SOSIOLOGI KOMUNITAS KRISTEN MULA-MULA

Analisa Gerd Theissen

Disadur oleh: Beril Huliselan

(Jurnal Teologi Proklamasi, Edisi No.3/Th.2/Februari 2003)

[Sumber: Gerd Theissen, “The Wandering Radicals: Light Shild by Sociology of Literature on The Early Transmission of Jesus Sayings,” dalam Sosial-scientific Approaches to New Testament Interpretation, ed. David G. Horrell (Scotland: T&T Clark LTD, 1999), 93-121]


Gerd Theissen memulai tulisan ini dengan menyoroti aspek lain yang lepas dari pengamatan pendekatan kritik-bentuk (form criticism) dalam studi Perjanjian Baru. Aspek tersebut adalah outside circumstances yang dipandangnya berperan dalam mempengaruhi dan mengkondisikan prilaku orang-orang yang menggunakan dan meneruskan teks-teks yang ada. Menggunakan dan meneruskan, bagi Theissen, berarti ambil bagian dalam membentuk teks-teks tersebut. Theissen di sini mengangkat apa yang disebutnya sociology of literature. Sebuah model pendekatan yang menelusuri nisbah antara teks (written texts) dan prilaku manusia (human behavior), di mana aspek intentions dan aspek conditions mendapat tempat di dalamnya. Aspek intentions, aspek yang sangat mendapat tempat di dalam pendekatan kritik-bentuk, cenderug menempatkan teks-teks tersebut dalam konteks faith of the congregational life. Sementara bagi Theissen, realitas kekristenan mula-mula juga terkait dengan non-religious aspects. Ketimpangan seperti inilah yang coba dijawab oleh pendekatan sociology of literature, di mana pemahaman terhadap teks-teks ditempatkan dalam penelusuran terhadap prilaku orang-orang yang menghasilkan dan meneruskan teks-teks tersebut. Theissen di sini tampaknya mengamini pandangan Max Scheler yang memandang bahwa faktor-faktor historis dan sosial memiliki pengaruh dalam penyebaran dan penerimaan gagasan-gagasan spiritual. Oleh karena itu, fokus utama dalam tulisan ini tidaklah terletak pada the birth of spiritual tradition, melainkan lebih pada penyebaran, penerusan dan pemeliharaan tradisi-tradisi tersebut. Dalam ha1 ini, berkaitan dengan penerusan ucapan-ucapan Yesus oleh komunitas kekristenan mula-mula.

Sebagaimana kita ketahui, tradisi ucapan-ucapan Yesus tidak hadir dalam bentuk tertulis (written form). Sebaliknya, ucapan-ucapan tersebut diteruskan dalam bentuk tradisi oral. Di sinilah, ucapan-ucapan Yesus pada akhirya menjadi sebuah persoalan sosiologis. Hal ini mengingat keberadaan ucapan-ucapan tersebut sangat tergantung pada orang-orang yang meneruskannya dan kepada siapa ucapan-ucapan itu ditujukan. Alhasil, dalam pengertian tertentu, ucapan-ucapan tersebut menyatu dengan orang-orang yang meneruskannya. Oleh karena itu, tempat social circumstances dari orang-orang yang meneruskan tradisi tersebut menjadi penting untuk ditelusuri. Apalagi, bagi Theissen, ucapan-ucapan Yesus cenderung bersifat radikal sehingga menjadi sesuatu yang tidak mudah untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari (impracticable). Apabila ucapan-ucapan Yesus merupakan sesuatu yang impracticable, lalu bagaimana proses menjadi practicable? Siapakah orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan tersebut? Kemudian, siapa juga orang-orang yang menerima ucapan-ucapan tersebut secara serius? Di sini, upaya untuk menangkap social condition dan social behavior dari orang-orang tersebut menjadi penting.

Hal seperti ini membawa kerumitan tersendiri, apalagi yang ada di depan mata kita hanyalah teks. Kita tidak memiliki pengetahuan langsung mengenai social behavior yang berada di balik teks-teks tersebut. Theissen berusaha memecahkan persoalan ini dengan, pertama berusaha menangkap bagaimana orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus tersebut memahami diri mereka. Ini dilakukan dengan menelusuri bentuk (form) dan isi (content) dari ucapan-ucapan Yesus. Tujuan utamanya adalah menemukan social behavior yang ada di balik teks. Setelah itu, baru menguji temuan-temuan tersebut. Theissen melakukan ha1 ini dengan meminjam model-model deduksi yang berasal dari kritik-bentuk, yaitu:

  • Deduksi analitis terhadap bentuk (form) dan isi (content) sebuah tradisi menuju sitz im leben (the real-life situation) dari tradisi tersebut;
  • Deduksi konstruktif dari pernyataan-pernyataan langsung mengenai situasi melekat pada tradisi tersebut;
  • Deduksi berdasarkan analogi dari kesejajaran yang ada pada isi (content).
Kedua, mencari kondisi-kondisi yang berperan dalam menentukan atau membentuk social behavior yang ada di balik teks tersebut. Dengan kata lain, melalui ini semua, Theissen mencoba menangkap seperti apa orang-orang yang mula-mula meneruskan ucapan-ucapan Yesus tersebut, serta bagaimana pergeseran yang terjadi sehinggga ucapan-ucapan tersehut menjadi practicable.

Pemahaman Diri dan Prilaku Para Penerus Ucapan-Ucapan Yesus
Berhadapan dengan ucapan-ucapan Yesus, bagi Theissen, berarti kita berhadapan dengan radikalisme etis (ethical radicalism) yang menjadi corak dari ucapan-ucapan tersebut. Corak seperti ini sangat impracticable dengan praksis kehidupan sehari-hari. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa ucapan-ucapan tersebut tetap hidup dan diteruskan. Ini berarti, sekalipun impracricable, ucapan-ucapan tersebut diterima dan diadopsi oleh komunitas tertentu yang berperan dalam meneruskan ucapan-ucapan tersebut.

Corak radikal dari ucapan-ucapan Yesus, bagi Theissen, dapat dilihat pada tuntutan-tuntutan yang sangat ekstrim terhadap kehidupan. Ucapan-ucapan tersebut memuat tuntutan untuk melakukan penolakan terhadap tempat di mana kita hidup (Mat. 8:20), keluarga (Luk. 14:26; Mrk. 10:29; Mat. 8:22) dan segala kepemilikan (Mrk. 10:17-21; Mat. 6:19-21; Mrk. 10:25). Hal ini membawa Theissen pada kesimpulan bahwa ucapan-ucapan Yesus yang sampai ke tangan kita menunjukan radikalisme orang-orang yang hidupnya berkelana dan tidak memiliki tempat mnenetap. Kalangan ini disebut Theissen sebagai kalangan karismatik dari kekristenan mula-mula yang hidupnya tidak menetap/mengembara (the early Christian itinerant charismatics). Ucapan-ucapan Yesus yang radikal hanya mungkin hidup dan diteruskan oleh orang-orang yang kehidupannya seperti ini. Dengan kata lain, penerusan mula-mula ucapan Yesus ditempatkan Theissen dengan meletakannya pada sitz im leben seperti itu. Di sini tampak deduksi analitis yang diterapkan oleh Theissen.

Kekuatan tesis di atas dikaji lagi oleh theissen dengan melakukan deduksi konstruktif terhadap peryataan-pernyataan langsung yang ada, baik di dalam Injil Sinoptik maupun kitab Didache. Dalam ha1 ini, pernyataan-pernyataan yang berkaitan pengutusan murid-murid yang tertuang di dalam Injil Sinoptik dan kitab Didache. Di dalam Injil Sinoptik, kita menjumpai aturan-aturan yang ada bagi para misonaris Kristen mula-mula. Sementara di dalam kitab Didache, terdapat aturan-aturan yang berhubungan dengan para misionaris tersebut. Dengan data-data seperti ini, Theissen berusaha menemukan karakteristik dari orang-orang yang meneruskan tradisi ucapan-ucapan Yesus tersebut.

Berdasarkan perbandingan yang dilakukannya, Theissen menggariskan bahwa baik Injil Sinoptik maupun kitab Didache menempatkan kewajiban untuk hidup dalam kesederhanaan (Mat. 10:l0; Did. 11.6), tidak ada keterikatan tempat tertentu (home and one's familiar country) dan terlepas dari ikatan keluarga (non-family character). Dari deduksi konstruktif yang dilakukannya, Theissen melihat bahwa ucapan-ucapan Yesus diteruskan dan dipraktekkan minimal oleh: kalangan karismatik yang hidupnya berpindah-pindah/mengembara (the itinerant charismatics), para rasul (the apostles), nabi dan para misionaris. Mereka ini bisa dikatakan menjadi suara Yesus, di mana ucapan-ucapan Yesus diteruskan dan dihadirkan dalam perkataan-perkataan mereka. Karakteristik dari orang-orang ini, dengan melakukan deduksi konstruktif, ialah: mereka menjalani sebuah etika yang terkait dengan tradisi ucapan-ucapan Yesus, proklamasi yang mereka lakukan memuat di dalamnya tema eskaltologis dan mereka memahami diri mereka sebagai penerus perkataan-perkataan Yesus.

Tesis Theissen mengenai orang-orang yang meneruskan dan mempraktekkan ucapan-ucapan Yesus, tampak semakin kuat dengan Deduksi berdasarkan analogi yang dilakukannya. Theissen di sini mempararelkan orang-orang yang meneruskan dan mempraktekkan ucapan-ucapan Yesus dengan para filsuf Cynic. Kalangan Cynic umumnya mempakan kelompok yang hidup berpindah-pindah/tidak menetap, menjadi kelompok marjinal di tengah-tengah masyarakat dan merupakan oposisi terhadap kaisar. Dari data-data yang ada, gagasan-gagasan dari kelompok ini bahkan terus eksis selama lima ratu tahun. Theissen di sini menggariskan kemiripan corak antara etika kelompok ini dengan etika yang ada pada ungkapan-ungkapan kekristenan mula-mula, di mana etikanya sama-sama didasarkan pada:

Menolak keterikatan dengan suatu tempat;
Penolakan terhadap ikatan-ikatan keluarga;
Penolakan terhadap kepemilikan.

Kenyataan ini membawa Theissen pada keyakinan bahwa kelompok Cynic dan orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus pada dasarnya berasal dari kelompok yang secara sosiologis sama. Mereka sama-sama menjalani corak etika yang sama, serta sama-sama menjadi kelompok marjinal di dalam masyarakat. Perbedaan yang ada di antara kedua kelompok sosial ini lebih terletak pada spiritual reason yang ada dibalik praksis kehidupanmereka.

Theissen meletakkan otentisitas para penerus ucapan-ucapan Yesus itu pada kesejajaran antara situasi sosial mereka dengan Yesus. Dalam ha1 ini, Yesus dipahami Theissen sebagai sosok karismatik mula-mula yang hidupnya berkeliling/tidak menetap (the fist wandering charismatic). Dalam konteks ini Theissen mengatakan bahwa:"The radicalism of their wandering life goes back to Jesus himelf. It is authentic" (Theissen 1999, 107).

Di sini Theissen sekaligus mengkritik model pendekatan kritik-bentuk yang menterjemahkan ucapan-ucapan Yesus sebagai sesuatu yang dibentuk berdasarkan kebutuhan local congregations and their institutions setelah peristiwa paskah. Bagi Theissen, apabila ini kesimpulannya maka sebenarnya tidak ada sama sekali kontinuitas antara Yesus dengan kekristenan, yakni pada bentuknya yang paling awal. Bersamaan dengan itu, dia juga mengktitik para penafsir moderenis maupun konservatif yang gaga1 menangkap otentisitas dari penerus capan-ucapan Yesus.

Perilaku Para Penerus Ucapan-Ucapan Yesus dan Kondisi-Kondisi yang Membentuknya
Selanjutnya, Theissen mencoba menangkap kondisi-kondisi yang berperan dalam membentuk prilaku para penerus mula-mula ucapan-ucapan Yesus, termasuk kelangsungan dari ucapan-ucapan tersebut. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa kondisi-kondisi duniawi ('earthly' conditions) memiliki dampak praksis terhadap mental and spiritual intentions. Kondisi-kondisi itu sendiri dibentuk oleh berbagai faktor. Di sini Theissen mengangkat tiga faktor yang dipandangnya memiliki peran penting dalam membentuk 'earthly' conditions tersebut, yakni:
  • Faktor sosio-ekonomi, terkait dengan persoalan bagaimana mempertahankan kelangsungan hidup (berhubungan dengan pekerjaan) dan tempat mereka di dalam kelas sosial;
  • Faktor sosio-ekologi, terkait dengan lingkungan perkotaan atau pedesaan;
  • Faktor sosio-kultural, misalnya bahasa, norma-norma dan nilai-nilai yang diyakini oleh kelompok sosial tertentu.
Theissen menilai bahwa orang-orang yang meneruskan ucapan-ucapan Yesus, pada dasarnya adalah kalangan pendatang (outsiders) yang memiliki simpatisan di berbagai kota dan desa. Dukungan utama bagi kelangsungan hidup mereka bersumber dari kelompok masyarakat yang kedudukan sosialnya berada pada posisi marjinal. Theissen memperlihatkan realitas seperti ini dengan menempatkan rujukan-rujukan pada ucapan-ucapan Yesus sebagaimana yang sampai ke tangan kita. Di dalam Injil Sinoptik misalnya, kita dapat menemukan potret faktor sosio-ekonomi sebagai salah satu faktor yang membentuk 'earthly'condition, terkait dengan sepakterjang kalangan karismatik yang mengembara/tidak menetap (the wandering charismatics) sebagai penerus ucapan-ucapan Yesus. Di dalam Lukas kita menemukan sebuah tuntutan untuk tidak membawa apa pun (tongkat. kantong, roti, uang dan jubah) dalam perjalanan (Luk. 9:3). Sebuah tuntutan yang bisa dikatakan menjadi syarat kemuridan. Menarik di sini bahwa tongkat, kantong, roti, uang dan jubah yang disebutkan adalah juga merupakan perlengkapan khas kalangan filsuf Cynic yang hidupnya mengembara. Larangan untuk membawa perlengkapan tersebut ditujukan agar menghindari kesan bahwa mereka adalah pengemis, atau minimal sama seperti kalangan Cynic. Hal ini terkait dengan adanya larangan untuk menjalankan praktek mengemis. Kelangsungan hidup, yakni sumber kehidupan mereka, semata-mata terletak pada misi yang mereka jalankan. Petunjuk dari ha1 ini dapat kita lihat di dalanl Luk. 10:5-7:

kalau kamu memasuki suatu rumah, katakanlah lebih dahulu: Damai sejahtera bagi rumah ini. Dan jikalau di situ ada orang yang layak menerima damai sejahtera, maka salam mu itu akan tinggal atasnya. Tetapi jikalau tidak, salammu itu kembali padamu. Tinggallah dalam rumah itu, makan dan minumlah apa yang diberikan kepadamu, sebab seorang pekerja patut mendapat upah.

Aktivitas mereka dilakukan tanpa mendapat upah sedikit pun. Kemurahan hati dari orang-orang yang menerima mereka merupakan bayaran yang mereka terima. Theissen menggunakan istilah charismatic bagging untuk menyebutkan aktivitas seperti ini, di mana mereka berpegang pada keyakinan: "carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkannya kepadamu" (Mat. 6:33). Selain itu, dalam kerangka sosio-ekonomi, persepsi masyarakat pun cenderung nielihat mereka sebelah mata. Mereka dikelompokan sebagai orang-orang yang tidak memiliki tempat kediaman dan pekerjaan yang tetap, orang-orang yang sering membangkitkan kemarahan orang lain melalui pengajaran mereka, dan selalu mencari tempat di mana mereka ditolak serta tidak mendapat dukungan. Kita dapat menemukan padanan dari realitas seperti ini dengan ucapan Yesus di dalam Mat. 5: 11-12: "Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu".

Bagi Theissen, pendekatan dengan memperhatikan faktor sosio-ekonomi akan menghasilkan pemahaman yang lebih baik. Dalam pendekatan seperti ini, Theissen menambahkan faktor sosio-ekologi ke dalam faktor sosio-ekonomi. Konteks pedesaan atau perkotaan mempakan ha1 yang juga harus diperhatikan dalam pendekatan seperti ini. Memahami kalangan karismatik kekristenan mula-mula yang hidupnya tidak menetap/mengembara (the early Christian wandering charismatics) sebagai unjung tombak penerusan ucapan-ucapan Yesus yang radikal, berarti harus menempatkannya dalam konteks pedesaan (rural background). Dalam konteks seperti ini kita dapat memahami klaim mereka mengenai dukungan bagi kelangsungan hidup mereka dari orang lain. Konteks pedesaan adalah konteks kehidupan yang menetap. Ini berbeda dari kehidupan di perkotaan yang umumnya diwarnai dengan tingkat mobilitas yang lebih tinggi dibandingkan pedesaan. Dalam konteks perkotaan, otomatis dukungan finansial bagi kehidupan cenderung harus diupayakan sendiri. Inilah yang dilakukan oleh Paulus dan Barnabas. Oleh karena itu, tidaklah mungkin membayangkan para penerus mula-mula ucapan-ucapan Yesus hidup dalam konteks perkotaan. Dukungan kelangsungan hidup yang bersandar pada kemurahan hati orang lain, seperti yang dilakukan oleh the early wandering charismatics, akan menemukan tempatnya dalam konteks kehidupan pedesaan. Selain itu, kita juga harus memperhitungkan bahwa antara desa dengan kota-kota yang kecil (small town) umumnya memiliki jarak yang relatif lebih dekat. Dalam kondisi seperti ini, tidaklah mengherankan apabila kita menemukan anjuran agar mereka hanya boleh membawa bekal untuk sehari perjalanan. Hal seperti ini tidaklah mungkin dipraktekkan dalam kondisi perkotaan.

Hal lain yang juga mendukung konteks pedesaan adalah, terkait dengan aktivitas dan otoritas mereka. Dibandingkan dengan kota, desa tentunya masih belum memiliki bentuk organisasi dan pelayanan yang kuat. Dalam konteks pedesaan seperti ini, otoritas yang dimiliki oleh the early wandering charismatics akan lebih kuat, dibandingkan kalau ditempatkan dalam konteks perkotaan. Realitas seperti ini akan memukan padananya apabila kita menilik ucapan Yesus dalam Mat. 18:20: “sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam namaKU, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka." Ucapan seperti ini menunjuk kepada sebuah realitas di mana tidak ada struktur otoritas khusus. Di sini lebih diperlukan otoritas supraregional. Kita hanya mungkin membicarakan otoritas yang dimiliki oleh the early wandering charismatics dalam konteks seperti ini, bukan dalam konteks perkotaan.

Namun hal yang menarik di sini, tradisi ucapan-ucapan tersebut berkembang di daerah perkotaan. Kekristenan mula-mula pada dasarnya merupakan fenomena perkotaan. Tradisi ucapan-ucapan Yesus dipelihara dan diteruskan oleh the early wandering charismatics, dan kemudian berkembang di dalam realitas perkotaan. Theissen menyoroti hal ini, di mana dia mengkaitkannya dengan pergerakan the early wandering charismatics yang telah bergerak dari Palestina ke berbagai daerah lainnya. Di sini Theissen mencatat pergeseran dari ucapan-ucapan Yesus yang sebelumnya bercorak ethical radicalism dan impracticable dengan realitas kehidupan sehari-hari, menjadi practicable dalam komunitas kekristenan mula-mula yang merupakan fenomena perkotaan. Dengan kata lain, penerusan ucapan-ucapan Yesus mengakibatkan tereduksinya corak radikal dari ucapan-ucapan tersebut. Di sini Theissen mencatat tiga bentuk sosial yang muncul dalam penerusan ucapan-ucapan Yesus di dalam komunitas kekristenan mula-mula, yakni:

Bentuk radikalisme dari kalangan karismatik yang hidupnya mengembara/tidak menetap (the intinerant charismatics). Di sini ucapan-ucapan Yesus dipelihara dan diteruskan dalam bentuk yang radikal;

Bentuk patriakalisme (love patriarchalism). Di sini corak kongregasional semakin menonjol, bahkan Yesus ditampilkan menjadi lawan dari kalangan karismatik yang hidupnya mengembara. Dalam surat-surat kekristenan mula-mula, ditemukan sedikit sekali terdapat ucapan-ucapan Yesus. Hal ini dikarenakan surat-surat tersebut muncul dalam konteks perkotaan, komunitas Hellenistik. Dalam konteks seperti ini, corak radikal dari ucapan-ucapan Yesus tidak mendapat tempat. Hal ini mengingat keberadaannya yang sangat impracticable. Alhasil, Yesus tampil dengan wajah yang berbeda, dibandingkan wajah Yesus yang ditemukan pada the early wandering charismatics. Di sini menarik mempehatikan apa yang dikatakan Theissen: "love patriarchalism tempered early Christian radicalism to a degree that made it possible for Christian faith to become practicable form of living for men and women in general (Theissen 1999, 120.)".

Bentuk radikalisme gnostik. Di sini ucapan-ucapan Yesus yang memiliki corak ethical radicalism bergeser menjadi gnostic radicalism. Ini berarti bahwa implikasi radikal pada tindakan bergeser menjadi radikal dalam pemikiran, di mana konsekwensi praksisnya tereduksi. Theissen di sini mengangkat Injil Thomas sebagai contoh radikalisme gnostik.

Di sini tampaknya kita bisa mengatakan, penerusan ucapan-ucapan Yesus secara berangsur-angsur telah menggiring Yesus yang radikal menjadi Yesus yang tampak lebih lunak/jinak. Hal ini sekaligus mengingatkan kita pada apa yang dikatakan oleh Theissen bahwa menggunakan dan meneruskan berarti ambil bagian dalam membentuk teks-teks tersebut.