Lokakarya
Pergumulan dan Keterlibatan Gereja
dalam Persoalan Keadilan Ekologis
dalam Persoalan Keadilan Ekologis
Pematangsiantar,
25-27 Agustus 2016
Penguatan masyarakat lokal merupakan
tantangan yang penting mendapat perhatian gereja-gereja dalam berhadapan dengan
persoalan keadilan ekologis. Hal ini tampak dalam sejumlah isu yang mengemuka
dalam kegiatan lokakarya “Pergumulan dan Keterliban Gereja dalam Persoalan Keadilan
Ekologis” yang diadakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Lokakarya tahap awal ini diadakan untuk gereja-gereja di wilayah Sumatra, dan berlangsung dari tanggal 25-27 Agustus 2016 di Pematangsiantar; Gereja Kristen Protestan Simalungun (GKPS) bertindak sebagai tuan Rumah.
Sejumlah utusan gereja dari Bengkulu, Kep. Riau, Nias, Mentawai, tanah Karo, Simalungun dan Medan
menyoroti gerak pembangunan yang berdampak pada masyarakat lokal dan alam
sebagai ruang hidup mereka.
Pertambangan dan hutan merupakan isu yang menonjol dan memiliki daya rusak terhadap harmoni manusia dengan
alam. Selain itu, sektor pariwisata – khususnya pengembangan wilayah danau Toba
– mendapat sorotan khusus mengingat dampaknya terhadap rusaknya alam dan tatanan
sosio-budaya yang selama bertahun-tahun menjadi pijakan masyarakat dalam
memahami alam dan manusia. Kombinasi besarnya arus modal dan kepentingan
politik telah mengubah alam menjadi objek ekstraktif dalam rangka akumulasi
modal. Hal ini kemudian diikuti kerusakan sumber hidup manusia, gesekan horizontal (baik
antarmasyarakat maupun antara masyarakat dengan kekuatan modal dan politik)
serta kerusakan cara pandang masyarakat terhadap alam. Di sini alam seperti
kehilangan makna komunalnya, lalu diganti dengan nilai ekonomi (uang). Pergeseran
seperti ini pada gilirannya berdampak terhadap relasi sosial, khususnya cara
manusia memahami sesamanya.
Penguatan masyarakat lokal
membutuhkan keterlibatan gereja-gereja, bersama-sama dengan komponen masyarakat
sipil, untuk memperkuat posisi tawar masyarakat dalam berhadapan dengan
kekuatan modal dan politik. Hal ini penting mengingat masyarakat lokal sesungguhnya berada di baris
terdepan saat berhadapan dengan manuver kepentingan ekonomi yang mengubah alam
menjadi objek ekstraktif.
Dalam rangka penguatan masyarakat lokal, gereja perlu mengembangkan percakapan
kontekstual dengan berbagai pihak agar masalah ekologi tidak menjadi anonim di
mata gereja, sebagaimana disinggung oleh Pdt. Martin Sinaga (salah satu
pembicara). Percakapan kontekstual yang juga memampukan gereja dan
masyarakat sipil berperan di wilayah kebijakan yang menempatkan keadilan
ekologis sebagai pijakan dari berbagai regulasi; baik di level nasional maupun
daerah. Sebagaimana di katakan oleh Jhonny Simanjuntak (salah satu pembicara): “hukum
lingkungan hidup harus menjadi batang dari peraturan lainnya baik terkait
industri, kehutanan, perikanan dan seterusnya”. Bagi para peserta lokakarya,
gereja perlu melakukan mainstreaming
isu keadilan ekologis, penguatan pendidikan ekologis dan meningkatkan sinergisitas
(baik antargereja maupun antara gereja dengan masyarakat sipil) dalam membaca
dan merespon persoalan ekologi yang terjadi di tingkat lokal.
*******