MENEMBUS BATAS, MENGGAPAI KASIH

Refleksi Bina Kader Angkatan VII – Tahap I
Gereja Kristen Indonesia
Beril Huliselan
(Jakarta, 2005)
Lord, make me an instrument of Thy peace;
where there is hatred, let me sow love;
where there is injury, pardon;
where there is doubt, faith;
where there is despair, hope;
where there is darkness, light;
and where there is sadness, joy.

Potongan doa di atas tentunya akan langsung mengingatkan kita pada seorang pria dari Asisi, sebuah kota di provinsi Perugia – Italia, yang dalam pengembaraan spiritualnya memutuskan keluar dari kemapanan hidup dan menjalani relung-relung kemiskinan. Giovanni Bernardone, yang lebih dikenal dengan nama Fransiskus dari Asisi, kemudian menjadi seorang tokoh yang dilukiskan F.D. Wellem sebagai sosok yang melekat dengan perjuangan kasih persaudaraan dan perdamaian.[1]

Fransiskus seolah-olah melakukan paradigm switch yang radikal dalam memahami kasih Kristu
s, penebusan dan perdamaian dengan menempatkannya dalam penderitaan, sebagaimana diungkapkan Thomas E. Helm: “Francis resolved .... to manifest a Christlike love, especially for the sick, the leper, and the outcast....”[2]

 

Rasanya terlalu jauh kalau kita menyamakan pengembaraan spiritual Fransiskus dari Asisi dengan proses Bina Kader VII - tahap I yang diupayakan oleh Badan Bina Pengerja (BBP) GKI sw Jabar. Sebuah proses yang diikuti oleh 21 peserta yang berasal dari GKI sw Jabar, GKI sw Jatim dan Gereja Kristus. Hal ini mengingat switch yang dilakukan Fransiskus begitu radikal dan mendalam, di mana dia seolah-olah mempertaruhkan seluruh eksistensinya. Sementara Bina Kader VII - tahap I - berlangsung dari 24 September s/d 2 Oktober 2005 - hanyalah sebuah pengembaraan yang bertujuan menemukan insight dalam rangka formasi spiritualitas para calon pengerja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Pdt. Kuntadi Sumadikarya (ketua Sinode GKI SW Jabar): “Yang kita dalami bukan sebuah knowledge, melainkan insight. Peserta mesti mengambil bagian untuk mengaplikasikan penalaran menjadi penghayatan diri yang autentik.”[3]

Namun pada sisi lain, rasanya tidak berlebihan apabila pengembaraan tersebut (Bina Kader VII - tahap I) dibaca sebagai upaya menembus group egoism yang diartikulasikan Reinhold Niebuhr sebagai inescapable reality. Sebuah realitas yang memuat di dalamnya the collection of individuals’ selfish impulses yang sarat dengan hasrat ekspansif berakar pada the will-to-power.[4] Tanpa berusaha melebih-lebihkan, namun paling tidak proses pengembaraan dalam Bina Kader dapat ditempatkan sebagai salah satu pintu masuk untuk menembus group egoism, sehingga memberikan ruang untuk melakukan recheck terhadap selfish impulses tersebut dalam terang kerajaan Allah. Dalam bahasa Niebuhr, sebagaimana dikutip oleh Yun Jung Moon:[5] "The religious sense of the absolute qualifies the will-to-live and the will-to-power by bringing them under subjection to an absolute will, …" Hal ini tentunya menjadi sebuah kebutuhan mengingat gerak gereja-gereja di Indonesia masih sangat bercorak ekspansif. Sebuah gerak yang kalau ditempatkan dalam kaca mata Niebuhr, memiliki akar yang kuat di dalam the will-to-power.

Apabila teologi harus dirumuskan dalam terang pengalama bersama di tengah-tengah masyarakat, sebagaimana pernah ditekankan oleh Th. Sumartana,[6] maka Bina Kader bisa dikatakan mencoba menangkap hal tersebut. Pengambaraan selama sembilan hari yang berawal dari wilayah puncak di Jawa Barat sampai ke Jawa Timur (puncak gunung Bromo), dan berakhir di kantor Sinode GKI sw Jatim, merupakan perjalanan mengarungi berbagai macam realitas. Sebagaimana Fransiskus dari Asisi melakukan switch dan masuk ke dalam relung-relung kemiskinan, maka - dalam batasan tertentu - proses Bina Kader pun bisa dikatakan mencoba mengarungi relung-relung kemiskinan tersebut.

Pengembaraan Bina Kader berawal dari sebuah tempat yang bernama Bukit Hermon di kawasan Puncak, di mana barang-barang penting dari para peserta (uang, bekal, hand phone, rokok, dsb.) disita oleh Panitia. Apa yang tersisa hanyalah baju dan air minum seadanya. Dalam kondisi inilah pengambaraan selama sembilan hari dilakukan. Beberapa topik seperti kepemimpinan, Islam sebagai konteks berteologi, dan pergumulan mengenai luka/trauma menjadi pembahasan dan diskusi selama peserta Bina Kader bermukim di Bukit Hermon

Dari Bukit Hermon, pengembaraan dilanjutkan ke sebuah tempat yang bernama Serenity di kawasan Lembang. Sebuah nama yang tentunya mengingatkan kita pada salah satu doa yang cukup termasyur, yaitu “Serenity Prayer”:


God give me the serenity to accept things which cannot be changed;
Give me courage to change things which must be changed;
And the wisdom to distinguish one from the other.[7]
Sebuah doa yang umumnya dikaitkan dengan Reinhold Niebuhr sebagai penulisnya, hal ini tentunya terlepas dari berbagai perdebatan yang ada seputar siapa sebenarnya penulis asli dari doa tersebut.

Perjalanan menuju tempat yang bernama Serenity tersebut praktis memakan waktu yang sangat lama. Mulai dari jalan kaki yang menempuh jarak yang cukup jauh dari Bukit Hermon, menumpang angkot, bus kota, hingga akhirnya hampir tengah malam baru semua peserta tiba. Apa yang tersisa hanyalah keletihan dan pakaian yang sudah basah karena keringat, padahal besok pakaian tersebut harus dipakai lagi karena setiap peserta hanya diwajibkan membawa dua pasang pakaian.

Keesokannya, setelah mengikuti sesi yang dibawa oleh Pdt. Kuntadi Sumadikarya mengenai spiritualitas seorang pemimpin, perjalanan dilanjutkan menuju Yogyakarta. Seperti biasa kami jalan kaki dan menumpang sana-sini supaya dapat tiba di stasiun kereta. Dengan baju yang praktis sudah mengeluarkan bau-bau tidak sedap, kami masih harus naik kereta ekonomi menuju Yogyakarta. Kereta tersebut begitu sesak dan panas, dan yang pasti dipenuhi oleh para pedagang makanan serta pengamen yang hilir mudik. Melihat para pedagang makanan hilir mudik, muncul keinginan untuk membeli makanan yang dijajakan tersebut. Namun sayang, tidak ada uang sepeser pun yang tersisa di kantong. Seluruh uang yang kami miliki sudah dikumpulkan/disita pihak panitia.

Disadari atau tidak, sebagian besar rakyat Indonesia tampaknya hidup dalam kondisi seperti ini, hendak makan karena lapar, tapi tidak tahu apa yang dapat dimakan. Hal ini mengingat himpitan ekonomi yang sangat berat. Apa yang tersisa hanyalah rasa ngantuk, dan dalam kondisi lapar mereka akhirnya tertidur. Ketimpangan ekonomi pada tingkat global dan lokal telah mengakibatkan kemiskinan menjadi pemandangan umum. Suara Pembaruan pernah memuat salah satu contoh ketimpangan ekonomi secara global yang berdampak langsung ke para petani. Sebagian besar petani (98%) hidup di negara-negara miskin, dan mereka hanya menikmati ⅓ dari total nilai perdagangan produk pertanian di dunia yang berputar setiap tahunnya. Sebagian besarnya dari total perdagangan tersebut dinikmati oleh negara-negara kaya dan perusahaan transnasional.[8] Group egoism telah menghancurkan tingkat harapan hidup bagi setiap orang yang hidup di negara-negara miskin. Gereja-gereja praktis hidup dalam kondisi seperti ini. Namun masalahnya, kekristenan sepertinya tidak menaruh perhatian besar terhadap hal ini. Mereka (kekristenan) lebih terfokus untuk berjingkrak-jingkrak dalam pesta kebangunan rohani dan kesalehan yang artificial.

Setibanya di Yogyakarta, kami mampir di Panti Asih di wilayah Kaliurang. Menyaksikan anak-anak cacat di Panti Asih adalah bagaikan menyaksikan orang-orang yang terbuang, dan kemudian menghabiskan hidupnya dalam tembok-tembok penampungan. Setelah berinteraksi dengan anak-anak cacat tersebut, hari pun mulai senja, dan kami bersiap-siap berangkat ke sebuah pesantren yang bernama Kyai Ageng Selo di wilayah Klaten. Sebuah pesantren yang sederhana dan sangat merakyat. Memasuki pesantren tersebut bagaikan menemukan oasis yang dapat melegakan dahaga. Hal ini mengingat kondisinya yang sangat menyatu dengan masyarakat sekitar, dan memancarkan kesederhanaan yang praktis sulit ditemukan pada gereja-gereja di kota besar.

Setelah mampir sebentar di Yayasan Lembaga Sabda di Solo - Sebuah Yayasan yang bekerja untuk mengupayakan software Alkitab dan Biblika - kami meneruskan perjalanan ke Jawa Timur. Sama seperti sebelumnya, perjalanan ke Surabaya dilakukan dengan menumpang kereta ekonomi yang juga dipenuhi oleh para pedagang makanan dan pengamen. Setiba di Jawa Timur, kami berkesempatan untuk melihat kehidupan akademis di Institut Theologia Aletheia (Lawang) dan SAAT (Malang). Dua sekolah Teologi yang tentunya mewakili sebuah bentuk spiritualitas yang berbeda dari corak spiritualitas yang ditemui di sekolah teologi seperti STT Jakarta dan Fk. Teologi Duta Wacana. Kehidupan mereka (Institut Theologia Aletheia dan SAAT) begitu teratur dan diikat oleh waktu. Ini berbeda dengan corak spiritualitas yang ditemui di STT Jakarta dan Fk. Teologi Duta Wacana yang umumnya memancarkan spirituality of seeking­­ - meminjam istilah yang dipakai oleh Wade Clark Roof.[9]

Terlepas dari perbedaan corak spiritualitas masing-masing, hal utama yang tampaknya harus diingat adalah apa yang ditekankan oleh Th. Sumartana bahwa berteologi adalah sebuah proses yang harus dirumuskan dalam terang pengalama bersama di tengah-tengah masyarakat. Sebuah proses yang menuntut switch yang radikal - seperti yang dilakukan oleh Fransiskus dari Asisi - di mana kita mempertaruhkan seluruh eksistensi kita. Sebuah keberanian untuk menembus batas-batas group egoism, dan menggapai kasih Allah.

Pengembaraan Bina Kader kemudian diteruskan lagi ke wilayah Bromo. Dengan tetap di dalam kelompok masing-masing, permainan dan perjalanan dilakukan dengan menyusuri lereng-lereng gunung. Sepanjang perjalanan, selain sibuk dengan kerja sama kelompok, kami menyaksikan potret-potret kesederhanaan penduduk-penduduk lokal yang hidup di lereng gunung tersebut.

Keesokannya, setelah berkesempatan merihat matahari terbit di wilayah Bromo, perjalanan kami berakhir di kantor Sinode GKI sw Jatim. Di sanalah wawancara dilakukan dengan setiap calon pengerja, dan di sana jugalah kami mempersiapkan perjalana pulang ke tempat masing-masing

Suatu kesimpulan penting yang dapat ditarik dari pengembaraan ini adalah bahwa Bina Kader dapat dipandang sebagai sebuah terobosan untuk menembus batas/sekat-sekat dan menggapai kasih, dimana akan membuka ruang untuk melakukan recheck terhadap selfish impulses. Dengan demikian, akan memberikan tempat bagi pergumulan teologi yang sesungguhnya, yakni sebuah pergumulan yang berlangsung dalam terang pengalaman bersama di tengah-tengah masyarakat. Pergumulan yang akan menghasilkan switch yang radikal, dimana kita mempertaruhkan seluruh eksistensi kita, sebagaimana yang dipertaruhkan oleh Fransiskus dari Asisi.

================================================================

[1] F.D. Wellem, Riwayat Hidup Singkat Tokoh-tokoh dalam Sejarah Gereja, cet. Ke-3 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993), 114; bnd. Wikipedia Encyclopedia, “Francis of Assisi” (Encyclopedia on-line); terdapat pada: http://en.wikipedia.org/wiki/Francis_of_Assisi.

[2] Thomas E. Helm, The Christian Religion, an Introduction (New Jersey: Prentice Hall, 1991), 91.

[3] Kuntadi Sumadikarya, Spiritualitas Seorang Pemimpin, Bahan Bina Kader VII – Tahap I, Lembang, 26 September 2005, 1.

[4] Yun Jung Moon, “Reinhold Niebuhr (1892-1971)”, dalam The Boston Collaborative Encyclopedia of Modern Western Theology; terdapat pada: http://people.bu.edu/wwildman/WeirdWildWeb/ courses/mwt/dictionary/mwt_themes_770_niebuhrreinhold.htm.

[5] Ibid.

[6] Th. Sumartana, ”Paradigma Baru Misi di Tengah Masyarakat Majemuk”, dalam Misiologi Kontekstual, Th. Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia, eds. Martin L. Sinaga dkk (Jakarta: UPI STT Jakarta, 2004), 74.

[7] A Brief History of the Serenity Prayer, terdapat pada: http://open-mind.org/ Serenity.htm

[8] Petani Tuntut Perdagangan yang Adil, Suara Pembaruan, 17 Oktober 2005.

[9] Wade Clark Roof, “Religion and Spirituality, Toward an Integrated Analysis”, dalam Handbook of the Sociology of Religion, ed. Michele Dillon (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 137.