Beril Huliselan
(Jakarta, 2003)
(Jakarta, 2003)
Pengharapan rasanya merupakan sesuatu yang sulit dipahami saat ini. Betapa tidak, sajauh mata memandang kita seperti diperhadapkan dengan proses reduksi yang luar biasa atas apa yang disebut pengharapan. Pengharapan seperti menjadi sebuah istilah yang sangat dekat dengan orang-orang yang terhisap dengan semangat Leviathan jaman ini. Merekalah komplotan yang dengan tidak tahu malunya terus menerus melantunkan lagu-lagu pengharapan; lagu-lagu yang menceritakan tentang masa depan yang penuh dengan keadilan yang bergulung-gulung bagaikan pesan seorang nabi. Di sini pengharapan menjelma bagaikan ‘The second reality’ yang berusaha menguasai dan mengaburkan ‘The true reality’ yang penuh dengan ritme Leviathan. Di bawah payung ‘The second reality’ inilah, pengetahuan-pengetahuan teknis yang mendikte ruang gerak manusia mendapat pijakannya. Ruang diskursus tidak diperlukan di dalam ‘The second reality’, mengingat apa yang dibutuhkan hanyalah will to power.
Alhasil, pengharapan berdiri tegak lurus dengan will to power. Oleh karena itu, will to power kemudian menjelma menjadi titik pertemuan yang menghubungkan antara masa kini dan ekspektasi akan masa depan. Pengharapan berangsur-angsur mulai kehilangan kegelisahannya. Suatu keadaan yang pada akhirnya membawa pengharapan terlepas dari gerak reflektif. Inilah ill-founded hope yang, dalam konteks Perjanjian Lama, mendapat gugatan terus-menerus dari para nabi individual. Pada para nabi individual ini, ekspektasi akan masa depan Israel senantiasa ditempatkan dalam kegelisahan mereka akan kenyataan riil yang sedang berlangsung. Oleh karena itu, pengharapan selalu digulirkan sebagai sebuah gerak reflektif yang menghadirkan kritik atas realitas.
Dalam dunia modern, ill-founded hope bergulir dalam budaya konsumeristik yang akhirnya menghasilkan mahkluk-mahkluk instrumentalis yang tenggelam dalam gelombang commodification of every aspect of social life. Manusia tak ubahnya sebuah perkakas yang bebas digunakan oleh siapa saja yang menguasai modal dalam perputaran roda produksi. Apabila pemerintah memiliki peranan yang tidak bisa dikesampingkan dalam roda produksi tersebut, maka jangan heran kalau musibah yang menimpa para TKI kemudian dirumuskan dalam angka-angka. Hasilnya, musibah tersebut dianggap sepi, mengingat dari segi kuantitas dipandang tidak ada artinya. Arti penting manusia menjadi tergantung pada nilai jualnya, yah.... seperti sebuah produklah. Keberadaan manusia sebagai mahkuk yang khusus akhirnya lenyap dilindas grand narrative yang bercerita tentang arti kemajuan. Dalam bingkai kemajuan ini jugalah, orang-orang pemerintahan dari pusat sampai daerah asik bercerita tentang pertumbuhan dan masa depan Indonesia. Suatu gambaran kemajuan yang kemudian dirumuskan ke dalam rancangan-rancangan besar tantang tata ruang, pengolaan sumber daya alam, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Alhasil, penggusuran dan penjarahan kekayaan alam menjadi menjadi pengantar minum kopi di sore hari. Semua ini berlangsung dan dibingkai oleh imajinasi akan pertumbuhan dan masa depan Indonesia. Itulah ‘The second reality’, itulah ill-founded hope.
Suatu tugas yang tidak ringan untuk membangun kembali pengharapan sebagai sebuah gerak reflektif yang menghasilkan kritik atas realitas. Suatu gerak yang menjadikan kegelisahan sebagai titik pertemuan antara kekinian dan ekspektasi akan Masa depan. Dengan demikian, pengharapan akan terartikulasi dalam active participation in the world in order to aid in the coming of the better world. Berat memang, namun bukankah itu tugas dari komunitas teologi.