Gysber yang Saya Kenal

Gysber Jan Tamaela, nama yang sudah saya kenal sejak masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD). Biasanya saya, dan teman-teman yang lain, memanggilnya Gys (baca: Heis). Seandainya masih hidup, saya yakin Gys memiliki prospek yang sangat bagus. Namun yang lebih penting lagi, dia akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk membaktikan hidup bagi tanah kelahirannya, Maluku. Selama puluhan tahun saya mengenal Gys, semangat itulah yang selalu hidup di dalam dirinya. Setiap kali kami berdua berbincang-bincang, Gys selalu tampak bersemangat saat berbicara mengenai pentingnya membangun Maluku. Bahkan, Gys seringkali mengaitkan berbagai topik pembicaraan kami dengan tanah kelahiran yang dicintainya. Dalam keyakinan saya, inilah jalan yang dipilih Gys sebagai panggilan hidupnya. Sampai akhir hayatnya, Gys membaktikan diri sebagai seorang dosen di Universitas Pattimura. Dan sebagai orang yang mengenal Gys selama puluhan tahun, saya berani mengatakan bahwa pilihan tersebut (menjadi dosen) sangat terkait dengan kayakinannya bahwa pembangunan harus dimulai dari dunia pendidikan. 

Setelah menyelesaikan SD, kami berdua meneruskan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang sama. Sekalipun tidak satu kelas – waktu di SMP dan SMA – namun interaksi kami berdua tetap berjalan; kadang kami berdua berbincang-bincang di pojok atau di depan sekolah sambil tertawa terbahak-bahak. Dari SD sampai SMA, Gys selalu tampil sebagai orang yang ramah, mudah bergaul, aktif dalam organisasi serta memiliki nilai yang baik dalam mata pelajaran seperti matematika, fisika dan mata pelajaran sejenisnya. Sementara saya justru kebalikannya, tidak menyenangi kehidupan organisasi, selalu malu kalau disuruh tampil ke depan, kurang supel serta alergi dengan matematika dan fisika. Mungkin, hal ini juga yang membuat Gys pernah mendorong dan menasehati saya agar aktif di dalam kegiatan Organisasi Intra Sekolah (OSIS). Namun, saya berusaha mati-matian menolak ajakan tersebut. Saya bukan orang yang supel seperti Gys, bahkan cenderung pemalu. Dan saat itu, Gys memaklumi mengapa saya menolak ajakannya. Bisa dikatakan, Gys sangat memahami saya. Inilah salah satu sifat dari Gys, dia berusaha mendorong dan memberi semangat kepada sahabatnya, namun tetap memberi ruang bagi perbedaan.

Saat masih di duduk bangku SD, kadang saya dan beberapa teman lainnya belajar bersama dengan Gys di rumahnya. Maklum, Gys pandai di bidang matematika, sementara kami kebalikannya. Kadang kami menginap satu atau dua malam di rumahnya, lalu – setelah selesai belajar – kegiatan dilanjutkan dengan menyanyi dan tertawa terbahak-bahak sampai tengah malam. Suara kami memang tidak merdu, tetapi kemerduan itu justru terletak pada persahabatan yang kami jalani.

Selepas SMA, kami berdua pun berangkat bersama-sama – bahkan dengan pesawat yang sama – ke Jakarta. Seingat saya, kami tidak membuat rencana untuk berangkat bersama-sama. Namun, sepertinya jalan hidup selalu mempertemukan kami. Pada saat saya tiba di airport, di sana saya melihat Gys dan seorang teman lainnya yang bernama Alfa Souisa. Rupanya, mereka pun akan berangkat ke Jakarta. Akhirnya kami bertiga berangkat dan tiba di Jakarta pada malam hari. Setelah itu, kami pun berpisah. Saya sibuk dengan urusan pendaftaran di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta (STT-J), sementara Gys berencana masuk ke salah satu Institute teknik di sekitar Jakarta; saya lupa nama Institute tersebut.

Sekali lagi, di tengah-tengah kesibukan masing-masing, jalan hidup kembali mempertemukan kami. Saat itu saya sudah kuliah di STT Jakarta dan tinggal di asrama, sementara Gys menetap di tempat yang tidak jauh dari  STT Jakarta. Kami pun bertemu, bahkan Gys kadang mengunjungi saya di asrama. Dari beberapa kali kunjungannya, Gys tampak senang dengan asrama STT Jakarta yang, paling tidak bagi saya, menampilkan suasana merakyat. Setiap mahasiswa diberikan kebebasan untuk berekspresi, mereka tidak perlu berpura-pura menjadi orang yang sok suci. Seringkali, para mahasiswa terlibat diskusi yang mengeritik ajaran dan kiprah gereja, kitab suci, termasuk mengeritik berbagai konsep mengenai Allah. Dalam kunjungannya ke asrama STT Jakarta, Gys pun ambil bagian dalam suasana kebebasan tersebut. Gys sangat terbuka dengan berbagai macam kritik yang berkembang di asrama, terkadang dia tertawa terbahak-bahak bersama penghuni asrama lainnya. Gys memang bukan mahasiswa teologi, namun keterbukaannya membuat dia seperti menjadi bagian dari kehidupan mahasiswa teologi di asrama STT Jakarta. Itulah Gys, dia selalu mudah beradaptasi dan terbuka dengan perbedaan.

Kadang, saya dan Gys berbincang-bincang di depan salah satu toko yang bernama 'Circle K'; saat itu letaknya tidak jauh dari kampus STT Jakarta. Beberapa kali kami berbincang-bincang sampai tengah malam. Topiknya pun beragam, mulai dari sekolah, kehidupan di Jakarta, keluarga sampai masalah perempuan ha..ha....  Kadang kami berdua tertawa terbahak-bahak saat bercerita tentang kisah cinta di masa SMP dan SMA. 

Dalam beberapa kali pembicaraan kami di 'Circle K', Gys pernah mengutarakan keinginannya untuk masuk sekolah teologi. Mendengar keinginan tersebut, saya pun tertawa terbahak-bahak. Bagi saya, jalan hidup Gys seharusnya bukan di sekolah teologi, tetapi di sekolah teknik. Dan memang, itulah jalan hidup yang kemudian ditempuh Gys. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi ke Surabaya dan mendaftar ke ITS (Institut Teknologi Sepuluh Nopember). Sejak saat itu, kami berdua pun berpisah. 

Setelah menyelesaikan studi, kami berdua tetap terpisah secara geografis. Gys balik ke Ambon, sementara saya malah melanjutkan studi S-2 di STT Jakarta. Pada masa itu, sejauh yang saya ingat, kami berdua praktis tidak lagi terlibat dalam pembicaraan yang intens seperti dahulu kala. Baru pada saat pecah konflik sosial di Ambon, Gys banyak menghabiskan waktu di Jakarta. Inilah masa di mana kami berdua seringkali bertemu dan melakukan diskusi sampai tengah malam. Dengan ditemani beberapa bungkus rokok, kami bercerita dan tertawa membelah heningnya malam. Mulai dari konflik sosial yang sedang melanda Indonesia (termasuk Maluku), masalah agama sampai balapan mobil menghiasi pembicaraan kami. Sama seperti masa-masa yang lalu, Gys begitu senang dan terbuka mendengar berbagai kritik terhadap ajaran dan kiprah agama, kitab suci, termasuk konsep mengenai Allah. Namun, keterbukaan tersebut tidak membuat dia lalu menjadi orang yang tidak beriman. Sebaliknya, Gys seolah-olah meyakini bahwa beriman adalah gerak aktif yang tidak pernah berhenti. Berbagai macam kritik harus menjadi bagian di dalam gerak tersebut sehingga iman bisa dipertanggungjawabkan secara dewasa. Beriman tidak bisa sekedar berputar-putar pada klaim bahwa “Allah itu Baik” atau “Allah itu Maha Adil”. Sebaliknya, beriman justru memuat keberanian untuk menerobos klaim-klaim tersebut, mempertanyakannya dan menemukan dasar kontekstual bagi gerak keadilan Allah di dalam sejarah. Dengan demikian, keyakinan/konsep mengenai Allah tidak menjelma menjadi gerak ideologis yang sarat dengan semangat untuk menguasai. Gys misalnya sangat menyenangi cerita-cerita mengenai pembelaan Yesus terhadap rakyat biasa, sekalipun pembelaan tersebut dapat menabrak rumusan doktrinal tertentu.

Setelah konflik sosial mulai mereda, Gys kemudian lebih banyak menghabiskan waktu di Ambon. Sekalipun di kemudian hari Gys melanjutkan studi S-2 di Bogor, namun pertemuan yang intens antarkami berdua praktis sudah tidak terjadi lagi. Masing-masing sudah menikah dan memiliki kesibukan sendiri.

Pada tahun 2010, mungkin sekitar bulan Februari, Gys sempat menelepon saya. Saat itu dia berada di airport dan hendak bertolak ke Surabaya. Dia berjanji akan balik lagi ke Jakarta dan kita bisa menghabiskan waktu untuk berbincang-bincang lagi seperti dahulu kala. Memang benar, Gys balik lagi ke Jakarta, namun kali ini dalam situasi yang sangat berbeda. Saat itu Gys mengabarkan bahwa dia terserang tumor ganas dan harus dirawat di Jakarta. Kami berdua memang bertemu, namun sekali lagi dalam situasi yang sangat berbeda. Kali ini tidak ada lagi diskusi, tidak ada lagi kepulan asap rokok dan tidak ada lagi gelak tawa yang terbahak-bahak.

Selama beberapa kali saya menjenguk Gys, dia sepertinya kelihatan sehat. Sekalipun demikian, saya merasa tidak melihat Gys yang dahulu pernah saya kenal. Memang dia berusaha untuk optimis dan tabah, namun toh dia tidak dapat menyembunyikan kecemasan yang dirasakannya. Entahlah, saat itu saya hanya merasakan sesuatu yang berbeda antara Gys yang sedang sakit dengan Gys sebagai teman diskusi; pada saat dia masih sehat tentunya.

Setelah sempat dioperasi, saya melihat Gys dalam kondisi yang lumayan baik. Dan, informasi yang saya dengar pun bisa dikatakan menggembirakan, yakni kondisinya sudah bisa ditangani/diatasi dengan beberapa kali perawatan. Saya lalu berpesan kepada Gys bahwa nanti setelah kondisinya sudah membaik, kita harus diskusi lagi seperti dahulu kala. Gys pun menyanggupinya, tapi dengan satu catatan, yakni tidak boleh ada rokok  ha....ha....

Saya memang sempat mendengar kabar dari Vivi (istrinya Gys) bahwa Gys mengalami sesak napas dan harus masuk ICU. Saat itu saya tidak terlalu kuatir mengingat sebelumnya dikabarkan kondisi Gys sudah bisa diatasi dengan beberapa kali perawatan. Sehari sebelum Gys meninggal, saya memang berencana untuk menjenguknya lagi. Namun karena yakin kondisinya sudah bisa di atasi, akhirnya saya memutuskan untuk menyelesaikan beberapa hal yang harus saya kerjakan. Setelah itu, baru saya akan menyempatkan diri untuk menjenguk Gys. Namun apa yang terjadi, keesokan paginya saya mendengar kabar bahwa Gys sudah kembali ke sang pencipta. Dan sampai detik ini, saya masih bingung dengan apa yang telah terjadi. Kepergiannya begitu cepat, sampai-sampai saya belum bisa memahaminya. Rasanya baru kemarin saya bertemu dia, dan hari ini sudah tidak ada. Lalu apa yang tersisa hanyalah tanda tanya yang mungkin suatu saat saya akan menemukan jawabannya.

Selamat jalan Gys, selamat jalan sobat.