sebagai
refleksi yang menghubungkan berbagai persoalan ekologis dan keadilan sosial
yang berlangsung di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo; peserta lokakarya
berasal dari kedua wilayah tersebut.
Dalam catatan Prof. DR. Urbanus
Naharia (salah satu pembicara), berbagai persoalan ekologis yang berlangsung di
level lokal pada dasarnya harus dibaca juga secara global. Hal ini mengingat
berbagai kerusakan tersebut, yang berlangsung di berbagai tempat, telah
mengubah pola iklim dunia yang pada gilirannya meningkatkan akselerasi
kerusakan bumi; misalnya perubahan iklim mengakibatkan rusaknya ekosistem
wilayah pesisir, hilangnya pulau, berkembangnya virus di daerah tropis dan
terjadi kekeringan di berbagai tempat (naiknya suhu bumi). Nahiria mengaitkan
persoalan ini dengan pola produksi ekstraktif yang berlangsung untuk mengisi
konsumsi manusia yang tidak terbatas. Deforestasi untuk kepentingan industri
misalnya berkontribusi dalam pembentukan gas rumah kaca. Kondisi ini diperparah
dengan aktivitas pertambangan yang menghasilkan limbah beracun (mengandung
merkuri dan sianida) yang mencemari air dan tanah, konsumsi bahan bakar fosil
dalam jumlah besar dan upaya memompa produksi pangan dengan menggunakan
pestisida yang berdampak bukan saja pada tanah dan air, namun juga pada produksi
gas rumah kaca.
Catatan yang dibuat Nahiria bisa
membantu gereja untuk memahami kerusakan lingkungan, sebagaimana diutarakan para
peserta lokakarya, dengan bencana ekologis dalam skala global. Di tingkat
lokal, masalah kekeringan dan kelangkaan air bersih - dalam pembacaan para peserta
lokakarya -
merupakan dampak yang sangat dirasakan oleh masyarakat. Dampak ini terjadi di tengah
penghisapan sumber daya alam (SDA) dalam bentuk pertambangan dan deforestasi yang
berlangsung tanpa kedali. Dari pemantauan para peserta lokakarya, kepentingan
ekonomi dan politik lokal menjadi kekuatan yang bergerak di balik bencana
ekologis yang dirasakan masyarakat. Hal seperti ini pada gilirannya juga mengubah
prilaku masyarakat, yakni berkembangnya ketergantungan masyarakat pada
aktivitas ekstraktif karena dapat menghasilkan uang dengan cepat.
Pada titik ini, gereja tampak
kesulitan menghadapi akselerasi kerusakan lingkungan dan ruang hidup manusia. Ini
tampak pada lemahnya koordinasi antargereja, tidak adanya wadah kajian antargereja
di level lokal yang dapat mendeteksi dengan cepat kerusakan di wilayah
kehadiran gereja, ketidakmampuan gereja mengendalikan konsumsi masyarakat, posisi
gereja yang lemah baik untuk memediasi masyarakat (yang berhadapan dengan elit
ekonomi dan politik) maupun untuk memengaruhi kebijakan publik. Ini belum lagi
kesibukan gereja dengan persoalan hukum terkait harta milik gereja dan lemahnya
infrastruktur oikoumene di berbagai level. Dengan kata lain, di tengah bencana
ekologis yang terjadi di berbagai tempat, gereja sepertinya menghadapai
persoalan internal yang rumit. Dan karena itu, sebagaimana disinggung Siwu,
dibutuhkan pertobatan baik oleh gereja maupun berbagai komponen masyarakat.
Penulis: Beril Huliselan
Penulis: Beril Huliselan
*******