Peneliti: Pemda Hambat Kebebasan Beragama

TEMPO.CO - Rabu, 21 Maret 2012 | 21:23 WIB

Sleman - Center for Religious and Cross Culture Studies (CRCS) UGM melansir laporan kehidupan beragama Indonesia selama 2011 yang menyimpulkan kondisi kebebasan beragama makin buruk. Sebabnya, posisi pemerintah pusat dalam memberi perlindungan makin melemah, sedangkan pemerintah daerah makin kuat mendukung pelanggaran. 

“Era otonomi daerah, pelanggaran hak beragama kami anggap di level lampu merah,” kata Suhadi Cholil, pengajar di CRCS UGM saat memaparkan isi laporan, Rabu 21 Maret 2012.

Suhadi menuturkan kasus-kasus pelanggaran kebebasan beragama selama 2011, terutama di kasus Ahmadiyah dan GKI Yasmin. Kasus-kasus ini menunjukkan melemahnya posisi pemerintah pusat dan menguatnya keterlibatan pemerintah daerah dalam mendukung pelanggaran.

“Ada tren pembiaran kasus pelanggaran hak beragama,” kata Suhadi.

Laporan CRCS selama Januari-Oktober 2011, ada 19 peraturan gubernur, bupati dan walikota untuk mendukung diskriminasi terhadap komunitas Ahmadiyah. Kasus sengketa izin GKI Yasmin juga menjelaskan adanya fenomena makin kuatnya kewenangan pemerintah daerah untuk melegitimasi pemberangusan hak beragama sehingga pemerintah pusat nampak makin tak berdaya.

Laporan setebal 84 halaman ini mencatat, selain kasus komunitas Ahmadiyah, selama 2011 ada tujuh kasus tuduhan penodaan agama, yang menimpa pada sejumlah kelompok keagamaaan seperti Komunitas Millah di Aceh dan komunitas Syiah di Sampang, Madura. Komunitas Ahmadiyah disebut menjadi sasaran aksi kekerasan sebanyak 20 kali selama Januari-Agustus 2011.

“Jumlah aksi kekerasan tak banyak, tapi kualitasnya makin parah. Kasus Cikeusik, Temanggung, Pasuruan dan Sampang buktinya,” kata Suhadi.

Sementara pembahas lain, Dian Nafi, pimpinan Pondok Pesantren Al-Muayyad Solo, berpendapat laporan CRCS masih belum memuat pengamatan terhadap ketegangan budaya yang menjadi akar kekerasan atas nama agama. Riset mengenai ketegangan budaya bermanfaat untuk merumuskan strategi perdamaian untuk mengimbangi kampanye kekerasan atas nama agama. “Media, akademisi, agamawan punya tugas memprovokasi perdamaian,” kata Nafi.

ADDI MAWAHIBUN IDHOM