Book review
Beril Huliselan
(Jurnal Penuntun, Vol. 5, No. 19, 2003)
Judul : Gagasan Islam Liberal di Indonesia
Pengarang : Greg Barton, Ph.D
Penerbit : Paramadina & Pustaka Antara
Format : 14.4 x 20.8 cm; xxiv + 607 hlm.
(termasuk daftar pustaka & lamp; indeks)
Pembaruan Pemikiran Islam: sebuah sketsa
Pembaruan pemikiran Islam tampaknya lahir dari sebuah kegelisahan dan perenungan yang berangsur-angsur menjelma menjadi kekuatan sosio-kultural yang berusaha memecahkan kebuntuan internal di dalam Islam maupun menjawab tantangan modernisasi dan globalisasi dari barat. Kegelisahan ini melahirkan suatu gerakan intelektual yang dipandang Greg Barton bercorak moderat, liberal dan progresif. Sebuah gerakan yang sangat menekankan arti penting Islam yang kontekstual dan substansial, serta tidak menceburkan diri dalam politik kepartaian, sebagaimana dikatakan oleh Barton: ”neo-Modemisme .... berpaham pemisahan antara antara gereja dan negara, dengan pandangan bahwa keterlibatan langsung kelompok-kelompok agama ke dalam partai politik .... menimbulkan ketegangan-ketegangan sektarian dan polarisasi berdasarkan aliran-aliran keagamaan.” Bagi kalangan neo-Modernis, salah satu kegagalan Modemisme awal adalah terlalu terobsesinya mereka dengan Negara Islam. Oleh karena itu, hal ini cenderung dijauhkan oleh gerakan neo-Modemis.
Barton menggunakan istilah neo-Modemisme untuk membahasakan gerakan tersebut. Sebuah istilah yang diyakininya lebih memadai, baik untuk untuk membedakan gerakan baru ini dengan gerakan Modernisme dan Tradisionalisme yang telah muncul sebelumnya di Indonesia, maupun untuk menggambarkan sebuah sintesis baru antara pemikiran Islam dengan pemikiran dunia modem (Barat). Sebuah sintesis yang menunjukan vitalisasi di dalam Islam yang berperan dalam menjembatani pergesekan antara kalangan Modemis dan Tradisionalis, serta menunjukan sebuah perkembangan yang bergerak melampaui semangat Modernisme yang ditawarkan oleh organisasi seperti Muhammadiyah atau Masyumi. Barton meyakini bahwa gerakan ini memiliki masa depan yang lebih menjanjikan, mengingat kontekstualisasi dan pluralisme mendapat ruang yang besar di dalamnya. Dan tentunya, vitalisasi ini bergerak keluar dari pertarungan kepentingan di dalam politik kepartaian yang seringkali mewarnai kebangkitan di dunia Islam.
Neo-Modemisme berawal dari sebuah gerakan intelektual, mulai periode tahun 1970-an, yang menyerukan arti penting 'Pembaruan Pemikiran Islam'. Gerakan intelektual ini dimotori oleh orang-orang yang memiliki latar belakang Tradisonalis, namun menaruh perhatian pada gagasan-gagasan Modernisme yang berasal dari Muhammad Abduh dan para pengikunya. Oleh karena itu, neo-Modemisme dapat dipandang sebagai perkembangan kemudian dari Modernisme Islam yang bergerak lebih jauh dengan mengawinkan semangat Modernisme awal, kesarjanaan tradisional dan klasik serta metode-metode analitik Modern (Barat). Istilah neo-Modernis pun mulai merebak sebagai hasil refleksi untuk mendudukan gerakan pembaruan ini ke dalam bingkai yang leblh global.
Neo-Modemisme mulai dihembuskan sekitar akhir 1960-an/awal 1970-an oleh tokoh-tokoh yang secara geografis agak berjauhan. Di Jakarta, Nurcholish Madjid tampil dengan serum pembaruan Islam sebagai sebuah agenda yang mendesak. Sebuah gebrakan yang pada akhirnya membuat Madjid dipandang sebagai tokoh yang berbahaya oleh para pemimpin eks-Masyumi. Sementara di Yogyakarta, Djohan Effendi dan Ahmad Wahid berusaha membongkar wacana Islam dengan mengupayakan sebuah pencarian rasional yang kontinu serta tidak terikat pada batasan-batasan tabu dm kebiasaan dogmatik. Di luar ketiga tokoh ini, terdapat Abdurrahan Wahid yang pada akhir 1960-can justru sedang berada di luar negeri. Namun, pada akhir 1970-an mulai menjadi pilar penting dari lingkaran 'Pembaruan Pemikiran Islam' di Jakarta.
Pergesekan yang yang berlangsung lama antara kalangan Tradisionalis dan Modernis, baik dalam tataran teologi maupun praksis politik, telah menjadi salah satu social setting dari munculnya sebuah kesadaran baru yang menggulirkan ‘Pembaruan Pemikiran Islam’. Pergesekan tersebut sebenarnya sempat mereda pada masa penjajahan Jepang. Namun setelah kemerdekaan, pertarungan di antara kedua kelompok ini kembali terjadi dan mengakibatkan keluarnya kalangan Tradisionalis dari Masyumi. Kalangan Tradisionalis, yang diwakili oleh wadah NU, pada akhirnya lebih memiliki daya survive yang lebih baik dibandingkan kalangan Modernis. Hal ini terkait dengan corak pragmatis dan sikap hati-hati yang dijalankan oleh kalangan Tradisionalis dalam membaca wacana dan praksis politik di tanah air. Barton melukiskan orientasi tersebut sebagai berikut:"NU tidak memaksakan diri untuk ‘bersiteguh pada prinsip’. NU lebih memilih menata tanpa .... mengorbankan integritas mereka maupun identitas Muslim dalam mendukung kebijakan pemerintah.”
Selain NU, bagi Barton kemampuan survive seperti itu juga di miliki oleh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) di mana corak pragmatis ikut mewarnai kiprah gerakan mahasiswa ini. Corak pragmatis, pluralistik dan penempatan Islam sebagai yang lebih utama dari pada politik kepartaian, mengakibatkan HMI ― semenjak kelahirannya (tahun 1947) ― selalu mengalami ketegangan dengan Masyumi. Hal ini misalnya tampak pada dukungan HMl pada tahun 1953 terhadap negara sekuler dari pada negara Islam. Barton melukiskan kesetaraan daya survive antara NU dengan HMI sebagai berikut: “....para pemimpin HMI adalah orang-orang yang mempunyai sudut pandang sama dengan para pemimpin NU di sepanjang periode ini, karena kedua kelompok tersebut memperhatikan tanggungjawab mereka yang terbesar untuk .... pendidikan dan stabilitas umat Islam.” Hal ini membawa Barton untuk menempatkan HMI sebagai salah satu tanda-tanda awal berkembangnya sebuah bentuk baru dari Modemsime Islam di Indonesia.
Apabila NU dan HMI memiliki daya survive, di pihak lain kalangan Modemis seperti Masyumi pada akhirnya kehilangan posisi tawar dalam konstalasi politik di tanah air. Hal ini diakibatkan oleh kekakuan mereka, baik di dalam teologi maupun praksis politik. Meredupnya daya jelajah kaum Modernis ini berjalan seiring dengan munculnya sebuah bentuk Modemisme baru yang kemudian dikenal dengan nama neo-Modemisme. Oleh karena itu, neo-Modernisme juga dipandang Barton sebagai hasil sebuah proses evolusi dari Modemisme Islam awal yang mulai meredup di tanah air. Di sini Barton memfokuskan kajiannya pada empat tokoh besar yang berperan dalam mendorong 'Pembaruan Pemikiran Islam', yakni: Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan Abdurrahman Wahid.
Pergulatan Dalam Gagasan
Hal menarik dari buku yang ditulis oleh Greg Barton adalah besarnya porsi yang diberikan untuk nlenggambarkan dan menganalisa gagasan-gagasan pembaruan yang terkait dengan empat tokoh di atas. Hal ini tentunya menjadikan buku ini sebagai salah satu referensi yang menarik bagi mereka yang ingm mendalami lebih jauh gagasan-gagasan pembaruan dari keempat tokoh tersebut. Gagasan-gagasan pembaruan ini sebenamya sudah mulai bergulir dalanl Limited Group yang terbentuk pada tahun 1967. Kelompok diskusi ini dimotori oleh Djohan Effendi, Ahmad Wahid dan M. Dawam Raharjo yang bertujuan untuk menggulirkan proses pencarian rasionalitas secara terus-menerus dalam rangka mengupayakan pembaruan Islam. Sementara kelompok di Yogyakarta ini bergulat di dalam Limited Group mereka, di Jakarta terjadi sebuah gelolak besar sebagai akibat makalah yang dibawakan Nurcholish Madjid pada tanggal 3 Januari 1970 yang berjudul ‘Keharusan Pembaruan Pemiluran Islam dan Masalah Integrasi Umat’. Sebuah makalah yang kemudian menimbulkan kemarahan besar dari kalangan Modemis.
Dalam makalah tersebut, Madjid mencoba melakukan evaluasi kritis terhadap posisi intelektual kalangan Modernis yang cenderung bersifat reaksioner-dogmatis dan sinis terhadap pembaruan umat. Bagi Madjid, dinamika sangat diperlukan apabila kita ingin melihat pembaruan umat. Hal ini menuntut di dalamnya keharusan gerakan pembaruan pemikiran Islam yang radikal. Sebuah gerakan yang menggusur segala bentuk kegemaaran atau tradisi yang cenderung bersikukuh pada dirinya sendiri. Di sinilah Madjid memunculkan istllah ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisasi’ yang kemudian menjadi sebuah perdebatan panjang. Bagi Madjid, ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisasi’ adalah sebuah keharusan bagi pembaruan Islam di mana rasionalitas akan mendapat perhatian penting.
Ini semua dilakukan Madjid bukan untuk meniadakan dimensi transeden. Sebaliknya, justru untuk meletakan ‘yang sakral’ dan ‘yang tidak sakral’ pada tempat semestinya. Dengan demikian, segala bentuk pemberhalaan terhadap ortodoksi-dogmatis dapat dihindarkan dan ruang Bag rasionalitas semakin terbuka. Terbukanya ruang yang lebar bagi rasionalitas menuntut di dalamnya kebebasan berpikir. Kemandekan Islam dalam mata Madjid cenderung diakibatkan oleh hilangnya ruang kebebasan tersebut. Ini bisa dilihat dari pemyataan Madjid, sebagaimana dikutip oleh Barton: “....umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif yang selalu direbut oleh oleh orang lain, sehingga posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada dalam tangan mereka .... Dalam hal inilah kita melihat kelemahan umat Islam .... akibat tiadanya kebebasan berpikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai yang ukhrawi dan yang duniawi, sistim berpikir yang masih terlalu peka diliputi oleh tabu serta a priori, dan seterusnya.”
Bagi Barton, pemikiran Madjid di dalam ‘Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat’ tidak berarti bahwa Madjid telah berputar haluan sebagaima dilontarkan oleh kalangan Modemis. Apabila dibandingkan dengan makalah yang dibawakannya pada tahun 1968 dengan judul ‘Modemisasi ialah Rasionalisasi Bukan Westenisasi’, memang agak terasa nuansa yang bersifat apolegetik. Oleh karena itu, melalui makalah ini Madjid justru banyak mendapat pujian dari kalangan modemis. Namun bagi Barton, salah satu tema sentral yang diangkat pada tahun 1968 adalah mengenai Modeenisasi Oleh karena itu, makalah yang dibawakan pada tahun 1968 sudah memperlihatakan secara samar arah orientasi pemikiran Madjid. Kesalahan kalangan Modemis bagi Barton juga terletak pada ketidakmampuan mereka membaca arah orientasi intelektual Madjid yang sudah bisa ditelusuri sejak makalah tahun 1968.
Dalam makalah tahun 1968 tersebut, Madjid menekankan pentingnya konsepsi Ketuhanan sebagai kekuatan moral yang berperan menjadi pilar utama sebuah peradaban. Madjid di sini menggunakan logika kalangan Modernis-konservatif, dalam melakukan penolakan terhadap sekularisme, yang dipandangnya berkaitan dengan kemunculan sistim yang tirani dan otoriter. Berkaitan dengan makalah ini, menarik memperhatikan analisa Barton terhadap tulisan Madjid yang tampak bernuansa apolegetik tersebut: “....apolegetik Nurcholish Madjid .... tidak pernah semata-mata membela posisl Islam dengan bermain di luar lapangan, melainkan membela Islam sambil melempar gagasan-gagasan baru .... Muatan-muatan seperti itulah yang dikandung dalam makalah ‘Modernisasi ialah Rasionalisasi bukan Westenisasi’....”
Modernisasi, rasionalisasi dan kebebasan berpikir menjadi sesuatu yang menonjol dalam arah intelektualitas Madjid. Pada arah inilah dia sentiasa berusaha masuk dalan kajian-kajian yang membahas Islam dalam kaitan dengan perkembangan yang sedang berlangsung baik di tingkat lokal maupun global. Oleh karena ini, tema-tema seperti ‘rasionalitas dan iman’ atau ‘Islam dan masyarakat modern’ senantiasa bergulir dari gagasan-gagasannya. Tema-tema ini dielaborasi oleh Madjid dan dikombinasikan dengan ijtihad yang menempatkan Al-Qur’an sebagai kebenaran yang kekal. Oleh karena itu, menurut Barton, di sini sebenarnya kita tidak menemukan orientasi liberal seperti yang ditemukan di dunia Barat. Namun dibandingkan dengan kalangan Modernis awal, gagasan Madjid menurut Barton jauh lebih berani dan bebas.
Apabila Madjid bergulat dengan tema-tema besar seperti Modernisasi, Sekularissasi dan keharusan rasionalisasi dalam Islam, Djohan Effendi lebih memfokuskan diri pada problematika kemanusiaan. Pendekatan yang dikembangkan, dalam batasan tertentu, dipandang bercorak humanistik dengan menempatkan rasio pada posisi yang tinggi di dalam Islam. Namun, corak humanistk ini tidak berarti bahwa pemikiran Effendi bersifat anti-teistik. Sebaliknya, otoritas transedental tetap memiliki tempat yang utama di dalam gagsan-gagasan yang digulirkannya.
Penempatan arti penting manusia oleh Effendi terlihat sekali ketika ia berusaha melawan kecenderungan fatalistik yang terkadang menghiasi wajah Islam. Gagasan Effendi mengenai takdir justru dikaitkannya dengan apa yang disebut kehendak bebas. Di sini Effendi berusaha untuk tidak mereduksi otoritas transedental berkaitan dengan kehidupan manusia. Namun baginya, otoritas transedental tersebut diletakkan dalam keterikatan yang kuat dengan tanggungjawab manusia sebagai individu. Dalam kebebasan (kehendak bebas) dan kesadarannya (rasio), manusia memilih untuk tunduk pada otoritas Tuhan. Tunduk pada otoritas Tuhan dirumuskan Effendi sebagai sesuatu yang aktif, di mana manusia menempakan rasionalitasnya untuk mengubah dunia sesuai dengan sifat Tuhan. Di sinilah anugerah Tuhan dipergunakan oleh manusia dengan sebaik-baiknya. Hal ini tampak pada uraian Barton mengenai posisi aktif manusia yang ada dalam gagasan Effendi: “Dan kita tidak hanya memohon keadilan tetapi lebih berusaha untuk menggapainya. Kita tidak hanya memuji kerahiman dan kemurahan hati Tuhan, tetapi juga lebih berbuat selaras dengan kerahimian serta kemurahan Tuhm tersebut.”
Dalam pemikiran Effendi, antara rahmat dan kemanusiaan manusia ditempatkan sebagai dua hal yang saling kait mengkait. Rahmat Tuhan dikaitkan Effendi dengan kemanusiaan manusia yang bergerak dalam kebebasan. Di pihak lain, di dalam kemanusiaannya manusia menjadi agen-agen bebas yang berperan sebagai rahmat Tuhan bagi dunia. Dalam konteks kehidupan bangsa, kerangka seperti ini menggiring Effendi pada penekanan akan arti penting teologi kerukunan. Sebuah penekanan yang memberikan ruang yang besar bagi realitas plural bangsa Indonesia. Di sini Effendi menolak segala absolutisasi agama yang dipandangnya bertentangan dengan kenyataan dasar manusia sendiri. Di dalam kemanusiaannya, setiap individu pada dasarnya memiliki keterbatasan untuk menjangkau kebenaran secara keseluruhan. Oleh karena ini, penghargaan terhadap realitas plural bangsa ini terkait dengan kesadaran manusia akan keterbatasannya menggapai kebenaran serta keterbukaan terhadap pandangan keagamaan yang moderat dan liberal. Di sini dialog menjadi hal yang sangat penting, sebuah sarana yang bagi Effedi menjembatani kompleksitas bangsa dengan berbagai beban sejarah yang ada di belakangnya serta realitas plural yang mengintarinya.
Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Komitmen Effendi terhadap pluralisme ini terartilkulasi dengan dukungannya terhadap Pancasila. Sebuah dukungan yang dalam penelusuran Barton sudah muncul semenjak akhir 1960-an. Dukungan ini didasarkan atas kenyataan plural bangsa ini, di mana Pancasila dapat berfungsi sebagai kerangka konseptual yang berperan dalam membingkai kemajemukan serta memberikan jati diri non-sektarian bagi bangsa ini. Tampaknya, Apa yang dipertaruhkan Effendi di sini tidak lain dari ruang yang besar bagi kebebasan dan kerukunan beragama.
Sebagai rekan Effendi dalam kelompok diskusi Limited Group, Ahmad Wahid juga memperlihatkan suatu orientasi yang menempatkan rasio sebagai hal yang utama dalam Islam. Hal ini berarti bahwa kebebasan berpikir merupakan hal yang mendasar dalam Islam. Rasio dan kebebasan berpikir dirumuskan Wahid dengan menempatkannya dalam keterkaitan dengan eksistensi Tuhan. Tuhan dalam pandangan Wahid adalah sepenuhnya rasional, dan dalam rasionalitas-Nya tersebut Ia menjadikan manusia. Karena itu, Tuhan pada dasarnya mencintai rasio dan kebebasan. Di sini menarik memperhatikan apa yang dikatakan oleh Wahid, sebagaimana kutip oleh Barton: “Saya percaya pada Tuhan, tapi Tuhan bukanlah daerah terlarang bagi pemikiran. Tuhan ada bukan untuk tidak dipikirkan ‘adanya’. Tuhan bersifat wujud bukan untuk kebal dari sorotan kritik, sesungguhnya orang yang mengakui ber-Tuhan, tetapi menolak berpikir bebas berarti menghina rasionalitas eksistensinya Tuhan.”
Atas dasar rasio dan kebebasan berrpikir, Wahid mempersoalkan kalangan Modernis yang dipandangnya cenderung subyektif dan menyerang gagasan-gagasan pembaruan yang bermunculan sekitar tahun 1970-an. Hal ini berarti bertentangan dengan rasio dan kebebasan berpikir. Dan tentunya, bertentangan dengan Islam sendiri yang diyakininya memiliki spirit pembaruan. Spirit pembaruan ini dikaitkan dengan misi dan kiprah Nabi Muhammad sebagai seorang inovator dan reformer. Esensi dari pesan Nabi Muhammad, bagi Wahid, terletak pada upaya pembaruan dan modernisai dunia sosial dan intelektual pada masanya. Pembaruan yang dilakukan Nabi Muhammad adalah pembaruan yang kontekstual, sesuai dengan pergulatan zamannya. Atas dasar inilah Wahid menekankan pentingnya ijtihad yang kontekstual sebagai sebuah keharusan dalam mewujudkan pembaruan Islam. Dalam kerangka ijtihad yang kontekstual ini, sejarah kehidupan Nabi Muhammad mendapat tempat yang penting dalam pemikiran Wahid. Al-Qur'an dan Hadits sendiri bagi Wahid harus dipahami dengan menempatkannya dalam konteks kehidupan Nabi Muhammad. kehidupan Nabi Muhammad tampaknya, dalam pandangan Wahid, menjadi sumber utama dari ajaran Islam. Inilah yang harusnya menjadi terang bagi misi umat Islam di dunia modern. Hal ini bisa dillhat langsung pada uraian Wahid yang diangkat oleh Barton: “....meletakan Sejarah Muhammad dan perjuangannya sebagai sumber ajaran Islam maka .... manusia Muslim terlibat dalam tugas historical direction untuk menghisap dari sejarah Muhammad itu sebagai sumber terang bagi masa kini.”
Di sinilah titik sentral dari gagasan pembaruan yang ditiupkan oleh Wahid, di mana kolaborasi antara rasio, kebebasan dan ijtihad yang kontektual melebur dalam gagasan pembaruannya. Salah satu hal yang menarik dari tokoh sekelas Wahid, dia memiliki keberanian dan kebebasan dalam melakukan eksplorasi terhadap Islam. Ini bisa dilhat dari upayanya untuk menjalankan kejujuran intelektual: “kalau suatu golongan atau umumya umat Islam lemah .... dengan cepat orang-orang berkata bahwa yang salah adalah orang Islam, bukan Islamnya .... Orang takut untuk mempertimbangkan kemungkinan adanya kritik terhadap Islam .... Apakah tidak mungkin Islam itu sendiri mengandung kelemahan? Saya sendiri sampai sekarang masih bertanya-tanya....” Sebuah artikulasi kejujuran yang benar-benar bebas dan tampaknya menjadi ciri khas kiprah intelektual Wahid.
Spirit kebebasan seperti ini, juga terpancar dari tokoh seperti Abdurrahman Wahid. Seorang tokoh yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungm Islam Tradisional, namun memilih gagasan yang melampau kalangan Tradisional dan Modernis. Arti penting pembaruan di dalam Islam digulirkan Abdurrahman dengan kosep ‘dinamisasi’. Bagi Abdurrahman, ‘dinamisasi’ adalah syarat mutlak supaya Islam tidak terjerumus menjadi kering dan legalisme. Melalui konsep 'dinamisasi', Abdurrahman mencoba merefleksikan dan menggulirkan wajah adaptif dan fleksibel dari Islam Tradisional. Bersamaan dengan itu, berusaha melakukan perlawanan terhadap anggapan bahwa agama merupakan salah satu element sosial yang sulit berubah.
Perlawanan Wahid dikembangkan dengan tokoh-tokoh seperti Weber, Gandhi dan Geertz untuk menunjukkan daya transformatif agama. Daya transformatif ini dikaitkan dengan salah satu corak dari Tradisionalis untuk senantiasa melihat ke arah ‘semangat hukum’ dari pada ‘tulisan hukum’. Orientasi pada ‘Semangat hukum’ membuat kalangan Tradisional memiliki sifat yang adaptif dan fleksibel, dibandingkan kalangan Modernis yang cenderungkaku (legal-formalistik). Namun ini tidak berarti bahwa kalangan Tradisional tidak memiliki cacat sama sekali. Bagi Abdurrahman, baik Tradisionalis maupun Modernis sama-sama tidak bebas dari penyakit. Oleh karena itu, ‘dinamisasi’ bagi Wahid justru hadir pada kelompok yang ketiga, yakni gerakan pembaruan Islam yang saat itu mulai bergulir. Pertimbangan beliau adalah: “....gerakan ini .... mengembalikan persoalan pada titik pusatnya, yaitu merumuskan tempat manusia dalam kehidupan dan menarik garis pemikiran keagamaan dari pusat tersebut. Ia bukan pengkotak-katikkan .... melainkan penataan kembali semua dasar yang digunakan dalam pemikiran keagamaan.”
Apa yang disinggung Abdurrahman di atas adalah soal ‘sekularisasi’ dan ‘desakralisas’ Nurcholish Madjid yang dipandangnya memberikan pengaruh terhadap dinamisasi pemikiran keagamaan Islam. Dinamisasi ini pada gilirannya akan memberikan ruang kebebasan untuk merumuskan ulang hubungan manusia dan Allah, sesuatu yang bagi Abdurrahman merupakan persoakan fundamental. Sebuah persoalan yang sebelumnya telah mengalami tumpang-tindih dan membeku ke dalam orientasi legal-formalistik. Dalam kasus Nurcholish Madjid, ruang duniawi dan ukhrawi (transedental) direnungkan kembali dan diletakan pada kedudukan masing-masing sebagaimana mestinya. Hal ini juga yang turut menghiasi gagasan-gagasan dari tokoh-tokoh awal pendorong pembaruan pemikiran Islam. Dinamisasi seperti ini, dalam keyakinan Abdurrahman, akan membuka ruang yang besar bagi pluralisme dan modernitas.
Penutup
Neo-Moernisme tampil dengan menonjolkan pentingnya ijtihad yang kontemporer di mana akselerasi dengan perkembangan zaman menjadi sesuatu yang tidak bisa dittawar-tawar. Sebuah ijtihad yang membuka ruang bag rasionalitas, kebebasan dan kontekstualiasasi. Pluralisme dan demokrasi berangsur-angsur mulai membentuk walah Islam seiring berkembangnya gerakan Pembaruan Pemikiran Islam. Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan kalau Barton dan tokoh seperti Wahid meyakini bahwa gerakan ini memiliki prospek masa depan yang baik. Ini belum lagi ditambah daya lentur neo-Modemisme yang membuatnya sanggup berakselerasi dengan pergeseran-pergeseran sosio-kultural. Namun daya gedor neo-Modernisme tidak sampai menyentuh apa yang disebut Madjid sebagai wilayah ukhrawi (transendental). Oleh karena itu, corak neo-Modernisme praktis berbeda dari radikalisasi kalangan kalangan Liberal (Barat) yang bergerak sampai menggugat otoritas transendental dengan berbagai kritik mereka.
Buku ini sangat menarik untuk dikonsumsi. Namun, kajian yang dilakukan oleh Barton ini tampaknya akan jauh lebih interpretatif apabila dia memasukan juga penelusuran terhadap apa yang dalam sosiologi interpretatif di sebut The shared world of meaning. Hal ini mengingat The shared world of meaning dapat dikatakan merupakan basis dari apa yang disebut community, argument dan discourse. Kajian Barton praktis tidak memberikan ruang yang besar untuk menelusuri hal tersebut, kalau pun ada cenderung sangat terbatas. Oleh karena itu, karya Barton ini di satu sisi sangat bermanfaat pada tingkat payajian gagasan-gagasan neo-Modernisme. Namun si sisi lain, agak kurang pada tingkat interpretatif, khususnya berkaitan dengan eksplorasi dan analisa atas The shared world of meaning.