Keadilan???

Jakarta, 10 Maret 2008
Waktu sudah menunjukan jam 09.00 WIB, dan entah kenapa rasanya kok seperti  judul lagu “I Don't Like Monday”. Cuaca sepertinya mau mendung, tapi saya tetap harus pergi kerja, sekalipun terasa “I Don't Like Monday”. Saya kemudian berangkat kerja naik motor kesayangan dengan melewati rute yang biasa saya lalui.

Entah kenapa saat itu ada beberapa polisi pamong praja yang memblokir jalan, tapi saya tidak perduli, pokoknya saya tetap harus melewati rute itu sekalipun lagi diblokir. Setelah motor saya pacu beberapa lama, tiba-tiba pandangan rasanya terganggu dengan semakin banyaknya polisi pamong praja yang berkeliaran sambil membongkar bangunan-bangunan liar.

Memang, rute yang biasa saya lewati itu banyak terdapat bangunan-bangunan liar, tempat di mana sejumlah orang menyambung hidup melalui jalur informal. Di daerah itu juga terdapat anak-anak kecil yang tampak kumuh bermain dengan gembira, maklum orang tua mereka bukan orang kaya, mereka hanya menyambung hidup dengan mendirikan bangunan-bangunan liar.
Saat itu tampak anak-anak muda dengan seragan polisi pamong praja, mereka begitu bersemangan menghancurkan bangunan-bangunan kumuh tersebut. Hah..... laganya kaya jagoan, dan tak jauh dari situ ada pemimpin mereka yang sedang sibuk bertelepon ria dengan handphone-nya, gayanya seperti seorang menteri yang sibuk dengan sejuta urusan, padahal handphone itu dibeli dengan menggunakan uang rakyat. Tak jauh dari situ, anak-anak kecil yang biasanya bermain di daerah tersebut tampak sedang berdiri di balik pagar sambil menatap rumah mereka dibongkar oleh sejumlah “jagoan” berseragam polisi pamong praja. Anak-anak tersebut mungkin berusia sekitar 3-5 tahun, dan tatapan mereka tampak kosong. Dalam situasi seperti itu sulit rasanya mengendarai motor dengan tenang, saya agak terganggu aksi para jagoan tengik tersebut.

Pemukiman kumuh memang memuat persoalan tersendiri, mulai dari masalah tata kota sampai hak hidup anak-anak yang tumbuh di daerah tersebut. Namun apakah penggusuran merupakan jalan satu-satunya, apalagi dipertontonkan di depan anak-anak yang masih kecil? Apakah tidak ada jalan lain yang yang lebih manusiawi untuk menangani persoalan pemukiman kumuh?

Di Jakarta banyak para pemilik modal yang membangun pom bensin (gas station) di daerah hijau, padahal sudah jelas bahwa daerah hijau merupakan daerah yang diperuntukan untuk paru-paru kota, namun SIAPA YANG BERANI MENGGUSUR MEREKA? Banyak juga perumahan, pusat perbelanjaan dan bangunan-bangunan tinggi lainnya yang dibangun oleh para pemilik modal di daerah resapan air. Mereka tidak perduli dengan hilangnya daerah-daerah resapan air, bahkan juga tidak memperdulikan ancaman penurunan permukaan tanah. Tidak ada analisa dampak lingkungan, makanya banjir dan air pasang – sebagai akibat penurunan pemukaan tanah – sudah menghantam Jakarta. Namun kembali lagi, SIAPA YANG BERANI MENGGUSUR MEREKA? Boro-boro digusur, para petinggi di Jakarta malah memberikan ijin dan menyediakan bantuan keamanan untuk pembebasan lahan. Atau lihat juga kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia kepada para koruptor dengan nilai yang mencapai trilyunan rupiah. Uang trilyunan rupiah tersebut pada akhirnya dikembalikan oleh para koruptor dengan aset-aset sampah mereka, aset-aset yang sudah tidak ada nilainya. Setelah itu pemerintah langsung mengeluarkan surat tanda lunas, dan para koruptor pun bisa berjalan santai sambil menikmati liburan ke berbagai penjuru dunia. SIAPA YANG BERANI MENANGKAP MEREKA? “TIDAK ADA”.

Jakarta memang cuma berani sama orang-orang kecil, makanya yang dibongkar hanya bangunan kumuh. Anak-anak muda yang berseragam polisi pamong praja itu memang cuma menjalankan tugas, dan tentunya ada imbalan berupa uang bagi mereka. Arogansi kekuasaan pada akhirnya menjadikan rakyat kecil sebagai pagar untuk menghantam rakyat kecil lainnya. Hubungan antara para penguasa/pemodal dengan rakyat kecil dikelola dengan cara membentuk zona penyangga. Zona tersebut kemudian diisi oleh rakyat kecil lainnya. Kalau terjadi konflik, sesama rakyat kecil akan saling bunuh di lapangan, para penguasa/pemodal kemudian muncul seperti “sinterklaas” dan berbicara tentang keadilan. Rasanya tepat apa yang dikatakan oleh Iwan Fals: “Jangan perdebatkan soal keadilan, sebab keadilan hanya untuk anjing si tuan Bolan”.