(Beril Huliselan)
Catatan ini hanya menyoroti salah satu kegiatan pengembangan ekonomi yang dilakukan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dengan PT. Domisili Pangan Indonesia (DPI), perusahaan franchise yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Secara umum, inisiatif ini bisa dikatakan bermanfaat untuk menghubungkan perusahaan franchise dengan anggota jemaat yang ingin menggeluti dunia usaha. Hal ini paling tidak tergambar dalam tayangan webinar mengenai “Pembangunan Ekosistem Ekonomi Warga Gereja Melalui UMKM (Peluang Kerjasama PGI dengan Domisili Indonesia) di channel Yakoma PGI.
Dalam model kerja sama ini, PGI bertindak sebagai pihak yang
menghubungkan DPI dengan anggota jemaat yang berminat menjadi penjual (reseller)
berbagai produk yang berada di bawah brand milik DPI, yakni “Gerobakku”. Anggota jemaat yang berminat hanya perlu menjadi anggota DPI dengan biaya sebesar Rp. 2.000.000 dan memiliki
kulkas atau freezer, kemudian penjualan produk dilakukan di wilayah domisili
masing-masing. Dalam skema kerja sama ini, setiap anggota diharapkan memenuhi
target penjualan bulanan sebesar Rp. 2.250.000 dengan bagi hasil sebesar 25%
untuk penjualan offline, kemudian 20% untuk penjualan online.
Pertanyaannya, apakah model kerja sama seperti ini berguna? “Ya”, tentu berguna.
Dalam situasi pandemi dan ancaman inflasi, model kerja sama seperti ini akan
membantu warga jemaat yang memang memiliki minat kuat untuk memulai usaha, tapi
memiliki modal yang terbatas. Namun, apabila saya masuk dalam pertanyaan
berikutnya, apakah model kerja sama tersebut “berguna dan mendesak” untuk dilakukan
PGI? Jawab saya, “Tidak”. Artinya, dalam konteks peran fasilitasi PGI, model
kerja sama seperti ini masuk dalam kategori “berguna tapi belum mendesak”. Lalu
apa solusinya? Kegiatan yang masuk dalam kategori ini (“berguna tapi belum
mendesak”) sebaiknya didelegasikan ke mitra-mitra PGI; tidak perlu PGI
menghabiskan waktu untuk urusan bisnis franchise yang belum
mendesak, sekalipun berguna tentunya. Di sini PGI cukup menggerakan secara
aktif mitra-mitra yang ada, sekaligus menghidupkan network keesaan
di Indonesia.
Apabila kegiatan franchise dipandang belum mendesak,
lalu kegiatan mana yang masuk kategori “berguna dan mendesak”? Pertama,
di sini perlu diingat bahwa PGI sebaginya fokus pada program yang “berguna dan
mendesak. Kedua, ukuran “berguna dan mendesak” dilihat pada agenda
keesaan yang tertuang dalam Dokumen Keesaan Gereja (DKG) 2019-2024, sekaligus
tantangan krisis keesaan yang ada di dalamnya.
Saya tidak akan membahas persoalan krisis keesaan yang diangkat dalam DKG,
hal tersebut sebaiknya dilakukan dalam tulisan lain yang lebih panjang. Di sini
saya cukup menyoroti pengembangan ekonomi umat yang menjadi salah satu fokus
advokasi PGI dalam agenda keesaan. Lalu di mana letak kategori “berguna dan
mendesak” dalam pengembangan ekonomi umat? Letaknya ada pada penekanan agenda
keesaan yang menempatkan pemberdayaan ekonomi pada penguatan jaringan oikoumene
lokal yang berbasis pada jemaat-jemaat yang terkoneksi satu dengan lainnya. Di
sinilah arah advokasi ekonomi harus diletakkan PGI, bukan pada ngurusin franchise.
Dalam konteks ini, pemberdayaan ekonomi yang dilakukan PGI harus
bertumpu pada terkelolanya oikoumene lokal di mana berbagai potensi umat
terdata, terkelola dan terkoneksi dalam gerak kemaslahatan bersama. Artinya,
prioritas model ekonomi yang diadvokasi PGI haruslah yang bertumpu pada
potensi, kekuatan dan interkoneksi gereja-gereja di tingkat lokal untuk
kemaslahatan bersama, sekaligus melawan etos dan struktur keserakahan
(spiritualitas ugahari).
Di sini saya mencatat 6 point yang bisa diprioritaskan PGI dalam
melakukan advokasi ekonomi, yakni: (1) berbasis jemaat lokal (kemandirian
jemaat), (2) menggerakan jaringan lintas gereja di tingkat lokal (ekonomi
bersama), (3) mendorong pemberdayaan SDM berbasis jemaat dan jaringan oikoumene
lokal, (4) berpotensi mendorong ekonomi bersama di tingkat lokal
(kemaslahatan), (5) bertolak dari potensi ekonomi umat di tingkat lokal, (6)
mendorong pembiayaan alternatif berbasis jemaat dan jaringan oikoumene lokal.
Keenam poin itulah yang saya maksudkan dengan “berguna dan mendesak”.
Apabila keenam poin tersebut saya gunakan untuk menilai kegiatan franchise yang
dilakukan PGI, maka hasilnya adalah kegiatan tersebut masuk dalam kategori
“lemah” terkait kontribusinya bagi arah advokasi ekonomi yang ada dalam DKG,
sebagaimana tergambar pada tabel di bawah ini:
Pada tabel di atas, saya menilai kegiatan franchise yang
dilakukan PGI menggunakan metode Quality Function Deployment (QFD)
yang biasanya dipakai dalam design quality. Namun, saya menggunakannya secara terbalik, yakni digunakan untuk menilai apakah sebuah
produk – dalam hal ini program franchise yang
dilakukan PGI – sudah sesuai dengan kebutuhan pengembangan ekonomi
umat yang diharapkan dalam DKG.
Pada sisi kiri saya memasukan 6 poin kebutuhan advokasi ekonomi umat,
sementara di bagian atas saya masukan beberapa poin yang dibutuhkan
dalam pengembangan usaha/bisnis. Setelah saya berikan bobot dan
mengkalkulasikannya menggunkan Independent Scoring Method (ISS),
nilai yang diperoleh adalah “1,32” atau lemah; di sini 1 = lemah, 3 = sedang, 9
= kuat. Hasil ini tentu bisa diperdebatkan, khususnya dalam konteks penggunaan
komponen dan pemberian score dengan melibatkan lebih banyak
orang melalui kuesioner. Namun, sejauh analisis yang saya lakukan, kegiatan franchise PGI berkontribusi lemah terhadap advokasi
ekonomi yang diharapkan dalam DKG. Karena itu, kegiatan franchise tersebut
saya kategorikan “berguna tapi belum mendesak”. Solusinya, kegiatan tersebut
didelegasikan ke mitra-mitra yang ada sehingga PGI dapat fokus pada advokasi
ekonomi yang “berguna dan mendesak”. Apalagi, Sidang Raya PGI 2024 sudah
semakin dekat, sementara advokasi ekonomi sepertinya menjauh dari apa yang
digariskan dalam DKG.
Di sini PGI dapat belajar dari praktik-praktik cerdas yang digerakkan
oleh jemaat, namun hampir tidak ada dukungan dari jaringan oikoumene. PengMas
HKI Tiga Dolok misalnya melakukan pengembangan pertanian dalam bingkai
implementasi nilai-nilai eco-theology, khususnya environmental
stewardship yang menekankan interkoneksi antara Allah, manusia dan
seluruh ciptaan. Kegiatan pertanian ini bisa dikatakan merefleksikan poin
kemaslahatan yang diangkat PGI dalam DKG 2019-2024. Selain HKI, beberapa jemaat
di Nusa Tenggara Timur (NTT), melalui motornya Pdt. Matham Melkian, membangun
pertanian umat (jemaat) yang menghasilkan ekonomi bersama (kemaslahatan)
berbasis potensi lokal. Kita juga dapat menemukan praktik cerdas seperti ini di
Mentawai, Nias, Maluku dan Sulawesi Utara. Dengan kata lain, potensi di tingkat
lokal tersedia, dan ke sanalah harusnya PGI menempatkan arah advokasi ekonomi.
Jakarta,
21 Agustus 2022