(Catatan Seminar "Menggali Nilai-nilai Perjuangan Yap Thiam Hien")
GKI Samanhudi, 1 Juni 2013
GKI Samanhudi, 1 Juni 2013
Dalam salah satu acara peringatan Pancasila di
tahun 2011, Megawati Soekarnoputri mengangkat dua istilah dalam upayanya membaca
Pancasila, yakni: (1) gotong-royong dan (2) integritas. Kedua istilah ini
kemudian menyatu dalam apa yang disebut Megawati sebagai ‘perjuangan’, yakni mewujudkan
kesejahteraan, keadilan dan keamanan dalam sebuah bangsa.[i] Dengan kata lain, penguatan kesadaran sebagai
sebuah bangsa — dalam pengalaman Indonesia
— tidak mungkin dibaca tanpa gotong royong dan integritas yang bermuara
pada perjuangan. Bidikan ini sungguh menarik, salah satunya dalam konteks
membaca nilai-nilai perjuangan Yap Thiam Hien (pengacara dan pejuang HAM di
Indonesia). Hal ini tampak dalam seminar
“Menggali Nilai-nilai Perjuangan Yap Thiam Hien”, diadakan oleh GKI Samanhudi dan menghadirkan pembicara seperti Siti Musdah Mulia, Todung Mulya Lubis, Ferdy
Suleeman dan Yongki Karman. Bisa
dikatakan, keempat pembicara ini membaca Yap Thiam Hien dengan mengambil angle (sudut pandang/bidikan) dari
bingkai kemanusiaan. Sebuah bingkai yang didialogkan, oleh Ferdy Suleeman dan Yongki Karman, dengan apa yang disebut ‘kasih’
dan ‘tindakan profetis’; di dalamnya Allah menjadi nyata di tengah sejarah.
Seminar ini diadakan bertepatan dengan hari
lahirnya Pancasila (1 Juni), dan dari sinilah pembicara pertama (Siti Musdah
Mulia) mengambil angle dalam membaca
nilai-nilai perjuangan Yap Thiam Hien. Beliau membuka percakapan dengan
mengingatkan bahwa perjuangan HAM (Hak Asasi Manusia) selalu menyeret seseorang
untuk terus mempertanyakan apa yang sudah dianggap taken for granted (assuming something to be true without
verification) di tengah masyarakat. Hal ini, menurut Musdah Mulia, membuat
para pejuang HAM seringkali tidak mendapat apresiasi di tengah masyarakat. Dan memang, inilah yang
juga dialami oleh Yap Thiam Hien, baik terkait dengan pemerintah maupun gereja.
Yap Thiam Hien bahkan kecewa dengan gereja yang dipandang cenderung mencari
posisi aman saat berhadapan dengan tragedi kemanusiaan, misalnya saat transisi
kekuasaan di akhir tahun 1960-an dan peristiwa Malari tahun 1974. Pada titik
ini, Ferdy Suleeman (pembicara ketiga),
melihat Yap Thiam Hien sebagai sosok yang kadang tidak sabar, khususnya pada
saat gereja harus berhadapan dengan situasi yang sangat sensitif sebagai akibat
transisi politik. Bagi penulis, apa yang diutarakan Ferdy Suleeman tentu bisa
dipahami mengingat situasi sulit yang
dihadapi gereja pada masa itu. Namun, bagaimana pun, kenyataan tersebut tidak
bisa digunakan sebagai pembenaran atas ketidakmampuan (bahkan mungkin
keengganan) gereja untuk memikirkan dan mencari terobosan kreatif dalam menjalankan fungsinya. Bahkan, selama
bertahun-tahun, gereja seperti tidak bisa membebaskan dirinya secara penuh dari
mentalitas tersebut (mencari posisi aman). Inilah yang kemudian dikritik Eka
Darmaputera sebagai irelevansi eksternal, yakni kondisi di mana gereja terisolasi
atau tidak memiliki sangkup-paut dengan pergulatan sosial di sekitarnya.
Dalam rangka meneropong nilai-nilai yang
dihidupi oleh Yap Thiam Hien, Musda Mulia mengangkat beberapa hal yang dalam
pengamatannya tidak bisa dipisahkan dari Pancasila, yakni: nilai-nila
spiritual, kemanusiaan, demokrasi (kewarganegaraan) dan keadilan sosial
(kesetaraan dan HAM). Di tangan Yap Thiam Hien, nilai-nilai tersebut mendapat
bentuknya di dalam penegakan hukum dan HAM. Yap Thiam Hien seakan hendak memastikan bahwa
setiap orang menerima haknya sebagai manusia. Oleh karena itu, “hukum harus
ditegakkan sekalipun langit runtuh”, demikian Musdah Mulia mengutip salah satu
prinsip yang dipegang Yap Thiam Hien dalam penegakan hukum.
Bagi Musda Mulia, hukum dibaca oleh Yap Thiam Hien dalam bingkai kesetaraan,
keadilan dan kemanusiaan. Di sini Yap Thiam Hien seakan menjadi penghubung yang
menjembatani Pancasila sebagai sistim nilai dan ruang kehidupan (realitas sosial
dan kekuasaan di mana perjuangan dan negosiasi berlangsung di dalamnya).
Meminjam bidikan Megawati di atas, Yap
Thiam Hien seakan membaca intisari Pancasila dalam bingkai perjuangan menegakkan keadilan
dan kesetaraan. Dalam konteks menjembatani ini juga, Musda Mulia menggariskan
beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan bersama-sama dalam ruang
kehidupan, yakni: (1) Melakukan
rekonstrukri budaya melalui penguatan nilai-nilai ketuhanan (dalam bingkai
kemanuasiaan) di tengah keluarga dan sekolah, (2) Reformasi kebijakan yang
diskriminatif melalui advokasi kepada mayarakat, (3) Re-interpretasi ajaran
agama di mana kemanusiaan menjadi pijakannya.
Sejalan dengan Musda Mulia, Todung Mulya Lubis
(pembicara kedua) juga mengambil angle
dari Pancasila yang dipahaminya sebagai dasar filosofis bagi kemajemukan; di
dalamnya kemajemukan dibingkai. Yap Thiam Hien, menurut Mulya Lubis, berdiri di barisan terdepan untuk menegakkan
dasar filosofis tersebut. Ini tampak pada upayanya membela sejumlah Tapol
(Tahanan Politik) yang berbeda ideology dan agama dengannya. Namun, sayangnya
arah perjuangan yang dirintis Yap Thiam Hien — di mana Pancasila dibaca dan
diterjemahkan dalam semangat kemanusiaan — seakan tidak lagi membekas pada
generasi masa kini. Mulya Lubis merujuk pada terjangkitnya masyarakat Indonesia,
khususnya berbagai tokoh politik, dengan “penyakit” yang diakibatkan oleh
perkawinan antara Perda (Peraturan daerah) dengan transaksi politik lokal;
termasuk di dalamnya berbagai perda yang berbau agama. Bagi Mulya Lubis, ini
merupakan langkah mundur dalam kehidupan berbangsa, sekaligus bertabrakan dengan
prinsip yang diperjuangkan oleh Yap Thiam Hien.
Dalam kacamata Yongky
Karman (pembicara keempat), langkah mundur tersebut — sebagaimana diutarakan Mulya Lubis — biasanya terjadi pada negara yang masih belajar
demokrasi. Di dalam negara seperti ini, masalah HAM tidak dibaca dalam konteks
kualitas penyelenggaraan negara. Namun, hanya dilihat dalam deretan angka-angka
semata (masalah kuantitas). Padahal dalam negara modern, menurut Karman, penegakan HAM hadir untuk mengimbangi negara
agar tidak melakukan kesewenang-wenangan.
Apa yang dilakukan Yap
Thiam Hien, dibaca Karman dari bingkai
tindakan profetis di mana sabda Allah tidak membeku di dalam retorika, melainkan
bergulir dalam praksis pembebasan. Di sinilah penegakan HAM yang diperjuangkan Yap Thiam Hien tampak
sebagai tindakan profetis untuk mengimbangi kesewenang-wenangan negara terhadap
manusia. Dalam konteks ini, Karman mengutarakan kritik yang menarik terhadap
gereja. Baginya, gereja seperti tidak berdaya dan tidak mampu memahami dirinya
dalam konteks warga. Oleh karena itu, gereja kadang terkurung dalam
kebisuan saat berhadapan dengan kasus-kasus diskriminatif yang dihadapi minoritas.
Beril Huliselan
**********************
[i] Megawati, "Jadikan Gotong Royong Sebagai Intisari
Pancasila", dalam: http://www.panturanews.com/index.php/panturanews/baca/3901/02/06/2011/megawati-jadikan-gotong-royong-sebagai-intisari-pancasila.