Quote:

Sir Winton: "I know crowds of people who go to church and synagogue who aren't religious .... religion, in most cases is a facade."

Quote:

John Lenon: "Imagine no possessions,...no need for greed or hunger, a brotherhood of man. Imagine all the people sharing all the world".

Quote:

Marx: "The struggle against religion is ... the struggle against that world whose spiritual aroma is religion".

Quote:

Parseus: "someday, someone gonna have take a stand. Someday, someone gonna have to say enough".

Quote:

Ben Echo: "If forgiveness is the absence of law enforcement, than forgiveness is nothing but anomie".

Pembangunan Ekosistem Ekonomi PGI: Sebuah Catatan Terhadap kegiatan Franchise

(Beril Huliselan)



Catatan ini hanya menyoroti salah satu kegiatan pengembangan ekonomi yang dilakukan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dengan PT. Domisili Pangan Indonesia (DPI), perusahaan franchise yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Secara umum, inisiatif ini bisa dikatakan bermanfaat untuk menghubungkan perusahaan franchise dengan anggota jemaat yang ingin menggeluti dunia usaha. Hal ini paling tidak tergambar dalam tayangan webinar mengenai “Pembangunan Ekosistem Ekonomi Warga Gereja Melalui UMKM (Peluang Kerjasama PGI dengan Domisili Indonesia) di channel Yakoma PGI.

Dalam model kerja sama ini, PGI bertindak sebagai pihak yang menghubungkan DPI dengan anggota jemaat yang berminat menjadi penjual (reseller) berbagai produk yang berada di bawah brand milik DPI, yakni “Gerobakku”. Anggota jemaat yang berminat hanya perlu menjadi anggota DPI dengan biaya sebesar Rp. 2.000.000 dan memiliki kulkas atau freezer, kemudian penjualan produk dilakukan di wilayah domisili masing-masing. Dalam skema kerja sama ini, setiap anggota diharapkan memenuhi target penjualan bulanan sebesar Rp. 2.250.000 dengan bagi hasil sebesar 25% untuk penjualan offline, kemudian 20% untuk penjualan online.

Pertanyaannya, apakah model kerja sama seperti ini berguna? “Ya”, tentu berguna. Dalam situasi pandemi dan ancaman inflasi, model kerja sama seperti ini akan membantu warga jemaat yang memang memiliki minat kuat untuk memulai usaha, tapi memiliki modal yang terbatas. Namun, apabila saya masuk dalam pertanyaan berikutnya, apakah model kerja sama tersebut “berguna dan mendesak” untuk dilakukan PGI? Jawab saya, “Tidak”. Artinya, dalam konteks peran fasilitasi PGI, model kerja sama seperti ini masuk dalam kategori “berguna tapi belum mendesak”. Lalu apa solusinya? Kegiatan yang masuk dalam kategori ini (“berguna tapi belum mendesak”) sebaiknya didelegasikan ke mitra-mitra PGI; tidak perlu PGI menghabiskan waktu untuk urusan bisnis franchise yang belum mendesak, sekalipun berguna tentunya. Di sini PGI cukup menggerakan secara aktif mitra-mitra yang ada, sekaligus menghidupkan network keesaan di Indonesia.

Apabila kegiatan franchise dipandang belum mendesak, lalu kegiatan mana yang masuk kategori “berguna dan mendesak”? Pertama, di sini perlu diingat bahwa PGI sebaginya fokus pada program yang “berguna dan mendesak. Kedua, ukuran “berguna dan mendesak” dilihat pada agenda keesaan yang tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024, sekaligus tantangan krisis keesaan yang ada di dalamnya.

Saya tidak akan membahas persoalan krisis keesaan yang diangkat dalam DKG, hal tersebut sebaiknya dilakukan dalam tulisan lain yang lebih panjang. Di sini saya cukup menyoroti pengembangan ekonomi umat yang menjadi salah satu fokus advokasi PGI dalam agenda keesaan. Lalu di mana letak kategori “berguna dan mendesak” dalam pengembangan ekonomi umat? Letaknya ada pada penekanan agenda keesaan yang menempatkan pemberdayaan ekonomi pada penguatan jaringan oikoumene lokal yang berbasis pada jemaat-jemaat yang terkoneksi satu dengan lainnya. Di sinilah arah advokasi ekonomi harus diletakkan PGI, bukan pada ngurusin franchise.

Dalam konteks ini, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan PGI harus bertumpu pada terkelolanya oikoumene lokal di mana berbagai potensi umat terdata, terkelola dan terkoneksi dalam gerak kemaslahatan bersama. Artinya, prioritas model ekonomi yang diadvokasi PGI haruslah yang bertumpu pada potensi, kekuatan dan interkoneksi gereja-gereja di tingkat lokal untuk kemaslahatan bersama, sekaligus melawan etos dan struktur keserakahan (spiritualitas ugahari).

Di sini saya mencatat 6 point yang bisa diprioritaskan PGI dalam melakukan advokasi ekonomi, yakni: (1) berbasis jemaat lokal (kemandirian jemaat), (2) menggerakan jaringan lintas gereja di tingkat lokal (ekonomi bersama), (3) mendorong pemberdayaan SDM berbasis jemaat dan jaringan oikoumene lokal, (4) berpotensi mendorong ekonomi bersama di tingkat lokal (kemaslahatan), (5) bertolak dari potensi ekonomi umat di tingkat lokal, (6) mendorong pembiayaan alternatif berbasis jemaat dan jaringan oikoumene lokal.

Keenam poin itulah yang saya maksudkan dengan “berguna dan mendesak”. Apabila keenam poin tersebut saya gunakan untuk menilai kegiatan franchise yang dilakukan PGI, maka hasilnya adalah kegiatan tersebut masuk dalam kategori “lemah” terkait kontribusinya bagi arah advokasi ekonomi yang ada dalam DKG, sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini:

Pada tabel di atas, saya menilai kegiatan franchise yang dilakukan PGI menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD) yang biasanya dipakai dalam design quality. Namun, saya menggunakannya secara terbalik, yakni digunakan untuk menilai apakah sebuah produk – dalam hal ini program franchise yang dilakukan PGI – sudah sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi umat yang diharapkan dalam DKG.

Pada sisi kiri saya memasukan 6 poin kebutuhan advokasi ekonomi umat, sementara di bagian atas saya masukan beberapa poin yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha/bisnis. Setelah saya berikan bobot dan mengkalkulasikannya menggunkan  Independent Scoring Method (ISS), nilai yang diperoleh adalah “1,32” atau lemah; di sini 1 = lemah, 3 = sedang, 9 = kuat. Hasil ini tentu bisa diperdebatkan, khususnya dalam konteks penggunaan komponen dan pemberian score dengan melibatkan lebih banyak orang melalui kuesioner. Namun, sejauh analisis yang saya lakukan, kegiatan franchise PGI berkontribusi lemah terhadap advokasi ekonomi yang diharapkan dalam DKG. Karena itu,  kegiatan  franchise tersebut saya kategorikan “berguna tapi belum mendesak”. Solusinya, kegiatan tersebut didelegasikan ke mitra-mitra yang ada sehingga PGI dapat fokus pada advokasi ekonomi yang “berguna dan mendesak”. Apalagi, Sidang Raya PGI 2024 sudah semakin dekat, sementara advokasi ekonomi sepertinya menjauh dari apa yang digariskan dalam DKG.

Di sini PGI dapat belajar dari praktik-praktik cerdas yang digerakkan oleh jemaat, namun hampir tidak ada dukungan dari jaringan oikoumene. PengMas HKI Tiga Dolok misalnya melakukan pengembangan pertanian dalam bingkai implementasi nilai-nilai eco-theology, khususnya environmental stewardship yang menekankan interkoneksi antara Allah, manusia dan seluruh ciptaan. Kegiatan pertanian ini bisa dikatakan merefleksikan poin kemaslahatan yang diangkat PGI dalam DKG 2019-2024. Selain HKI, beberapa jemaat di Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui motornya Pdt. Matham Melkian, membangun pertanian umat (jemaat) yang menghasilkan ekonomi bersama (kemaslahatan) berbasis potensi lokal. Kita juga dapat menemukan praktik cerdas seperti ini di Mentawai, Nias, Maluku dan Sulawesi Utara. Dengan kata lain, potensi di tingkat lokal tersedia, dan ke sanalah harusnya PGI menempatkan arah advokasi ekonomi.

 

Jakarta,  21 Agustus 2022