(Beril Huliselan)
Jakarta, 12 Februari 2021
Ohhh
iya, nama lengkapnya Edwin Paulus Saragih, S.Si. (Theol). Saya terbiasa
memanggilnya dengan sebutan “Win”, bukan Gendo. Namun di dunia kantin, orang
mengenalnya dengan panggilan Gendo. Pengalamannya luas di dunia penerbitan. Dia
begitu bersemangat saat mengolah berbagai naskah sampai menjadi buku yang siap
dipasarkan. Bagi saya, kerjanya sangat cepat. Dia terlihat begitu menguasai dunia
tersebut. Kepada saya dia pernah bercerita bahwa dunia penerbitan membantunya
untuk sintas di tengah kondisi ekonomi yang tidak menguntungkan. Dunia ini juga
yang membantu biaya kuliahnya.
Saya
rasa kemandirian merupakan salah satu Lesson learned yang saya dapat
dari Gendo. Dia tidak memiliki kemewahan seperti mahasiswa lainnya. Namun, dia
memiliki semangat untuk terus “mendayung” di tengah persoalan ekonomi. Cara dia
berbicara, sejauh yang saya alami, selalu bersemangat dan optimis; orangnya rame
banget. Sementara saya kebalikannya, selalu pesimis. Gendo mungkin seperti gas,
dan saya seperti rem. Yahhh… paling tidak kita bisa saling mengingatkan.
Sepertinya
pengalaman ini juga yang mendorong Gendo menulis skripsi, untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains Teologi, mengenai Rasul Paulus dan kemandirian seorang
pelayan. Gendo meyakini bahwa Rasul Paulus dapat menjadi model bagi para
pendeta, model yang mengawinkan pelayanan dan kemandirian ekonomi. Karya skripsi
tersebut bahkan sudah dia layout dan cetak secara terbatas dalam bentuk
buku. Sayang, saya tidak memiliki cetakan tersebut.
Selain
kemandirian, sikap optimis juga merupakan Lesson learned berikutnya yang
saya peroleh dari Gendo. Kadang hidup tidak berpihak kepada kita, namun jangan
juga kehilangan harapan. Rasanya semangat ini turut mendorong Gendo untuk
menyelesaikan studinya, dan namanya pun menghiasi berbagai terbitan; saya sempat cek
melalui google, dan ternyata banyak terbitan yang lahir dari tangannnya.
Gendo
sangat membantu saya saat mulai bergumul dengan dunia penerbitan, yakni waktu
bekerja di Unit Publikasi dan Informasi (UPI) STT Jakarta. Dia mengajari saya
menggunakan beberapa software untuk kebutuhan penerbitan, memperkenalkan
tips dan trik dalam mengelola naskah, cara menghitung biaya penerbitan, teknik
sederhana membundel kumpulan naskah menjadi buku dengan model lem punggung dan jilid steples,
cara memeriksa kualitas cetakan, dan tentunya akses untuk percetakan dengan
modal yang terjangkau. Gendo juga beberapa kali memberi masukan mengenai
pemasaran, khususnya untuk mengurangi ketergantungan pada toko buku yang kerap
kali menerapkan potongan besar terhadap buku yang kita titip jual (konsinyasi).
Dalam
suatu percakapan, Gendo bercerita bahwa dia mulai terlibat di dunia penerbitan
dari nol, tidak memiliki pengalaman dan pengetahuan sama sekali. Namun, dia
belajar dari banyak orang sampai akhirnya bisa terlibat lebih jauh dalam
penerbitan.
“Apa
yang gua dapet, gua bagi juga bang, gak mau pelit ilmu gua”, begitu kira-kira Gendo
menjelaskan kenapa dia mau berbagi pengalaman dan pengetahuan kepada saya.
Bukan cuma ilmu, tapi dia juga berbagi keuntungan, khususnya saat mendapat
pesanan untuk mengelola naskah menjadi buku. Uang yang diperoleh digunakan juga
untuk traktir saya dan teman-teman. Kadang saya mengingatkan Gendo agar jangan sering
traktir orang karena uang yang dia peroleh harus dikelola untuk kebutuhan hidup
dan kuliah. Tapi begitulah Gendo, rasanya ada yang kurang kalau tidak berbagi
dengan teman-teman saat dia memperoleh uang dari aktivitas penerbitan. Saya
pikir ini merupakan Lesson learned ketiga yang diberikan Gendo, yakni
hidup itu harus berbagi. Apa yang kita miliki, jangan disimpan sendiri.
Suatu
saat saya ingin agar tulisan (paper) para mahasiswa STT Jakarta, yang
dipresentasikan di ruang kuliah, bisa diolah ke dalam jurnal khusus mahasiswa.
Saat itu STT Jakarta memang memiliki jurnal teologi, namun biasanya diisi oleh
sejumlah pakar. Nah, saya ingin ada jurnal yang khusus memuat paper
mahasiswa. Bagi saya, banyak paper mahasiswa yang bagus. Karena itu, sayang
kalau dibiarkan begitu saja dan tidak diolah ke dalam sebuah terbitan. Saya
kemudian menyampaikan ide ini ke Gendo, tapi masalahnya kita tidak memiliki
dana untuk mewujudkannya. Kepada Gendo saya katakan, “saya cuma punya
Rp. 1.000.000, dan ini tidak cukup untuk mewujudkan jurnal tersebut”. Bagi
saya, bagaimana mungkin dengan Rp 1.000.000 kita bisa membayar honor para
penulis dan ongkos cetak, tidak mungkin. Namun Gendo memiliki pembacaan yang
lain, dia meyakinkan saya bahwa kita bisa mewujudkannya. Akhirnya, saya dan
Gendo mulai menyampaikan ide ini kepada beberapa mahasiswa, dan mereka mulai
mengumpulkan sejumlah paper yang bisa diterbitkan; seingat saya, Sterra
Gerrits dan Favor Bancin turut membantu kami.
Saat
itu, kami tidak memberi honor kepada para mahasiswa yang papernya
diterbitkan. Namun, sebagai gantinya, kami memberikan beberapa eksemplar jurnal
kepada mereka; maklum dana kami hanya Rp 1.000.000. Di tangan Gendo, dana yang
sangat terbatas tersebut kemudian diolah. Hasilnya, berbagai paper
mahasiswa bisa terbit dalam bentuk jurnal mahasiswa. Entah bagaimana dia memaksimalkannya,
tapi kerja kerasnya membuat hal ini terwujud.
Jurnal
tersebut diberi nama “Kurir” oleh teman-teman mahasiswa. Tampilannya sederhana,
namun ada kebanggaan di situ. Saya senang karena berbagai karya mahasiswa bisa
diterbitkan, dan kita melakukannya dengan dana yang praktis tidak mungkin untuk
menerbitkan sebuah jurnal. Semua itu bisa terjadi karena kerja keras Gendo, dan
saya sangat berterima kasih untuk kontribusinya. Saya rasa ini bagian dari
keyakinan Gendo bahwa hidup itu harus berbagi. Apa yang kita miliki, jangan
disimpan sendiri.
Suatu
saat, dalam kegiatan akreditasi terhadap STT Jakarta, Jurnal Kurir ikut
ditampilkan. Saat melihat hal tersebut, saya teringat Gendo. Kerja keras dialah
yang memungkinkan jurnal tersebut bisa terwujud, dan akhirnya tampil dalam
proses akreditas STT Jakarta. Saya membaca hal ini sebagai salah satu pemberian
Gendo kepada STT Jakarta dan teman-teman mahasiswa.
Saya
dan Gendo sebenarnya ingin menerbitkan Jurnal Kurir edisi berikutnya, namun
kami tidak memiliki dana untuk mewujudkannya. Jurnal itu pun hanya terbit
sekali, setelah itu tidak terbit lagi. Tapi tidak masalah, kami tidak berkecil
hati. Kami tetap bangga karena pernah merealisasikan ide yang saat itu sulit
diwujudkan. Bahkan, hasilnya bisa ditampilkan dalam proses akreditasi STT
Jakarta. Yesss we did it my friend 💪
Saya
kadang melalui malam dan pagi bersama Gendo. Tidak sering memang, biasanya saat
kami sedang mengerjakan penerbitan atau sekedar nongkrong di depan
kampus STT Jakarta. Salah satu pengalaman yang berkesan bagi saya adalah ketika
kita bekerja sama menyelesaikan buku untuk orasi Dies Natalis STT Jakarta ke-68,
pada 2005. Buku tersebut berjudul Perang-Perang Salib - Hantu dari Masa Lalu, Bagi
Masa Kini dan Masa Depan Bersama Islam dan Kristen, karya Pdt. Dr. Yusak
Soleiman; jumlah halamannya sangat banyak. Di luar itu, masih ada buku acara
yang memuat susunan acara, tata ibadah dan nama para wisudawan; maklum saat itu kegiatan
wisuda masih digabung dengan Dies Natalis.
Saya
dan Gendo bekerja sama untuk memeriksa bahan-bahan yang ada, melayout isi dan sampul (cover), memperbanyak bahan yang sudah dilayout, menyusun ribuan
lembar menjadi buku dengan model lem punggung untuk buku orasi dan jilid
steples untuk buku acara (kami mengerjakannya secara manual, tidak di
percetakan), kemudian bulak-balik ke toko kertas untuk merapihkan buku
menggunakan mesin pemotong.
Kami
melakukannya selama beberapa hari, melewati malam bersama, bahkan kadang sampai
pagi. Kadang kami meluangkan waktu sejenak, di tengah malam, untuk makan
indomie rebus, menikmati kopi hangat dan ditemani beberapa batang rokok. Saat itu
belum ada Gojek. Namun, kami bisa memesan indomie rebus (pakai telur tentunya) dan kopi
karena pak Ewo (penjual indomie dan kopi di depan kampus STT Jakarta) sudah
memiliki telepon selular. Beliau menerima pesanan melalui telepon selular, dan
mengantarkannya langsung ke tempat kerja kami. Kadang kami pergi ke depan kampus
atau ke Kito, rumah makan Padang yang terletak di seberang STT Jakarta.
Proses
pengerjaannya cukup melelahkan, namun mengasikan. Sehari menjelang Dies
Natalis, saya dan Gendo mengerjakannya sampai pagi di STT Jakarta; beberapa
teman juga ikut membantu, tapi mereka tidak sampai pagi. Setelah selesai, kami
kelelahan sehingga tidak bisa mengikuti acara Dies Natalis STT Jakarta ke-68.
Saya dan Gendo saat itu pulang, mengingat hari sudah pagi, dan kemudian
terlelap dalam mimpi. Kami tidak hadir, tapi hasil kerja kami hadir dan
digunakan oleh para undangan. Bagi saya, peran Gendo sangat besar dalam
menyiapkan buku orasi Perang-Perang Salib dan buku acara Dies Natalis yang
digunakan oleh para undangan tersebut. Terus terang, tanpa bantuan Gendo, saya
tidak tahu bagaimana harus menyelesaikan naskah yang begitu banyak. Bagi saya, mengingat
Dies Natalis STT Jakarta ke-68 berarti mengingat kontribusi Gendo bagi saya. Rasanya
seperti Tuhan menolong saya melalui peran Gendo yang hadir saat itu.
Beberapa
hari kemudian, saya mampir ke tempat tinggal Gendo; tempat tersebut juga
berfungsi sebagai ruang kerjanya. Saat itu hari masih pagi, mungkin sekitar jam
07.30. Kami berdua kemudian duduk bercerita di depan tempat tinggal tersebut, sambil
menikmati kopi dan rokok tentunya. Rasanya luar biasa nikmat. Seperti habis
perjalanan panjang, kemudian bersantai sejenak menikmati kehidupan.
Saya
kemudian masuk ke dalam ruang kerja Gendo. Tempatnya sederhana, dan agak
berantakan di sana-sini, tapi mengasikan. Saya merasa at home di tempat
tersebut. Rasanya seperti berada di suatu tempat di mana kita seakan larut di
dalam kerja dan menikmatinya. Saya rasa tempat seperti ini juga merefleksikan
keberadaan Gendo, yakni orang yang begitu menikmati kerja penerbitan dan larut
di dalamnya. Kerja yang juga berkontribusi bagi dunia penerbitan di STT
Jakarta.
Waktu
saya berada di UPI STT Jakarta, hampir semua terbitan dikerjakan bersama Gendo,
termasuk berbagai edisi Jurnal Teologi Proklamasi. Gendo seperti bahan bakar
yang membantu saya untuk terus bergerak dengan berbagai terbitan. Dia mengajari
saya dari nol sampai kita berdua bisa berkolaborasi dalam kerja penerbitan. Dia
menjadi sahabat seperjalanan yang membagi berbagai hal yang dimilikinya.
Setelah
saya tidak bekerja lagi di UPI STT Jakarta, komunikasi tetap jalan, namun
lebih sering melalui telepon. Seperti biasa, kami bercerita mengenai dunia penerbitan
dan gereja. Perjumpaan secara fisik sudah tidak seintens waktu kita
berkolaborasi di STT Jakarta, apalagi setelah Gendo balik ke Sumatra Utara dan
menikah. Masing-masing larut dengan kesibukannya.
Beberapa
kali Gendo sempat menghubungi saya dari Sumatra, dan kami bercerita mengenai penerbitan
dan survei di era Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Rupanya selain masih menangani
penerbitan, Gendo juga aktif di kegiatan survei Pilkada. Kami pun berdiskusi
mengenai soal populasi, sampel dan Quik-count. Gendo sempat bercerita
bahwa di sedang mengembangkan aplikasi yang dapat membantu kebutuhan survei di
daerah. Luar biasa, saya tidak menyangka kalau Gendo bisa bergerak sampai sejauh
itu. Dia selalu punya kemauan yang besar, dan optimis.
Seingat
saya, pada 2015 atau 2016, kita pernah bertemu di Siantar. Waktu itu ada acara
PGI, lalu malamnya kami pergi bersantai sejenak di salah satu rumah kopi. Tanpa
saya duga, rupanya Gendo juga muncul di situ, dan kami bercerita sambil
menikmati kopi. Dia masih seperti dulu, selalu bersemangat saat bercerita, dan tentu dengan senyumnya yang khas.
Gendo
itu orangnya rame, selalu banyak cerita dan optimis. Terus terang, saya
orang yang berhutang pada Gendo. Dia mendampingi saya waktu bergumul dengan
dunia penerbitan, memberi optimisme dan mengajari saya berbagai hal. Entah
bagaimana membalas kebaikannya, apalagi dia sudah pergi untuk selamanya.
Saya hanya bisa mengenangnya di dalam ingatan dan hati, lalu menuangkannya di dalam tulisan untuk mengabadikan kontribusinya. Mungkin tidak banyak orang yang mengingat Gendo, dan itu pun akan hilang seiring berjalan waktu. Tapi saya mengingatnya dan tidak melupakan kebaikannya. Doa saya untuk istri, anak dan keluarga yang ditinggalkan. Kasih dari Tuhan Yesus menyertai, menguatkan dan memberi kelimpahan bagi mereka.
Rasanya ingin lagi ngopi dengan Gendo, bersama beberapa teman, untuk mengenang perjalanan kita kala itu. Pasti akan banyak cerita dan tawa saat mengingat kembali jatuh bangun kita melewati perjalanan tersebut. Sayang, Gendo sudah pergi untuk selamanya. Namun, dia akan terus hidup dalam ingatan, hati dan melalui tulisan ini.