Refleksi
Bersama Peserta Konsultasi Nasional Pekabaran Injil
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Semarang, 11 November 2011
Semarang, 11 November 2011
I.
Pendahuluan
Konsultasi nasional pekabaran Injil
(Konas PI), yang berlangsung di Semarang dari tanggal 8-11 November 2011,
merupakan artikulasi keyakinan iman gereja-gereja di Indonesia akan tugas dan
panggilannya memberitakan Injil yang adalah shalom Allah bagi bumi dan segala
isinya. Hal ini sejalan dengan: pertama, kesaksian Alkitab yang adalah pijakan
bersama (common center) dalam gerakan
ekumene; kedua, posisi teologis mengenai pekabaran Injil yang diambil oleh
gereja-gereja di Indonesia sebagaimana tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja;
ketiga, capaian gerakan ekumene di tingkat internasional yang termuat di dalam
dokumen Christian Witness in a
Multi-Religious World: Recommendations for Conduct.
Realitas kontemporer telah
memunculkan berbagai macam kejutan bagi gereja-gereja di Indonesia yang tengah
bergumul mewartakan Injil di berbagai tempat. Persoalan sosial, politik,
ekonomi, budaya sampai pada gerak eksplosif di dalam agama-agama muncul ke
permukaan. Bahkan, beragam ekspresi identitas keagamaan − termasuk di dalam kekristenan itu
sendiri – kerapkali ditemukan bergerak saling-silang dengan persoalan-persoalan sosial,
politik, ekonomi dan partikularitas identitas budaya. Kenyataan ini
menghasilkan tantangan yang rumit mengingat berbagai macam friksi dan
resistensi terjadi di ladang pekabaran
Injil.
Dalam konteks pergumulan di atas,
istilah ‘merajut’ – yang digunakan pada tema Konas PI 2011 − sesungguhnya lahir dari pergumulan teologis
yang hendak:
Pertama, mengevaluasi dan menangkap pergumulan teologis yang
sudah dan sedang berlangsung di ladang pekabaran Injil sambil tetap mengarahkan
diri ke masa depan, yakni pada karya keselamatan Allah di dalam Yesus Kristus
yang menjadi hidup di dalam sejarah melalui pekerjaan Roh Kudus;
Kedua, merangkul dan mendorong gereja-gereja untuk senantiasa
terhubung satu sama lain secara sinergis dalam tugas dan panggilan menjadi
saksi Kristus bagi bumi dan segala isinya. Hal ini sejalan dengan semangat
konsiliar yang hidup di dalam gerakan ekumene, yakni setiap gereja di tingkat
lokal – dalam persekutuan dengan gereja-gereja yang lain – mewujudkan
kesatuan yang utuh, memberitakan iman yang satu dan saling mengakui sebagai
satu gereja Kristus yang dituntun oleh Roh Kudus.
Ketiga, menegaskan bahwa setiap
gereja di tingkat lokal adalah subjek dari gerakan ekumene. Oleh karena itu,
gereja-gereja di tingkat lokal harus mengambil inisiatif untuk berpikir dan
bertindak secara ekumenis demi kemuliaan Allah di dalam Yesus Kristus.
Dengan demikian, tema “Merajut
Persekutuan Melalui Pekabaran Injil” merupakan ungkapan teologis yang mendorong
gereja-gereja di tingkat lokal untuk terus menerus saling terhubung satu dengan
yang lain demi menjadi saksi Kristus bagi bumi dan segala isinya.
Dalam konteks merajut inilah, Konas
PI 2011 mencoba sekuat tenaga agar berbagai kelompok – dengan
segala perbedaan teologi dan praksis pekabaran Injil-nya – dapat saling menopang dalam pergumulan pekabaran
Injil sehingga menghidupkan gerakan ekumene di tingkat lokal. Sesungguhnya,
inilah “mimpi” konas PI 2011, yakni agar gerakan ekumene semakin memiliki akar yang kuat di
tingkat lokal.
Pada tahap awal, Konas PI 2011
mencoba memberikan ‘peta’ pergumulan pekabaran Injil mulai dari tempat
pekabaran Injil di dalam gerakan ekumene serta melihat periodisasi pemahaman
pekabaran Injil dalam perjalanan PGI dan sampai di mana aplikasinya sudah
berlangsung di tengah gereja; dilakukan dalam bentuk studi kasus di beberapa
gereja yang dijadikan sampel. Kemudian, peserta Konas PI 2011 juga diajak
melihat tantangan PI terkait komunitas yang mengalami konflik dan trauma, pergeseran
demografi, berbagai pembiaran yang berlangsung di masa orde reformasi, masalah
kebangsaan, pelayanan sosial, kerusakan lingkungan, kerumitan dalam menjangkau
suku-suku yang dianggap terabaikan, persoalan bahasa roh dan mujizat sampai
pergulatan di media cetak dan elektronik dalam menjangkau berbagai tempat di
tanah air. Hal ini memperlihatkan betapa luas dan rumitnya medan pekabaran
Injil, sekaligus memberikan kesadaran akan wajah Injil yang multi-dimensi. Di
bagian akhir, selain para peserta Konas 2011 masuk dalam berbagi kisah mengenai
tantangan praksis pekabaran Injil di lokasi kehadiran masing-masing, mereka pun
dapat menyusuri jejak-jejak pekabaran Injil di kota Semarang.
Dalam pengembaraan selama empat hari
melihat tantangan dan berbagai kisah Pekabaran Injil, kami (para peserta Konas
PI 2011) sangat berterima kasih atas keramahan dan semangat persaudaraan yang
ditunjukan oleh Sinode Gereja Isa Almasih – bersama Sinode Gereja Kristen
Muria Indonesia, Sinode Gereja Injili di Tanah Jawa dan Sinode Gereja Kristen
di Jawa Tengah Utara dan Sinode
Jemaat Kristen Indonesia – yang bertindak sebagai tuan dan nyonya
rumah. Kami sungguh bahagia menyaksikan bagaimana Konas PI 2011 dikerjakan secara
bersama-sama lintas denominasi.
Tuan dan
nyonya rumah sesungguhnya telah menabur benih-benih kasih dan persaudaraan
untuk tetap saling terhubung satu dengan yang lain. Bahkan, kami pun boleh
ambil bagian dalam ibadah lintas denominas yang berlangsung dari tanggal 8-11
November 2011. Kiranya benih kasih dan persaudaraan dapat terus tumbuh dan
mengakar dalam kehidupan gereja-gereja di tingkat lokal.
II.
Dasar Bersama Bagi Pekabaran Injil
1. Menjadi
saksi Kristus adalah tugas dan panggilan yang sesungguhnya menyatu dalam
kehidupan gereja dan bergerak melampaui sekat-sekat geografis, sosial, politik,
ekonomi dan budaya (Matius 28: 18-20). Hal ini sekaligus memperlihatkan
karakter apostolik dari gereja, yakni berpegang pada ajaran para rasul dan
bergerak ke luar mewartakan kerajaan Allah.
2. Gereja
lahir dari karya Roh Kudus untuk mewartakan karya keselamatan Allah di dalam
Yesus Kristus serta membawa dunia ke pertobatan dan rekonsiliasi (Kis 2:1-39). Dengan
kata lain, dasar keberadaan gereja adalah Allah yang senantiasa hidup di dalam
misi-Nya bagi bumi dan segala isinya, sebagaimana tampak di dalam karya transformatif
Yesus Kristus (Lukas 4:16-20) yang terus hidup sepanjang sejarah melalui pekerjaan
Roh Kudus (Yoh. 14:26; Kis. 1:8). Oleh karena itu, gereja yang meninggalkan
tugas dan tanggungjawab menjadi saksi Kristus pada dasarnya sudah kehilangan
dasar keradaannya.
3. Injil,
sebagaimana diberitakan oleh Alkitab, adalah shalom Allah melalui Yesus Kristus
(Lukas 4:16-20) yang terus hidup sepanjang sejarah oleh karya Roh Kudus. Shalom
Allah yang senantiasa mendorong gereja-gereja untuk hidup dalam persekutuan
yang dilandasi kasih dan saling menerima satu sama lainnya (Efesus 2: 17-22).
4. Sejak
bumi diciptakan, manusia diberikan kepercayaan untuk ambil bagian dalam karya
Allah untuk merawat bumi dan segala isinya. Dengan demikian, bumi beserta serta
segala isinya berada di bawah misi Allah, sementara posisi manusia adalah pihak
yang diundang untuk ambil bagian di dalam misi tersebut (Kejadian 1: 26-28).
Hal ini menegaskan bahwa manusia bertanggungjawab dalam mewujudkan shalom Allah
bagi bumi dan segala isinya.
5.
Setiap
anggota jemaat adalah saksi Kristus (Yoh 20:21) yang bertanggungjawab untuk
ambil bagian sebagai rekan sekerja Allah (1 Kor. 4:1) dalam bersaksi dan
bekerjasama dengan berbagai pihak untuk mengupayakan shalom Allah bagi bumi dan
segala isinya.
III. Tantangan dan Rekomendasi
1. Keragaman
teologi dan model pekabaran Injil terkadang menimbulkan benturan dan saling
tuding di ladang pekabaran Injil. Kondisi ini semakin diperumit dengan gerak
eksplosif di dalam kekristenan yang menimbulkan terjadinya kecurigaan
berkepanjangan, misalnya persoalan perpindahan anggota jemaat yang kadang
menimbulkan kecurigaan, antargereja di ladang pekabaran Injil. Bertolak dari
kesadaran bahwa kita semua adalah saksi Kristus, kami merekomendasikan agar:
(1) gereja-gereja selalu mengedepankan dialog dalam semangat kasih dan
persaudaraan serta (2) menjunjung
tinggi etika pelayanan
yang menghargai keberadaan setiap gereja di lokasi kehadirannya; sebagaimana
tercantum dalam dokumen “Saling Mengakui dan Saling Menerima”. Melalui dialog,
kita bisa mendapat gambaran yang lebih menyeluruh mengenai tantangan yang ada,
mencari klarifikasi serta menjernihkan berbagai kecurigaan, mencapai titik temu
dan saling menopang demi perluasan kerajaan Allah.
2. Penguatan
politik identitas telah mengakibatkan beberapa gereja mendapat serangan – seperti kesulitan memperoleh ijin mendirikan
gereja, penutupan dan pembakaran gereja
– di beberapa tempat. Tantangan yang ada semakin rumit seiring
berlangsungnya pembiara negara terhadap berbagai praktik diskriminasi dan
penindasan yang terjadi di ladang pekabaran Injil. kami merekomendasikan agar
gereja-gereja senantiasa melakukan koordinasi dan dialog dengan elememen-elemen
civil society (berbagai kelompok/lembaga
yang menjalankan kontrol sosial terhadap kebijakan dan tindakan diskriminatif
yang terjadi di tengah masyarakat) baik di tingkat lokal, regional dan nasional.
Dengan demikian, persoalan-persoalan yang ada dapat digumuli dalam pengalaman
bersama – termasuk di wilayah penegakan hukum – yang pada gilirannya semakin
memperkuat masyarakat demokratis yang menjungjung tinggi hak-hak dasar manusia
(HAM).
3. Gereja-gereja
diharapkan selalu mengedepankan solidaritas dan semangat transformasi yang akan
menciptakan suasana persaudaraan dan kemajuan bagi masyarakat di mana gereja hadir.
Mewartakan Injil tidak bisa dilakukan dengan mengesampingkan semangat
solidaritas sebagaimana yang
sudah ditunjukan oleh Tuhan Yesus Kristus yang adalah wujud solidaritas Allah
bagi dunia. Demikian juga, solidaritas tidak bisa dilakukan tanpa terhubung
dengan berita keselamatan dari Allah di dalam Yesus Kristus yang hidup melalui
karya Roh Kudus sebagaimana diberitakan Alkitab.
4. Berbagai
tekanan yang hadir dalam bentuk diskriminasi dan penindasan – baik
secara sosial, politik dan kebudayaan – di beberapa tempat telah menimbulkan semangat militansi agama
pada warga jemaat. Hal ini membuat gereja-gereja di beberapa tempat harus
berhadapan dengan persoalan kerenggangan dan kecurigaan sosial antarpemeluk
agama. Dalam konteks ini, kita semua diingatkan bahwa sesungguhnya setiap
anggota jemaat adalah saksi Kristus. Oleh karena itu, gereja-gereja diharapkan
merenungkan berita Injil, membawa setiap anggota jemaat ke dalam terang Injil
dan mengupayakan kerjasama serta dialog lintas gereja maupun agama dalam rangka
membangun jemaat yang menghargai perbedaan, mengedepankan kasih dan semangat
persaudaraan.
5. Dalam melaksanakan pekabaran Injil,
beberapa gereja menghadapi hambatan/resistensi budaya dari masyarakat adat di
mana gereja hadir. Bahkan, bagi mereka yang meninggal, tidak mendapat ijin
untuk dimakamkan di daerah yang menjadi tanah adat. Pergumulan ini tampaknya
membuat gereja-gereja belajar untuk tidak melihat budaya sebagai sesuatu yang
harus dibuang jauh-jauh, melainkan sebagai bagian dari keseharian hidup. Tentu,
gereja-gereja masih terus bergumul untuk menemukan kisah hidup mereka dalam
dialog dengan kebudayaan. Namun, para utusan yang hadir di Konas PI 2011
meyakini bahwa setiap kebudayaan pada dasarnya memiliki kearifan di mana mereka
harus bergumul dan mengambil sikap untuk menemukan keseimbangan dalam interaksi
dengan kearifan tersebut. Posisi seperti ini merupakan langkah maju yang
kiranya bisa dihargai oleh berbagai pihak. Peserta Konas PI 2011 mendorong
gereja-gereja untuk menemukan pola persekutuan dan ibadah yang mengakar dalam
kearifan budaya lokal di mana gereja hadir. Dengan demikian, dalam perjumpaan
dengan budaya, gereja dapat menjadi saksi Kristus di konteks lokal.
6. Gereja-gereja
juga didorong untuk senantiasa mengambil bagian dalam dialog dengan kebudayaan –
melalui persekutuan, studi dan penelitian bersama – untuk dapat menghasilkan
transformasi di tengah masyarakat. Hal ini mengingat beberapa gereja menghadapi
tantangan terkait persoalan budaya yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan
masyarakat; seperti berbagai tuntutan adat yang sangat mahal dan akhirnya
menimbulkan persoalan yang rumit di tengah masyarakat. Bahkan, kondisi seperti ini kadang
dimanfaatkan oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang tidak bertanggungjawab untuk
menguasai masyarakat tersebut.
7. Terkait
dengan tantangan kerusakan lingkungan yang merupakan gerak berlawanan dari
Injil sebagai shalom Allah bagi bumi
dan seluruh isinya, kami merekomendasikan agar: (1) gereja-gereja –
melalui persekutuan, studi dan penelitian bersama – senantiasa menempatkan bumi
dalam pergulatan teologinya dan (2) mengambil inisiatif untuk menjadi teladan dalam gerakan penyelamatan
bumi.
IV. Aksi Bersama
Sebagaimana telah disebutkan di
bagian pendahuluan, Konas PI 2011 sungguh ingin melihat jemat di tingkat lokal – dalam
persekutuan dengan gereja-gereja lain – sebagai subjek gerakan ekumene. Oleh karena itu, Konas PI
2011 menghimbau gereja-gereja di tingkat lokal untuk mengambil inisiatif dalam
wadah dialog lintas denominasi di mana berbagai kisah di ladang pekabaran Injil
dapat saling memotivasi dan memerkaya satu sama lainnya. Selain itu, berbagai
tantangan dan friksi dapat digumuli bersama-sama di dalam kasih mengingat Allah
adalah kasih (1 Yoh. 4: 7-12) dan kita adalah saki-saksinya untuk membawa shalom
bagi bumi dan segala isinya. Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia akan
berusaha untuk memfasilitasi dan mengupayakan bantuan dalam rangka mendorong wadah-wadah
di tingkat lokal untuk terus bertumbuh dan berkembang sebagai subjek gerakan
ekumene.
Dari diskusi bersama
antarpara peserta Konas PI 2011, di mana persoalan dan tantangan pekabaran
Injil dibicarakan bersama-sama, dirasakan ada kebutuhan untuk:
1. Memetakan wilayah-wilayah mana saja – termasuk daerah terasing, konflik
dan bencana alam – yang perlu mendapat perhatian dalam mewartakan shalom Allah bagi bumi
dan segala isinya; (b) mengupayakan jejaring yang koordinasinya dapat
dibicarakan bersama antara PGI, sinode dan jemaat di tingkat lokal.
2. Pertukaran tenaga antargereja,
terkait kebutuhan untuk membangun pengalaman bersama dan saling melengkapi,
dalam merespon tantangan pekabaran Injil yang tengah dihadapi berbagai gereja
di wilayah kehadirannya; termasuk tantangan di wilayah pemberdayaan ekonomi
masyarakat, kerusakan lingkungan, pemberdayaan perempuan dan perdamaian.
3. Mengupayakan pengembangan sumber daya
manusia (SDM) secara bersama-sama untuk menjawab tantangan pekabaran Injil masa
kini, khususnya terkait kebutuhan untuk mengartikulasikan nilai-nilai kristiani
(shalom Allah bagi bumi) dalam konteks kontribusi umat Kristen di wilayah
kebijakan publik.
4. Mengupayakan kegiatan bersama untuk
kalangan remaja-pemuda yang semakin terserap baik dalam dalam gaya hidup modern
yang pragmatis, maupun terfragmentasi dalam persaingan antargereja dan
antaragama di tingkat lokal. Kegiatan merawat lingkungan dan mengupayakan
kondisi hidup yang baik bagi masyarakat bisa menjadi pertimbangan untuk merajut
pengalaman bersama lintas denominasi dan agama.