Allah Maha Besar??

Jakarta, Januari 2008
Hari ini sebuah kidung melintas di telinga saya, kidung tersebut begitu indah, ya…… seindah liriknya. Soal judulnya, wah…. entahlah saya tidak tahu judulnya. Apa yang terekam dalam ingatan hanyalah potongan lirik yang berbunyi: “Ketika ku berdoa, mujizat itu nyata”. Potongan lirik ini sebenarnya lumrah ditemukan dalam gemerlap kekristenan di Indonesia. Sebuah potongan yang memberikan keyakinan bahwa Allah memang sungguh besar, makanya mujizatnya juga nyata. Gambaran Allah yang begitu gemerlap dengan mujizatnya mendadak berubah pada saat saya teringat keseharian menyusuri kota Jakarta. Istilah mujizat kehilangan relevansinya dan Allah pun kehilangan pesonanya. Menyusuri kota Jakarta bagaikan menatap Allah yang sedang tertidur pulas dalam mimpi yang panjang. Mujizat menjadi kosa kata yang bergerak terbalik terhadap realitas kehidupan yang dijalani oleh kaum miskin di kota Jakarta.

Gambaran Allah yang besar dengan mujizatnya yang dahsyat hanya dijumpai di toko-toko kaset, berbagai stiker yang menempel di belakang mobil, sejumlah acara penyegaran iman di televisi, konser-konser di stadion yang diberi lebel kebangunan rohani, bahkan konon tokoh sekelas Benny Hinn pun mau datang untuk menggelar konsernya yang keduakali di Indonesia. Wow…. keren, kabarnya Benny Hinn membawa misi yang mulia, yakni mendoakan bangsa Indonesia. Ya…. memang Allah itu sangat besar, makanya hanya diperlukan doa untuk memulihkan Indonesia.


Gambaran Allah dengan mujizatNya yang dahsyat begitu melekat dengan proses ekonomi, mulai dari penjualan kaset, acara talk show sampai digelarnya konser-konser berskala raksasa. Allah dalam kreasi dunia bisnis memang sungguh nyata mujizatnya, dia sanggup menghipnotis manusia-manusia modern yang rapuh, lalu mencetak perputaran uang yang luar biasa. Para penginjil pun sekarang banyak yang naik mobil mewah dengan badan yang kegendutan, maklum Allah kan memang luar biasa. Ya.... HALELUYA.... memang mujizatnya sungguh luar biasa.

Beberapa waktu lalu saya berjalan menyusuri daerah yang dilalui lintasan kereta api di wilayah Pejompongan (Jakarta), terekam dalam ingatan akan anak-anak kecil yang berlari riang di samping rel kereta api. Rumah mereka tampak kumuh, apalagi pakaian mereka. Anak-anak itu tetap berlari di samping rel kereta api tanpa perduli bahwa nyawa mereka bisa melayang. Ingatan yang membuat saya bertanya “dimanakah Allah yang sungguh luar biasa itu?” Oh...... saya ternyata lupa bahwa Allah yang luar biasa itu adanya di toko-toko kaset dan di tempat konser. Ah....ternyata Allah seperti itu tidak ada di dunia riil, ya..... Allah seperti itu hanyalah kreasi dari dunia yang telah terkolonialisasi oleh semangat bisnis; how to make money? How to win the competition? How to improve your market share? How.... how...... how...... how....... Oh...... Allah ini memang mendapat market yang besar pada manusia-manusia yang rapuh. “ada amin saudara-saudara? HALELUYA”

Kerasnya kehidupan Jakarta membawa saya pada kerinduan akan Allah yang menderita, Allah yang begitu riil dalam kesesakan hidup warga Jakarta. Sayang..... Allah seperti ini tidak lagi diberikan ruang untuk hidup. Maklum, gambaran Allah yang menderita sangatlah tidak menguntungkan secara ekonomi, Dia tidak dibutuhkan oleh manusia-manusia rapuh yang haus akan mujizat. Mereka hanya membutuhkan Allah yang dijumpai di toko-toko kaset dan tempat konser rohani.

Allah yang menderita sudah tergusur oleh derasnya arus commodification of every aspect of every day life, nasib-Nya sama seperti warga Jakarta yang tiap tahun selalu digusur oleh pemerintah daerah. Ah….. sudahlah, saya ingin mengembara lagi mencari Allah yang menderita itu……