Pemikiran Reformasi dan Pengaruhnya


Dunia sebagai panggung anugerah keselamatan Allah, di mana manusia berhadapan langsung dengan Allah baik dalam wilayah personal maupun wilayah publik, menjadi sorotan diskusi yang diadakan di BPK Gunung Mulia, pada 4 April 2017. Diskusi ini – yang diadakan oleh BPK Gunung Mulia, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan GAMKI − merupakan awal dari rangkaian diskusi 500 tahun reformasi yang akan jatuh pada tanggal 31 Oktober 2017. Kegiatan ini diadakan dalam rajutan dengan semangat yang mendasari perayaan 500 tahun reformasi di tingkat mundial, yakni menemukan jalan bersama menuju keesaan.
Bagi para pembicara, Dr. Zakaria J. Ngelow dan Prof. Dr. B. S. Mardiatmadja, ada sejumlah titik tengkar yang muncul dalam gerakan reformasi, dan hal tersebut harus dibaca dalam konteks pergulatan sosial dan budaya di Eropa daratan; wilayah di mana reformasi terjadi. Mardiatmadja bahkan menekankan perlunya menangkap pergulatan personal para reformator (Martin Luther, Philip Melanchthon, Huldrych Zwingli, Johannes Calvin) mengingat di dalamnya terjadi ketegangan antara bergulatan batin individu (relasi personal manusia dengan Allah) berhadapan dengan gerak birokratis gereja. Menariknya, bagi Mardiatmadja, hal ini sesungguhnya sudah terjadi jauh sebelum Luther (1483–1546) dan para reformator lainnya. Tokoh-tokoh seperti Antonius dari Mesir (251–356), Benedictus Nursia (480-547), Bernardus Clairvaux (1090-1153), Fransiskus Assisi (1181-1226), Dominicus (1170-1221) dan Ignatius Loyola (1491-1556) juga bergumul dengan pembaruan batin di tengah situasi keagamaan yang bercorak formalitas.
Munculnya tokoh-tokoh tersebut (terkait pembaruan batin) juga menunjukan bahwa pada abad ke-12 ada kebutuhan pembaruan kehidupan keagamaan. Kebutuhan ini berlanjut terus pada abad ke-15 dan 16. Di sinilah berkembang agama rakyat yang menuntut koreksi terhadap kelembagaan, praktik dan ajaran gereja yang dipandang mengalami kemerosotan. Bagi Mardiatmadja − dengan merujuk buku yang di-review pada diskusi ini, yakni Sejarah Pemikiran Reformasi karya Alister E. McGrath − agama rakyat turut mendorong kemajemukan pandangan keagamaan yang, selain berelasi dengan arus nasionalisme di Eropa daratan, membuat kewibawaan gereja berada dalam sorotan. Perkembangan seperti ini tidak lepas dari munculnya era renaissance (abad ke-14 s/d 17) yang ditandai kebangkitan dalam seni dan literatur di Eropa. Di era ini humanism sebagai gerakan intelektual – yang memberi penghargaan pada manusia − lahir dan menjadi pijakan penting untuk memahami reformasi, khususnya terkait sikap terhadap teologi skolastik, kitab suci, bapa gereja, pendidikan maupun retorika (terkai peran pewarta dalam reformasi). Dalam konteks ini Mardiatmadja, dengan merujuk karya Alister E. McGrath, menyoroti pengaruh teologi skolastik ke dalam reformasi, yakni posisi Agustinus yang menekankan keputusan Allah (anugerah) untuk mengaruniakan rahmat kepada manusia.
Para reformator umumnya berada dalam posisi ini (keselamatan sebagai anugerah), namun dengan penekanan yang tidak selalu sama. Luther menekankan pembenaran oleh iman (Anugerah yang bertumpu pada penebusan Kristus) yang buahnya adalah pemulihan hubungan manusia dengan Kristus secara personal; sekaligus merefleksikan kehadiran Kristus secara personal dalam diri manusia. Sementara bagi Zwingli (1484-1531), buah dari penebusan adalah kehidupan bersama. Hal ini mengingat Zwingli menekankan firman (Alkitab) sebagai sumber tuntunan moral bagi kehidupan bersama. Buah dari iman dan anugerah Allah adalah masuknya orang percaya ke dalam tuntunan moral bagi kehidupan bersama; ini sekaligus merefleksikan kepastian relasi manusia dengan Allah. Martin Bucer (1491-1551) mengaitkan penebusan dengan pengudusan manusia (anugerah Allah atas orang berdosa) dan respon manusia dalam bentuk ketaatan terhadap tuntunan moral yang ada dalam Injil; ini dikenal dengan istilah “pembenaran ganda”. Posisi ini kemudian dirumuskan ulang  oleh Calvin (1509-1564) dengan istilah “anugerah  ganda”. Di sini Calvin tidak 100% sejalan dengan Bucer mengingat bagi Calvin pembenaran dan kelahiran kembali adalah buah dari pulihnya hubungan manusia dengan Kristus melalui iman. Perbedaaan seperti ini (ketegangan antara pembenaran secara personal dengan tuntutan moral) bisa juga dibaca dengan memperhatikan perbedaan konteks yang dihadapi para reformator. Di sini Ngelow memberikan catatan menarik, khususnya terkait konteks sosial di Swiss yang berbeda dari konteks Luther di Jerman. Swiss adalah negara konfederasi yang diisi oleh para pengungsi. Hal ini membuat ketertiban menjadi penting. Oleh karena itu, tanggungjawab moral dalam kehidupan bersama lebih menonjol di Swiss. Bagi Ngelow, inilah konteks yang membuat Calvin merumuskan teologi yang menekankan dunia sebagai panggung keadilan Allah.
Membaca pergulatan mengenai anugerah keselamatan Allah, yang menempatkan manusia berhadapan langsung dengan Allah, menjadi menarik  saat disandingkan dengan suasana kebatinan yang berlangsung dalam gerakan humanisme. Suasana tersebut adalah upaya membebaskan manusia dari sikap mental yang ditekan di bawah ortodoksi agama menuju kebebasan berpikir manusia. Oleh karena itu, rasanya tidak aneh juga saat Alkitab dan sakramen menjadi titik tengkar yang mewarnai gerakan reformasi. Di dalamnya terdapat gaung alam pikir gerakan humanisme yang meletakan kewibawaan pada sumber-sumber awal. Para reformator, sebagaimana disinggung Mardiatmadja, memberi penekanan pada kewibawaan kitab suci sehingga Vulgata (khususnya terkait status Apokrifa) dan sakramen diperiksa (dipertanyakan) kembali. Bagi Mardiatmadja, sekalipun terdapat perbedaan (terkait jumlah sakramen, presentia dan transubstantiatio), umumnya para reformator memiliki posisi yang sama dengan gereja mengenai dasar sakramen. Posisi tersebut adalah tindakan Allah yang mengakomodasikan diri ke dalam keterbatasan manusia. Dan di sini,  janji-janji Allah untuk terus hadir dalam kehidupan manusia dipentaskan dalam sakramen. Selain itu, titik tengkar yang ada juga digumuli dalam konsili Trente (1545-1547) yang menekankan pentingnya pewartaan dan menempatkan Alkitab sebagai sumber bersama dengan tradisi dan magisterium. Di kemudian hari, juctification sebagai salah satu titik tengkar penting dalam reformasi diurai dalam kesepakatan The Joint Declaration on the Doctrine of Justification; dokumen yang menegaskan bahwa baik Katolik maupun pihak Lutheran berbagi keyakinan yang sama, yakni Kristus sebagai yang utama dan satu-satunya mediator.
Dalam perjalanan reformasi abad ke-16 dan 17, sebagaimana dicatat oleh Ngelow, pemikiran politik terlalu muncul. Hal ini mengingat adanya relasi antara para reformator dengan pemerintah (penguasa) lokal. Luther misalnya didukung oleh para pangeran lokal di Jerman, sementara Zwingli dan Calvin didukung dewan kota. Ini bisa dibandingkan juga dengan catatan McGrath yang menggambarkan adanya simbiosis mutualisme antara para reformator dengan pemerintah lokal dalam rangka ketertiban umum dan upaya memerangi kelompok-kelompok bidat. Bagi Ngelow, pemikiran politik baru muncul di kemudian hari, misalnya pada generasi seperti Karl Barth (1886-1968), Reinhold Niebuhr (1892-1971) dan Dietrich Bonhoeffer (1906-1945). Sementara di Indonesia, tokoh seperti P. D. Latuihamallo (1918-2014) dan Eka Darmaputera (1942-2005) dapat menjadi rujukan. Selain itu, Konfesi Accra yang dihasilkan oleh World Alliance of Reformed Churches di Ghana pada tahun 2004 juga merupakan jejak pemikiran politik dari gerakan reformasi di kemudian hari.

*******
Penulis: Beril Huliselan