GLOBALISASI, REALITAS MATERIAL DAN AGAMA

Beril Huliselan
(Jakarta 2004)


Kapitalisme dan Kesatuan Ruang Dunia
Runtuhnya negara-negara komunis menjadi babak baru dalam pergerakan kesatuan ruang dunia. Sistim komunis yang di masa lalu seolah-olah menjadi mimpi buruk yang panjang akhirnya runtuh dilindas semangat liberalisme, sebuah semangat yang bisa dikatakan menjadi roh masyarakat modern. Dalam roh liberalisme inilah, tuntutan akan perkembangan, kesetaraan sosial dan kebebasan individu dari segala pembatasan mendapat pijakannya. Absolutisme dalam ruang kehidupan harus dihapuskan, mengingat kemajuan hanya dimungkinkan oleh kebebasan. Dalam tataran praksis ekonomi, kompetisi dan penguasaan pribadi atas kekuatan produksi serta proses produksi harus mendapat perlindungan.[1] Dalam kerangka seperti ini, kapitalisme modern dengan ekspansi modalnya memiliki kekuatan ideologis dalam membentuk kesatuan ruang dunia. Globalisasi akhirnya menjadi sebuah proses dan sistim yang tidak bisa dibendung lagi. Pada titik ini, rasanya kita masih dapat melontarkan pertanyaan yang sama, apakah mimpi buruk tersebut telah lenyap dari ruang kehidupan manusia?

Apabila kita merujuk pada pernyataan dari pihak WEF (World Economi Forum) baru-baru ini di Korea Selatan (tahun 2004), jawaban atas pertanyaan tersebut sudah pasti adalah “YA”.[2] Sebuah jawaban yang memperlihatkan karakter ideologis – Liberalisme – yang berorientasi untuk memproduksi akumulasi modal dunia.

Ruang dan waktu adalah hambatan, oleh karena itu harus diatasi agar dapat terjadi akumulasi modal. Hal ini mengingat akumulasi modal merupakan hal yang sangat penting dalam sistim kapitalis. Oleh karena itu, rasanya tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa pergulatan kapitalisme − sejak awal berkembangnya − senantiasa berkaitan dengan upaya mengatasi ruang dan waktu. Apabila ini tidak bisa dicapai, maka sangatlah sulit mewujudkan semangat dasar kapitlalisme − sebagaimana yang diyakini oleh Immanuel Wallerstein − yakni produksi dalam sistim pasar yang bertujuan memproduksi surplus yang maksimum.[3] Surplus maksimum hanya dapat dicapai dalam pola “produksi untuk dijual”, dan bukan dalam “produksi untuk dikonsumsi”.

Upaya mengatasi ruang dan waktu memiliki kontribusi penting dalam penyatuan ruang dunia (globalisasi). Persoalannya kemudian, dari titik mana upaya mengatasi ruang dan waktu tersebut harus diamati? Pertanyaan ini menurut hemat penulis sangat penting, karena dari sini kita bisa memahami karakter dari kesatuan ruang dunia tersebut. Di sini penulis lebih memilih mengambil titik berangkat dari orientasi surplus yang maksimum, sebagaimana disinggung oleh Wallerstein. Hal yang sama pun dapat ditemukan dalam pemikiran Karl Marx − tentunya tanpa mengesampingkan perbedaan yang ada antara Marx dengan Wallerstein − dimana Marx menekankan “produksi untuk dijual” dalam menghasilkan akumulasi modal sebagai karakter yang kental di dalam kapitalisme.[4]

Orientasi surplus yang maksimum dengan sendirinya menuntut upaya mengatasi hambatan ruang dan waktu, sebuah kenyataan yang pada akhirnya menghantarkan para pedagang urban dengan kongsi niaganya sebagai pihak yang mendominasi ekspansi ekonomi (abad ke-16). Ekspansi kongsi-kongsi dagang tersebut praktis menempatkan berbagai wilayah dibawah kekuasaannya. Hal ini semakin menguat dengan berkembangnya markantilisme pada abad ke-17 dimana kongsi-kongsi dagang mendapat suntikan tenaga dari pemerintah kolonial untuk menguasai seluruh jalur perdagangan dan mengendalikan produksi di negara-negara jajahan. Dengan demikian, pemerintah kolonial dan kongsi-kongsi dagang mendapat surplus yang maksimum. Mekanisasi dalam proses produksi yang muncul pada revolusi industri (abad ke-18) mengakibatkan eksplorasi besar-besaran atas bahan baku di negara-negara jajahan dan re-organisasi pekerja dalam sistim pabrik. Di sinilah nilai lebih − sebagaimana ada dalam pemikiran Marx − mulai diproduksi. Kesatuan ruang dunia semakin mengental dalam bingkai produksi masal.[5] Apabila kita menggunakan konsep “sistim dunia” yang diajukan Wallerstein, maka kesatuan ruang dunia tersebut dapat digambarkan sebagai pada “tabel 1”.

Dalam skema seperti ini, surplus maksimum menggumpal pada negara-negara pusat. Sementara pada negara-negara pinggiran, yang terbesar adalah eksploitasi dan penghisapan untuk mendukung proses produksi masal negara pusat. Negara-negara pinggiran berada diantara keduanya, dibawah kontrol negara pusat, namun memiliki akses dalammengontrol negara-negara pinggiran.[6]

Karakter seperti ini kemudian mengalami perkembangan dimana kapitalisme monopoli muncul sebagai penyempurnaan dari model kesatuan ruang dunia yang ditemukan di abad ke-18. kesatuan ruang dunia ini sangat menonjolkan investasi asing − dalam bingkai Konsentrasi dan sentralisasi modal − untuk mendorong penetrasi pasar yang lebih stabil. kecenderungan ini muncul untuk mengurangi kompetisi yang sempat mengaibatkan kemerosotan level provit para kapitalis secara permanen dan tajam, kenyataan yang berlangsung pada tahu 1873 s/d 1896. Konsentrasi dan sentralisasi modal berkembang dan mengakibatkan penguasaan pasar dan harga-harga komoditas stabil di pasar. Di sini proses produksi masih bertumpu pada negara pusat dan semi pinggiran. Sementara negara-negara pinggiran tetap mengalami penetrasi dalam rangka memproduksi bahan-bahan mentah untuk menopang produksi dan penguasaan pasar. Hasilnya, akumulasi modal semakin terpusat di tangan kongsi-kongsi kapitalis tersebut.[7]

Pada pertengahan abad ke-20, lahirlah perusahaan-perusahaan multinasional sebagai unit produksi dasar dalam kapitalisme oligarkis tersebut. Sejak itu, berkembang produksi internasional dimana proses produksi dikembangkan diberbagai negara (semipinggiran dan pinggiran) sebagai bagian dari optimalisasi proses produksi. Sebuah perusahaan multinasional akan memiliki cabang-cabang produksi di berbagai negar di dunia. Skema multinasional ini sangat ditopang oleh sistim keuangan internasional, sistim komunikasi global dan jaringan perdagangan global.[8] Dalam konteks seperti ini, hambatan ruang dan waktu seolah-olah lenyap – kalau tidak mau dikatakan hilang. Hal ini mengakibatkan otimalisasi proses produksi dan akumlasi modal yang luar biasa besar. Produk-produk yang dengan nilai jual tinggi diproduksi dengan dukungan sistim keuangan internasional, menggunakan tenaga-tenaga pekerja yang sangat murah dari daerah pinggiran, dan langsung terkoneksi dengan pasar global melalui kemajuan teknologi informasi. Secara umum kesatuan ruang dunia ini dapat digambarkan pada “tabel 2”.
Dalam bingkai kesatuan dunia seperti ini, tidaklah mengherankan apabila kita menemukan bahwa separuh dari dana yang berputar di dunia dikuasai oleh perusahaan-perusahaan multinasional. PDB Indonesia misalnya hanya sepersepuluh dari aset Citigroup atau General Electric, dan setengah omzet Wal-Mart. Setiap negara berkembang di dunia yang membutuhkan arus investasi untuk mengembangkan perekonomian negaranya – mau tidak mau – harus terkoneksi dengan sistim multinasional tersebut. Hanya dengan demikian, negara-negara berkembang dapat menerima kucuran FDI atau dana investasi langsung (FDI, foreign direct investmen)[9] untuk menggerakan proses produksi di negaranya.

Terkoneksinya suatu negara dengan kesatuan dunia ini akan menyeret terkneksinya sub-sub sektor usaha kecil dalam kesatuan dunia tersebut. oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila kontrasi yang dialami perusahaan-perusahaan multinasional bahkan dapat mengakibatkan terkoreksinya harga tahu dan tempe di pasar tradisional. Tahu dan tempe yang dulu merupakan makanan rakyat, tiba-tiba menjadi makanan mewah dan tidak terjangkau. Itulah salah satu potret kecil yang terjadi di Indonesia.

Dunia yang Tidak Simetris: Realitas Material dan Guncangan Nilai-Nilai
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, akumulasi modal yang besar (super profit) yang dicapai dengan semakin teratasinya kendala ruang dan waktu telah menjadi karakteristik dari kapitalisme modern dewasa ini. Di sini rasanya penting untuk mengajukan kembali pertanyaan yang telah diajukan di atas, apakah mimpi buruk benar-benar telah lenyap dari kehidupan manusia? "TIDAK". Mimpi itu bahkan semakin buruk lagi. Indonesia misalnya, setelah menjalin hubungan dengan kesatuan dunia yang dikendalikan yang dikendalikan secara multinasional, pada akhirnya mengakibatkan hancurnya sistim ekonomi dan bahaya kelaparan merajarela.

Pada akhir 1980-an dan 1990-an, pemerintah Indoneisa mengurangi ketergantungan dari minyak dan mencari penggantinya pada proses produksi non-migas melalui investasi swasta. Proses produksi non-migas bergerak dengan cepat dan berhasil menopang goncangnya perekonomian. Perekonomian Indonesia pada tahun 1998 bahkan, sebelum krisis terjadi, diprediksi oleh lembaga-lebaga internasional dapat bergerak sampai sekitar 7%. Namun, bergeraknya sektor non-migas praktis berjalan beriringan dengan eksploitasi buruh yang sangat memprihatinkan. Tenaga kerja buruh dijadikan komoditas yang sangat murah, bahkan tidak diberikan tunjangan kesehatan dan jaminan keselamatan kerja. Akumulasi modal − yang dicapai dengan cara eksploitasi buruh − sebagian kecil dinikmati oleh elit-elit ekonomi-politik lokal, sedangkan sebagian besar dikuasai oleh jaringan multinasional.

Kenyataan seperti ini masih diperparah dengan meningkatnya jumlah pinjaman pemerintah. Pada tahun 1982-1990, rata-rata pinjaman setiap tahun sekitar US$ 5 miliar. Tahun 1981 total utang pemerintah berjumlah US$ 15,9 miliar, namun pada tahun 1991 utang tersebut sudah membengkak menjadi US$ 48 miliar. Angka ini apabila dijumlahkan dengan utang swasta maka jumlahnya menjadi US$ 78 miliar pada tahun 1991.[10]

Jumlah yang besar ini ternyata tidak berhenti sampai di situ saja. Besarnya jumlah utang yang terus meningkat setiap tahun mengakibatkan pada awal tahun 1998 total utang pemerintah (US$ 67,773 miliar) dan swasta (US$ 68,315 miliar) telah mencapai US$ 138,088 miliar, sebuah jumlah yang akan terus meningkat. Dalam kerangka APBN, utang yang semakin besar ini mengakibatkan sebagian besar APBN tersedot untuk membayar cicilan bunga utang dan utang pokok. Hal ini mengakibatkan dana bagi pembangunan pun semakin kecil, bahkan minus. Sejak akhir tahun 1980-an dan tahun 1990-an, sebagian besar APBN tersedot untuk membayar bunga utang dan utang pokok. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila sejak akhir 1980-an, dana pembangunan praktis bersumber dari utang luar negeri. Gawatnya, ketergantungan akan utang jangka pendek memperlihatkan peningkatan. Ketergantungan ini dapat dilihat dari besarnya utang jangka pendek pada tahun 1997 yang mencapai 59% dari keseluruhan utang.[11]

Reformasi perbankan yang diupayakan pemerintah pada pertengahan 1980-an mengakibatkan keleluasaan bagi Bank-Bank dalam negeri untuk memobilisasi dana mereka sendiri yang berakibat naiknya bungan pinjaman dan pinjaman luar negeri dari Bank-Bank tersebut. Dana yang terkumpul kemudia digunakan untuk investasi jangka menengah dan panjang sehingga menimbulkan kesulitan likuiditas. Sektor-sektor produksi swasta (non-Bank) pun diberikan kelonggaran untuk memperoleh pinjaman luar negeri. Sektor ini memberikan kontribusi terbesar bagi utang luar negeri swasta.[12] Jaringan keuangan internasional terus-menerus mengucurkan dana bantuan sekalipun mereka mengetahui bahwa perekonomian Indonesia sangat rapuh. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila saat ini indonesia praktis berada dalam kendali kuat jaringan multinasional. Salah satu contoh adalah berbagai macam aset di negeri ini praktis berada di tangan jaringan multinasional.

Lalu apa hasil akhir dari semua ini? Hasil akhirnya adalah Indonesia menggantungkan ekonominya dari sektor konsumsi. Pada tahun 2003, pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 4,1% dan sebagian besar ditopang oleh sektor konsumsi. Pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan naik pada 4,7% - 4,8% pada kuartal I 2004, namun tetap bergantung pada sektor konsumsi. Padahal pertumbuhan yang tergantung pada sektor konsumsi tidak akan bertahan (sustainable),[13] lebih parah lagi Indonesia hanya akan menjadi tempat pelemparan berbagai komoditas produksi masal yang dimotori jaringan multinasional.

Di tempat lain, India misalnya mengalami pertumbuhan sebanyak 8% pada tahun 2003, dan kini bergerak menjadi 10%, investasi asing mengucur, eksport meningkat sampai pada munculnya perkantoran serta kawasan mewah. Namun di sisi lain, hampir 40% rakyat India hidup dalam kondisi buta huruf, kurangnya akses pada air bersih dan hidup dalam kemiskinan.[14] Persentuhan dengan jaringan multinasioanal yang sangat mobile justru menghasilkan kemelaratan bagi sebagian besar penduduk asia seperti Indonesia dan India. Hanya sebagian kecil kelompok masyarakat yang menikmati kesejahteraan, yakni segelintir elit-elit politik-ekonomi lokal. Ketimpangan tersebut − dalam kaitan dengan jaringan multinasional − mungkin dapat digambarkan pada “tabel 3”.
Proses produksi sangat membutuhkan investasi internasional untuk menghasilkan berbagai komoditas barang dan jasa (termasuk jasa kemanusiaan). Dalam proses tersebut, jaringan multinasional di barat menguasai produksi di berbagai negara. Hal ini dikarenakan penguasaan proses produksi multinasional sangat tergantung pada penguasaan sistim keuangan internasional, sistim komunikasi global dan perdagangan global. Ketiga hal ini umumnya dikuasai oleh jaringan multinasional di barat. Alhasil, proses ekonomi yang menghasilkan akumulasi modal yang sangat besar (super profit) berada dalam kontrol mereka. Dengan demikian, mereka akan menikmati akumulasi modal yang sangat besar. Sementara itu, sebagian kecilnya dikuasai oleh elit-elit politik-ekonomi lokal. Hal ini menghasilkan distribusi yang timpang, di mana sebagian besar rakyat tidak mendapat akses kepada keuntungan yang diperoleh dari proses produksi tersebut. Berbagai sarana publik bisa saja dibangun dengan segala kemewahan oleh pemerintah lokal, namun sarana tersebut sebagian besarnya pasti terkait dengan upaya untuk semakin memperkecil ruang dan waktu dalam proses produksi multinasional. Dengan kata lain, sarana-sarana tersebut harus mendukung efektivitas dan mobilisasi dari proses produksi multinasional. Kenapa? Karena akumulasi modal yang sangat besar (super profit) hanya dapat dicapai apabila batasan ruang dan waktu dapat ditekan. Dan itu berarti, akan memberikan kontribusi profit kepada sejumlah elit politik-ekonomi lokal. Sementara di pihak negara-negara maju, hal tersebut akan mendongkrak PDB negara maju.

Kondisi ini mengakibatkan disorientasi sosial di tengah-tengah masyarakat berkembang menjadi sangat tinggi. sistim nilai yang hidup ditengah-tengah masyarakat mengalami goncangan yang luar biasa. Apabila kita meminjam pemikiran Durkheim − tanpa harus sepakat dengan pendekatan konsensusnya − di mana agama dipandang sebagai sistim nilai yang merupakan indikator non-material dari masyarakat (cara masyarakat mengekspresikan diri mereka dalam fakta sosial non-material),[15] maka kita dapat membayangkan bagaimana dahsyatnya guncangan sistim nilai tersebut dalam masyarakat yang hidup dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional ini. Namun, memang harus disadari bahwa pemikiran Durkheim kurang memadai untuk menganalisa agama dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional. Hal ini mengingat pemikiran Durkheim cenderung bercorak status quo, sebagai akibat penekanan yang sangat kuat terhadap karekter fungsional dalam masyarakat. Masyarakat cenderung dipahami sebagai kekuatan moral (moral power) di mana individu terikat di dalamnya dan menemukan segala yang baik berkaitan dengan dirinya di dalam masyarakat. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila Durkheim mengatakan mengenai agama − sebagaimana dikutip oleh Alex Callinicos − bahwa “The system of ideas with which individuals represent to themselves the society of which they are members, and the obscure but intimate relations which they have with it”.[16] Pendekatan seperti ini tentunya akan melegitimasi dominasi ideologis atas masyarakat lokal oleh jaringan multinasional. Sebagaimana diungkapkan oleh Giovanni E. Reyes, salah satu aspek yang juga penting dalam globalisasi adalah transfer aspek kultural melalui sistim komunikasi ke seluruh masyarakat.[17] Dengan demikian, mendukung kesatuan proses produksi multinasional tersebut.

Penempatan agama sebagai fakta sosial non-material di sini tidak dimaksudkan menempatkan agama dalam skema Durkheim. Sebaliknya, penempatan ini hanya sekedar untuk menunjukan bahwa agama dan masyarakat adalah dua hal yang saling terkait. Dalam membaca kedua hal ini, penulis lebih berorientasi untuk menempatkan agama dalam basis material. Dengan demikian gagasan agama yang dominan akan sangat terlihat berdiri tegak lurus proses ekonomi yang tidak simetris.

Dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional, di mana ketimpangan begitu mencolok, agama sebagai sistim nilai mengalami guncangan yang luar biasa. Di Indonesia misalnya, agama telah menjadi jerami yang kering dan senantiasa siap untuk dibakar. Oleh karena itu, disorientasi sosial terlihat begitu kental, tampak pada konflik horisontal di mana agama begitu kental bermain di dalamnya. Otoritas moral kalangan rohaniwan semakin luntur di mata rakyat kebanyakan yang mengalami distribusi yang tidak simetris dalam proses ekonomi.

Lebih dari itu, pemikiran-pemikiran keagamaan dalam kesatuan dunia yang bercorak multinasional merupakan produksi industri kebudayaan − meminjam Adorno − yang mengendalikan kesadaran masa dalam menopang proses produksi multinasional yang hanya menguntungka jarinngan multinasional dan para elit politik-ekonomi lokal. Salah satu contoh mengenai hal ini dapat dilihat dalam kiprah gereja-gereja melalui DGI/PGI di Indonesia. Pada era tahun 1980-an, gereja-gereja melalui DGI/PGI sangat genjar melakukan adalah penafsiran atas Injil dengan menyetarakannya dengan ideologi Pancasila yang saat itu menjadi ideologi penguasa. Injil kemudian sejajar dengan Pancasila dan keduanya teraktualisasi dalam proses pembangunan nasional. Penguasa ORBA saat itu membutuhkan dukungan investasi untuk mendorong sektor non-migas. Proses investasi itu sendiri − sebagaimana kita ketahui bersama − menghasilkan proses dehumanisasi yang luar biasa. Sebuah proses yang rasanya menarik untuk dirumuskan dengan meminjam apa yang diuangkapkan Marx tentang bagaimana tenaga kerja manusia dihargai dalam kapitalisme: “The Cost of production of workman is restricted, almost entirely, to the means of subsistence that requires for his maintenance, and for the propagation of his race”.[18]

Dengan demikian, Injil di sini berfungsi seperti rumusan yang dibuat Dominic Strinati pada saat menjelaskan mengenai Adorno: “It shapes the tastes and preferences of the masses, thereby moulding their consciousness by instilling the desire for false needs. It therefore works to exclude real or true needs, alternative and radical concepts or theories, and genuinely threatening political opposition.” [19]

Kemana Kita Harus Melangkah: Masa Depan Agama?
Sulit rasanya membayangkan masa depan agama di negara pinggiran seperti Indonesia. Bisa saja kita mengatakan bahwa pemberdayaan komunitas-komunitas lokal sebagai hal yang penting, dimana agama dapat memainkan peran yang efektif di dalamnya. Namun dalam kesatuan ruang dunia yang bercorak multinasional, rasanya tidak ada yang untouchable. Lalu apa yang harus dilakukan? Di sini pendapat Elizabeth Schmidt − pada saat beliau menggambarkan teologi pembebasan di Amerika latin − menarik untuk disimak, yakni: “Because dominant powers employ distorted religious symbolism on their own behalf, liberation movements seek not only the transformation of structure and institutions, but a spiritual revolution, a new vision in light of which to encounter and redeem reality.” [20]

---------------------------------------------------------
[1] Fransisco Budi Hardiman, “ Ideologi Sebagai Pemikiran Politik,” DISKURSUS, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Vol.2,No.1 (2003), 24-25; “Liberalism”, The Columbia Encyclopedia, sixth edition 2001, http://www.bartleby.com/65/li/liberali.html.

[2] Pada kesempatan tersebut, pihak WEF – berkaitan dengan demonstrasi anti globalisasi di Korea Selatan – menyatakan bahwa forum tersebut bertujuan menciptakan stabilitas, perdamaian dan kemakmuran dunia melalui kerjasama internasional (“Aksi Antiglobalisasi atas WEF di Seoul”, Kompas, 14 Juni 2004, 3) .

[3] Stephen K. Sanderson, Makro Sosiologi, Sebuah Pendekatan Terhadap Relaitas social, Terj. Farid Wajidi, edisi ke-2 (Jakarta: Rajawali Press, 2003), 170.

[4] Erich Fromm, Marx’s Concept of Man (New York: Frederick Ungar Publishing Co., 1969), 49-50.

[5] Sanderson, Op.Cit., 171-174, 195-196; Karl Marx, “Economic and Philosophical Manuscripts”, dalam: Erich Fromm, ibid, 110; Roger S. Gottlieb, Marxism: Origins, Betrayal & Rebirth (New York-London: Routledge, Chapman & Hall Inc., 1992), 23-24.

[6] Sanderson, Ibid, 174-177.

[7] Sanderson, Ibid, 202; Gottlieb, Op.Cit., 152-153.

[8] Sanderson, Ibid, 202-205; Giovanni E. Reyes, “Theory of Globalization: Fundamental Basis”, An E-Journal Studies Department, http://sincronia.cucsh.udg.mx/globaliz.htm.

[9] Lht. Beni Sindhunata, “Meningkatkan Daya Guna”, Warta Ekonomi, Th. XVI, 24 April 2004, 33

[10] Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, dalam Pembangunan di Indonesia, memandang dari sisi lain, ed. INFID (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1993), 5.

[11] Tulus Tambunan, Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (Jakarta: Lembaga Penerbitan Fakultas Ekonomi UI, 1998), 98-99, 102-105; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, Ibid, 8-11; bdk. Kwik Kian Gie, “Utang, Utang dan Kemplang”, dalam Ekonomi Indonesia, ed. Priyo Utomo Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 199),76-77.

[12] Tambunan, Perekonomian Indonesia, Ibid, 39-40; Ramli, “Indonesia: Peminjam yang Baik”, Ibid, 11-12.

[13] Hizbullah Arief, “Ingat dan Waspada”, BusinessWeek, edisi Indonesia, No.52/II/9/Juni 2004, 16.

[14] Hizbullah Arief, “Ingat dan Waspada”, Ibid, 24 & 26.

[15] George Ritzer, Modern Sociological Theory, fourth edition (New York: Mc graw-Hill Companies, Inc., 1996), 20.

[16] Alex Callinicos, Social Theory, A Historical Introduction (New York: New York University Press, 1999), 141.

[17] Reyes, “Theory of Globalization: Fundamental Basis”, Op.Cit.

[18] Karl Marx, The Communist Manifesto, (New York: W.W. Norton & Company, Inc., 1988), 61.

[19] Bdk. Dominic Strinati, An Introduction to Theories of Popular Culture, second edition (New York: Routledge, 2004), 55.

[20] Elizabeth Schmidt, “In Candid Conversation: Theology and Sociology of Knowledge”, dalam Religion and the Sociology of Knowledgeed, Modernization and Pluralism in Christian Thought and Structure, ed. Barbara Hargrove (New York and Toronto: The Edwin Mellen Press, 1984), 22.