Pendidikan Multikultural adalah Soal Cinta



 (Hari Ketiga SAA PGI 2014)


"Tidak ada yang lebih tinggi dari cinta", begitulah keyakinan Farha Ciciek yang – bersama suaminya – menghidupkan komunitas Tanoker di Ledokombo (Jawa Timur). Komunitas yang lahir dari keinginan mambantu anak-anak yang ditinggal orang tuanya karena harus bekerja sebagai tenaga kerja (TKI) di luar negeri, kemudian berkembang menjadi titik pertemuan lintas budaya dan agama. Di dalamnya, proses belajar dan bermain dihidupi dalam suasana yang terbuka bagi kemajemukan serta penghargaan atas kekayaan lokal. Bagi Cicie, dalam hari ketiga pelaksanaan SAA 2014, menemukan sesuatu yang lokal sangat penting dalam pendidikan multikultural. Dan karena itu, permainan egrang maupun aktivitas seni seperti menyatu dalam kehidupan komunitas Tanoker. Bahkan, proses belajar dan bermain pun berlangsung melalui perjumpaan anak-anak dengan komunitas dari berbagai agama dan bangsa yang datang untuk saling belajar satu dengan yang lain.

Dalam konteks menemukan yang lokal, menarik membaca pernyataan Cicie bahwa melalui komunitas Tanoker dia sesungguhnya ingin menerjemahkan semangat pela gandong – yang menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat Maluku – dalam kehidupan anak-anak di Ledokombo. Di sini persilangan budaya sepertinya menjadi jiwa dari komunitas Tanoker tersebut. Bagi Cicie, semua ini dimungkinkan karena cinta; sambil merujuk Jalaludin Rumi. Dan rasanya, cinta juga yang membuat seorang Weilin Han – salah satu pembicara dalam SAA 2014 – memberi perhatian untuk menjembatani anak-anak dari kalangan menengah ke atas (secara ekonomi) dengan komunitas di sekitar yang berbeda status ekonomi dan agama. Dalam uraiannya, Weilin seolah-olah hendak menekankan bahwa pendidikan multikultural membutuhkan keberanian untuk keluar dari ghetto di mana kecurigaan, prasangka dan kebencian antarkelompok/etnis dipelihara di dalamnya.

Dalam menggumuli rencana tindak lanjut, dengan memperhatikan berbagai masukan dan pengalaman di lapangan, para peserta seminar SAA 2014 membuat surat terbuka yang ditujukan kepada rumah transisi Jokowi-JK. Surat tersebut berisi permintaan kepada pemerintah baru agar memberi perhatian yang besar pada nilai-nilai kebhinekaan yang belakangan ini mengalami kemerosotan dalam dunia pendidikan dan berbagai kebijakan pemerintah (pusat dan daerah). Selain itu, para peserta juga menggariskan perlunya perhatian – dari keluarga, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan dan  pemerintah – untuk mendorong: (1) sosialisasi nilai-nilai multikultural, (2) mengintensifkan perjumpaan lintas agama, (3)memberi perhatian pada kearifan lokal, (4) menghilangkan pemberlakuan simbol-simbol agama secara diskriminatif di sekolah-sekolah umum, (5) adanya monitor terhadap tayangan/informasi diskriminatif yang disiarkan media dan (6) meninjau kembali peraturan-peraturan yang menabrak semangat kebhinekaan. Para peserta yakin bahwa sesungguhnya kita di Indonesia memiliki potensi (opportunity) untuk mendorong pendidikan multikultural di sekolah, lembaga agama dan keluarga. Hal ini mengingat Indonesia memiliki kearifan lokal yang tersebar di berbagai daerah, budaya gotong royong, komunitas lintas agama yang tersebar di berbagai tempat serta tentunya memiliki Pancasila dan UUD 1945. Dengan kata lain, para peserta SAA 2014 meyakini bahwa pendidikan multikultural merupakan sesuatu yang mungkin dilaksanakan karena, dengan memperhatikan kondisi riil yang ada, Indonesia memiliki potensi (opportunity) yang bisa dimanfaatkan, dan apa yang dilakukan oleh Cicie dan Weilin sesungguhnya memperlihatkan hal tersebut.